Mohon tunggu...
Kuntoro Tayubi
Kuntoro Tayubi Mohon Tunggu... Journalist -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah ruh, dan menebar kebaikan adalah jiwaku. Bagiku kehidupan ini berproses, karena tidak ada kesempurnaan kecuali Sang Pencipta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalawastu, Negeri Tanpa Genteng dan Semen

25 Januari 2018   13:48 Diperbarui: 25 Januari 2018   14:52 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia memang kaya akan budaya dan kearifan lokal. Yang mana setiap kebudayaan mempunyai keberagaman yang menarik. Seperti komunitas adat yang ada di Kabupaten Brebestepatnya di Dukuh Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan.

Tidak ada yang tahu persis kapan titi mangsa komunitas adat "suku" Jalawastu ini berdiri, namun salah satu karuhun (sesepuh atau yang dituakan --red) Makmuri (83), mengatakan jika keberadaannya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

"Awalnya seorang pendatang yang sedang mencari ikan di sini dengan menggunakan jala. Namun, jala tersebut nyangkut ke batu sehingga dinamakan Jalawastu," kata Makmuri.

Banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga anggota komunitas selama ia bermukim di daerah yang terletak di kaki Gunung Kumbang ini. Di antaranya, tidak boleh mendirikan rumah dengan beratapkan dari genting dan bahan baku dari semen. menanam bawang merah, kedelai, serta memelihara kerbau, domba, dan angsa. Kalau melanggar maka akan ada bencana yang menimpa.

Selain itu, keunikan dari komunitas yang menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-hari mereka adalah jumlah rumahnya selalu tetap yaitu 110 rumah dengan jumlah kepala keluarga 128.

"Jumlah rumahnya selalu tetap. Tidak akan lebih, kalau berkurang mungkin, tapi akan dibangun lagi sejumlah itu. Tergantung keluarga baru mau tinggal di sini atau pindah ke tempat lain,"kata dia.

Selain pantangan bagi penghuninya juga banyak pantangan bagi warga lain yang hendak berkunjung ketempat tersebut. Tamu yang hendak berkunjung selain harus menempuh jalan yang berliku, terjal dan mendaki serta menerobos hutan belatara harus mengikuti aturan adat yang telah diberlakukan. Misalnya, ada tempat yang tidak boleh membawa sesuatu yang terbuat dari kulit (sepatu kulit, dompet kulit, sabuk kulit dan lainnnya).

"Barang-barang tersebut harus dititipkan dulu. Karena tempat tersebu masih sangat sakral. Jika melanggar mereka akan terkena musibah, begitu diyakini kami. Sudah banyak contohnya," ujar Dastam.

Meskipun komunitas adat, seluruh warga Jalawastu menganut agama Islam. Apalagi banyak anak-anak mereka yang menimba ilmu di Pondok Pesantren. Sehingga seluruh ritual adat pun diselaraskan dengan ajaran Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun