Telor asin semula untuk keperluan persembahyangan bagi warga Tionghoa di Klenteng. Di Brebes, Jawa Tengah, telor asin telor asin disajikan bersama sesaji bandeng, daging ayam, daging babi, arak dan buah-buahan, dipersembahkan untuk Dewa Bumi.
"Tapi karena kondisi ekonomi untuk bertahan hidup, telor asin jadi kudapan karena alasan ekonomis," kata Wijanarto, Sejarawan Pantura Brebes, Selasa, 9 Januari 2018, di kantornya.
Dari catatan Syahbandar Tegal, kata Wijan, sejak tahun 1820-an, pelabuhan Tegal mengirim telor bebek dari Tegal dan Brebes ke Batavia (sekarang Jakarta). Telor yang semula dikonsumsi untuk sendiri akhirnya tumbuh menjadi industri komersial.
Di Brebes, keluarga Tjoa Kiat Hien dan istrinya Niati merupakan perintis telor asin Tjoa. Tjoa salah satu keturunan kedua dari keluarga In Tjiauw Seng dan isterinya Tan Po Nio yang mulai memperjual belikan telor asin pada tahun 1950-an.
"Maka pertumbuhan toko penjual telor asin dekat dengan kelenteng Hok Tek Bio Brebes yang merupakan kampung Pecinan," ungkapnya.
Masih menurut Wijan, telor asin menjadi diplomasi kuliner yang memadukan keragaman budaya setelah dibawa oleh keluarga peranakan Tionghoa Brebes, serta booming telor asin di tahun 1980-an yang meluas ke barat yakni wilayah Pebatan dan Pesantunan.
"Ditambah lagi, bekas pekerja di keluarga Peranakan Tionghoa membuat industri telor asin. Sayangnya, hingga saat ini belum ada pematenan intelektual secara massal. Nanti kasusnya bisa seperti mendoan," kata Wijan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H