Kesadaran feminisme muncul pada akhir abad ke-18 di dunia barat bersamaan dengan munculnya penyuaraan persamaan hak terhadap perempuan. Di Indonesia sendiri, isu feminisme baru mulai menjadi perhatian pada tahun 70-an sebab tahun-tahun sebelumnya kesetaraan gender belum dianggap sebagai isu yang penting.Â
Seiring berjalannya waktu, kesadaran feminisme semakin tertanam pada diri kaum perempuan. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai kaum feminis, yang berjuang untuk melawan diskriminasi, kekerasan, dan segala bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Kaum perempuan ingin haknya dipersamakan dengan kaum laki-laki.
Kesetaraan gender semestinya dipahami tak hanya oleh para perempuan, melainkan juga kaum laki-laki. Akan tetapi tampaknya isu feminisme ini belum menuai perkembangan positif di kedua belah pihak, dibuktikan dengan masih banyaknya perilaku ketidakadilan gender yang kita kenal sebagai budaya patriarki. Salah satu yang dapat kita lihat adalah kisah dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal el Saadawi.
Novel ini fokus pada kisah seorang perempuan bernama Firdaus yang menceritakan kisah hidupnya secara langsung kepada sang penulis, saat ia berada dalam penjara menunggu panggilan eksekusi mati. Mengapa ia sampai berada dalam penjara?
Firdaus semasa hidupnya mengalami sangat banyak peristiwa pahit. Ia merasakan patriarki pada masa pra-nikah, menikah, sampai pasca-nikah. Keluarga yang semestinya menjadi tempat berlindung pun tidak menjadi ruang aman bagi Firdaus. Justru patriarki lahir dimulai dari keluarganya sendiri. Dari ayahnya yang bersikap kasar dan beringas terhadap ibunya, juga terhadap Firdaus.
Ditinggal kedua orangtuanya, Firdaus remaja tinggal dan hidup bersama pamannya yang pada saat itu berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Mesir. Pada awalnya sang paman menjaga Firdaus seperti paman terhadap keponakan.Â
Tetapi bagaimanapun pamannya hanya manusia biasa dan Firdaus tetap anak remaja yang fisiknya terus berkembang, dan mereka berdua tinggal dalam satu atap. Hingga suatu ketika tubuh Firdaus menerima suatu bentuk pelecehan seksual dari pamannya. Hati Firdaus kembali terkoyak.
Ketika pamannya menikah dan mereka tinggal bersama istri sang paman, istrinya bermaksud menikahkan Firdaus dengan seorang duda yang usianya terpaut sangat jauh dengan Firdaus.Â
Firdaus dengan terpaksa menerima perjodohan tersebut dengan anggapan bahwa suaminya mampu menjadi obat dari segala sakit yang dirasakan Firdaus selama ini. Mengkhianati ekspektasi Firdaus, rumah tangganya justru menambah luka Firdaus semakin bertubi-tubi. Ia diperlakukan dengan begitu hina dan menyakitkan. Ia juga tidak bisa menolak apa yang dikehendaki sang suami sebab ia terkungkung dalam suatu kewajiban untuk patuh dan tunduk terhadap kepala rumah tangga seperti yang disyariatkan oleh agama. Firdaus sungguh tak tahan dan berakhir dengan melarikan diri dari rumah.
Bagi Firdaus, tak ada masa dalam hidupnya yang paling sulit sebab semua masa sama sulitnya. Kini ia tinggal di jalanan. Diberi pertolongan oleh seorang lelaki dan menganggapnya sebagai tempat untuk berlindung, Firdaus ternyata salah lagi. Lelaki yang menolongnya menginginkan imbalan yakni tubuh Firdaus.
Firdaus memilih untuk terus hidup di jalanan. Kembali ia diberi pertolongan oleh seseorang, kali ini perempuan. Diberikan tempat tinggal dan hidup dengan nyaman untuk beberapa saat saja, tanpa sadar Firdaus telah terseret ke dalam jurang kehancuran. Ternyata ia bekerja (atau lebih tepatnya dipekerjakan) sebagai perempuan penghibur para lelaki kesepian.