Bagaimana orang dapat membedakan opini dengan fakta? Banyak orang mungkin tidak dapat membedakan pendapat yang menyatakan opini atau fakta. Beberapa orang menganggap mendengarkan pernyataan seseorang berarti sedang mengharuskan diri untuk mengikuti cara berpikir orang, padahal pada dasarnya opini atau fakta yang kita dengarkan tidak dapat begitu saja diterima seseorang apabila tidak secara langsung “menghakimi” cara berpikir orang lain. Fakta adalah bahan dasar dalam cara seseorang untuk berpikir dan opini atau pendapat subjektif orang lain adalah referensi dalam berpikir, ketika seseorang tidak dapat membedakan antara opini dan fakta maka cara berpikir orang seperti itu tidak dapat di ganggu gugat, cara seperti itu sering di nyatakan sebagai prinsip. Ketika dalam suatu masalah yang melibatkan orang lain teknik “ber-prinsip” seperti ini mungkin tidak masuk akal, karena orang tersebut tidak akan dapat menanggapi pernyataan orang lain yang dianggap mengganggu prinsipnya, kesalahan yang terjadi dengan model seperti ini adalah orang tidak akan dapat memikirkan posisi orang lain dan tidak dapat memikirkan prespektif orang lain sehingga pada akhirnya orang seperti ini hanya ingin mendengar yang ingin didengar dan melihat yang ingin dilihat.
Mendengarkan pendapat orang bukan mengharuskan untuk mengamini sebuah pendapat tapimendengarkannya sebagai referensi, ketika kita bertanya suatu pertanyaan yang membutuhkan jawaban subjektif atau bersifat pendapat maka seharusnya kita mendengarkan sebagai opini bukan sebagai fakta. Hal seperti ini kebanyakan menimbulkan konflik karena orang tidak dapat memisahkan antara jawaban bersifat subjektif yang hanya opini dengan fakta, lalu analogi tandingan yang dimunculkan orang tersebut bersifat fakta untuk menangkal opini orang lain. Pada kenyataannya opini tetap opini, terima atau tidak tidak akan menjadi masalah selama permasalahan itu hanya bersifat personal, tapi bila melibatkan orang lain didalamnya maka opini bukan lagi referensi tapi telah menjadi bahan dasar karena untuk memahami orang lain yang ikut terlibat dalam sebuah permasalahan kita harus memahami cara orang lain dalam berpikir dan menjadikannya sebagai bagian dari pokok pemikiran dalam menyelesaikan masalah. Kebanyakan orang menganggap permasalahan seperti ini adalah sepele, tapi pada kenyataannya model komunikasi seperti ini telah menjadikan banyak masalah dalam sebuah hubungan. Mindset seseorang dalam berpikir memiliki pengaruh besar dalam berkomunikasi, model komunikasi yang tidak sepaham memang tidak mungkin dapat disatukan tapi paling tidak perbedaan model komunikasi pasti dapat di selaraskan.
Perbedaan mendasar dalam berpikir dan mengkomunikasikannya adalah cara seseorang membedakan opini dan fakta. Ketika seseorang mengangkat opininya menjadi fakta maka orang tersebut tidak akan dapat menerima opini orang lain, hal ini terjadi karena orang tersebut akan menganggap opini orang lain pun menjadi fakta yang sedang dipaksakan kedalam pikirinanya, kenyataannya opini tetap opini yang bernilai subjektif.
1.Contoh paling konkrit ketika ada pertanyaan “aku ini gimana?” atau “sebaik apa kita?” atau “seperti apa dia?”, jawaban untuk pertanyaan seperti ini pasti akan bersifat subjektif yang adalah opini si penjawabnya. Karena tidak ada fakta tentang “aku”,” kita” dan “dia” yang ada hanya opini tentang “aku”, “kita” dan “dia” dari penjawab lain.
2.Sebaliknya bila ada pertanyaan “apakah 1 + 1 = 3?” atau “apakah air menempati ruang?” atau “apakah api hanya dapat menyala jika ada oksigen?”, jawaban untuk pertanyaan ini pasti akan mutlak bersifat objektif yang adalah fakta. Fakta adalah hal yang wajib diketahui untuk menanggapi jawaban dari pertanyaan ini.
3.Permasalahan yang sering muncul adalah pada nomor 1 yaitu tentang opini, kebanyakan orang yang tidak dapat membedakan opini dengan fakta akan menanggapi sebuah opini dengan menciptakan analogi bersifat fakta. Sebagai contoh ketika si penanya menanggapi dengan analogi yang bersifat fakta maka dapat kita ketahui si penanya tidak dapat membedakan opini yang subjektif dengan fakta yang objektif, karena opini hanya bisa ditandingkan dengan opini dan opini pasti tumbang oleh fakta maka si penanya tanpa dapat membedakan opini dengan fakta dia mengangkat analogi bersifat fakta yang pasti akan mengalahkan opini.
Kebanyakan orang yang “ter-doktrin” pun adalah karena tidak dapat membedakan opini dan fakta, hal ini dikarenakan orang seperti ini akan menerima opini yang sejalan dengan cara berpikirnya sehingga lambat laun opini akan dianggap sebagai fakta yang pada akhirnya menjadi prinsip sebagai dasar cara berpikir. Model seperti ini membuat orang berpikiran tertutup sehingga cenderung memiliki ego lebih tinggi. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah berpikir terbuka atau tertutup adalah pilihan setiap orang tapi opini tetap opini dan fakta mutlak fakta, komunikasi hanya dapat dibangun ketika dapat menerima opini sebagai opini dan fakta sebagai fakta. Untuk dapat memahami lawan komunikasi hanya dapat dilakukan dengan mendengarkan opininya tanpa harus menerimanya dan juga tidak perlu berpikir orang lain memaksakan opininya pada kita. Terima opini sebagai opini dan fakta sebagai fakta, bedakan keduanya dengan jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H