Kalimat "Sami'na Wa Atho'na" sering diucapkan oleh salah seorang guru saya dulu ketika masih berada di Pondok Pesantren. Beliau sering memberikan nasihat dengan mengucapkan kata-kata tersebut, apalagi kalau salah seorang dari kami para santri yang melanggar aturan-aturan pondok, seperti tidak shalat tepat waktu dengan berjama'ah, mengambil barang teman tanpa seizinnya dan lain-lain.
Ini adalah salah satu kalimat yang sangat melekat dalam benak saya sebagai nasihat, apalagi jikalau melihat adanya pihak atau kelompok yang tidak setuju dengan pemimpin yang sah setelah didaulat dan di sumpah untuk memimpin sebuah organisasi atau bahkan sebuah negara.
Hal tersebut seringkali terjadi terhadap pihak atau  kelompok yang masih terjebak oleh sentimen fanatisme yang berlebihan, sehingga membuat pikirannya tidak sehat dan hal-hal yang tidak etis dan logispun dapat terjadi. Seperti tidak mengakui pemimpin yang sah.
Padahal kemajuan sebuah negara itu tidak lain karena rakyat yang saling bahu-membahu mendukung dan membantu jalannya sebuah roda kepemerintahan, tentunya dengan menyerahkan tonggak kepemimpinannya kepada pemimpin yang sah sebagai pengatur tunggal, pastinya juga dengan pembantu-pembantunya di parlemen.
Terlebih lagi bagi orang-orang Islam yang sudah sepantasnya mengetahui apa makna dari kalimat "Sami'na Wa Atho'na" ini sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah [2]:285, dalam ayat tersebut menggambarkan orang-orang beriman yang bersama Rasulullah, dimana mereka telah beriman kepada Allah, Para Malaikat, Kitab-kitab-Nya dan kepada Para Rasul-Nya.
Kalimat Sami'na Wa Atho'na ini juga dikorelasikan kepada pemimpin yang sah karena telah menucapkan sumpah untuk mengemban amanah di bawah ayat-ayat suci-Nya. Tentang taat kepada pemimpin juga sebagaimana yang tercantum dalam QS. An-Nisa': 59 "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan para Rasul (Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."
Meskipun kata Ulil Amri di antara kamu ini juga ulama berbeda dalam menafsirkannya, seperti dalam tafsir at-Thabari, ada kelompok ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqih, sahabat Rasulullah dan ada juga berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Abu Bakar dan Umar.
Imam Al-Mawardi dalam kitab tafsirnya juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah pemimpin-pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin dalam hal keduniaan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas, As-Sady, Abu Hurairah dan Ibnu Zaid. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lainnya.
Intinya adalah jikalau taat kepada Allah, Malaikat, Kitab dan Rasul-Nya, sudah semestinya juga taat kepada pemimpin yang sah sebagai utusan Allah untuk mengatur sebuah negara. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H