Statemen, pakaian dan gaya kepemimpinan menteri pendidikan dan kebudayaan akhir-akhir ini banyak menjadi bahan perbincangan cenderung menjadi pergunjingan di dunia pendidikan, terutama pada pendidikan tinggi.Â
Di satu sisi berbicara tentang kesiapan SDM untuk menghadapi era disrupsi, sisi lain berdebat etika dan moralitas dari buku PMP. Dilihat dari sejarah pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi sendiri memiliki banyak perubahan esensi.Â
Kita tidak perlu menarik waktu terlalu jauh untuk dapat melihat perubahan esensi dari pendidikan khususnya di Indonesia, pada era sebelum kemerdekaan atau bahkan mundur beberapa abad dimana pendidikan dan dunia pekerjaan tidak memiliki rantai kebutuhan yang langsung.Â
Pendidikan di era tersebut lebih kepada deklarasi kasta, di mana orang bersekolah akan menunjukan dari golongan mana dia berasal. Orang sekolah bukan karena kecerdasannya atau bukan karena sekedar keinginan tetapi karena hak berpendidikan hanya untuk para bangsawan.
Secara sederhana pendidikan adalah indikator derajat sosial seseorang. Kita bisa ingat beberapa tokoh dari sejarah yang memperjuangkan derajat manusia dengan memberi pendidikan kepada yang tidak berhak dimasa itu.
Pada era selanjutnya setelah kemerdekaan, pintu-pintu sekolah terbuka bebas namun masih terbatas pada kalangan tertentu. Orang dengan kemampuan ekonomi terbatas harus memeras keringat darah untuk bisa mengenyam bangku pendidikan, karena kebutuhan berpendidikan adalah jalan perbaikan nasib.Â
Era ini adalah di mana orang berpendidikan tidak mesti berderajat bangsawan namun dengan pendidikan baik maka pekerjaan yang mapan bukanlah sesuatu yang mustahil. Lapangan pekerjaan layak hanya siap menanti orang berpendidikan yang bahkan mungkin baru lulus.
Era saat ini, akan saya sebut sebagai era transisi di mana pendidikan dalam pandangan banyak orang adalah investasi untuk dunia kerja. Pada sisi lain lapangan kerja terbatas sementara banyak diploma, sarjana bahkan master yang hanya bekerja sebagai honorer di instansi pemerintah atau bahkan pengangguran.Â
Saya sebut era ini adalah transisi karena pada saat ini pekerjaan yang dulu dikerjakan manusia mulai diganti satu-per-satu dengan robot, program bahkan kecerdasan buatan (artificial intelegent).Â
Jumlah manusia dari tahun ke tahun meningkat pesat sedangkan ruang pekerjaan semakin sempit, dalam 1 dekade saja penduduk indonesia bertambah 30 juta jiwa (Sensus BPS 2000 dan 2010).Â
Pada titik inilah perdebatan muncul ke permukaan tentang jenis kurikulum seperti apa dan pendidikan model apa yang harus diterapkan untuk mempersiapkan SDM indonesia.Â