Kegelisahan itu terus bergerak dalam relung hati, apakah agama telah gagal membuat manusia menjadi baik atau manusia itu sendiri yang katanya punya agama memang tidak bisa baik.
Perjalanan manusia kepada Tuhan (agama dengan kitab suci), adalah perjalanan panjang untuk mencari keridhoanNYA (baca: pahala). Pada titik ini pada dasarnya adalah penyerah diri pada penciptanya dengan memilih hal yang baik, namun kondisi ideal yang seharusnya cerminan sebuah tampilan manusia atas doa kepada Tuhan tidak berjalan dengan semestinya.
Pelanggaran dan doa terus berjalanan beriringan, doa dan tingkah laku menjadi variabel yang tidak saling berhubungan – yang tidak pernah bersimpangan – sehingga tidak bertemu dalam satu terminal yang mampu menyadarkan manusia.
Literatur tentang larangan atau pelanggaran yang diatur oleh agama apapun, bukan sebuah pedoman yang mampu menyentuh hati atau menjadi suatu renungan. Agama menjadi sisi lain ketika berada di rumah, di luar rumah adalah urusan lain.
Atau apakah ini seperti tulisan Aeron F.Sihombing, yang mengutip Friedrich Nietzsche, dengan jaman yang terus mengalami perubahan, di mana tiap jaman memiliki pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi pola pikir, kebudayaan, etika, teologi, sains dan setiap sendi kehidupan dari masyarakatnya. Misalnya dengan kemajuan teknologi, maka manusia tidak membutuhkan lagi pertolongan dari Tuhan, karena manusia telah dapat mengurus dirinya sendiri dan ia merasa dirinya otonom dengan rasio yang dimiliki olehnya. Oleh sebab itu, tidak salah jika Nietzhe telah mengatakan bahwa “kita telah membunuh Tuhan dengan pikiran kita”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H