Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Drama

Monolog: Pemilik Wajah Sepotong

23 Desember 2011   13:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:51 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

...Malam-malam pekatnya merunduk cepat : Sudah. Bintang-bintang kerlipnya meredup cepat : Sudah. Suara-suara diam ricuhnya semerawut cepat : Sudah. Mendung merutuk pontang-pantingnya kusut cepat : Sudah. Semua sudah; bergilir dalam waktu-waktu yang bergulir. Terkecuali sudah dari sudahnya satu wajah sepotong yang sebuah...

...Di ruang tinggi langit terbuka; sendiri hanya dia; Si pemilik wajah sepotong; terduduk. Di sofa bau berkutu busuk; (tenggelamkan kurusnya rusuk compang-camping tambal-tambalan buruk) : Terpejam dia menengadah membisik pelan. Angkasa (yang) cakrawalanya merah bercincin jingga tua : Diam...

"Hmmm...Sudah berapa lama aku di sini. Terang gelap serupa warnanya. Dingin panas serupa rasanya"

...Beratnya desah sangat dihembuskan. Kepul liuk-liuk asap membola tajam kretek buntung hampir habis di tangan; menusuk-nusuk ujungnya mata tipis menyipit. Pandangannya tebal; berkabut nikotin baur kabur tar-nya tinggi. Dia meludah...

"Cuihhh..."

...Dahak kotor berserpih coklat tembakau jatuh-jatuh di atas karatnya tanah onggok tua. Dia mendesah...

"Ah. Kenapa? Kenapa kau di sana".

...Dia diam kembali terpejam. Tiba-tiba berdiri marah. Galak diinjaknya karat tanah tua teronggok; satu kali. Dua kali. Hingga tiga kali...

"Bahh. Siapa pula yang menyuruhmu ada di sana".

...Brakkkk !!! ...Brakkkk !!! ...Brakkkk !!!

"Dan jangan kau menatapku seperti itu! Kau ada di sana; dinasibkan untuk ku ludahi kini ku maki ku injak-injak!"

...Pongah berkacaknya angkuh. (Diam : Hening). Namun sesaat; terburu dia lemah tersimpuh : memeluk. Telungkup mencium-ciumnya; lembut...

"Maaf sayang; aku tadi kasar. Maaf sekali lagi. Maafkan aku"

...Dihempaskan kembali dirinya di sofa. Di atas bundar meja marmer berkaki jati : berdiri botol-botol kaca beralkohol putih membusa buih-buihnya; tiada gelas. (Diambilnya satu) Menenggaknya dia ; hingga kosong. Menenggaknya lagi dia : satu; hingga kosong. Menenggaknya lagi hingga dia terbatuk-batuk serak...

"Uhuk. Uhuk. Cuihh…"

...Ludahnya kotor (beraroma pahit) kembali jatuh di atas karatnya onggok tanah tua. Melebar basahi kain-kain gombal lunturnya lusuh. Tapi dia acuh : Tak galak menginjak. Tak memeluk lagi mencium-cium. Kini menatapnya lama; matanya makin tipis menyipit : Ke dinginnya dinding-dinding tiada sekat. Dahinya sepotong mengkerut...

"Hmmm. Apa aku tak salah dengar?"

...Gontainya kaki-kaki menghampiri (dinding) warnanya lapuk melebam biru. Didekatkan gendang telinga hingga menempelnya lekat sekali. Tak lama, dia tergelak-gelak; kencangnya sangat...

"Ha. Ha. Ha. Hmmm. Apa yang kau bicarakan tadi?”

…Dahinya sepotong mengkerut (lagi)…

“Aku masih belum bisa mendengarmu?"

...Dilekatkannya kembali telinga di dinginnya diding...

"Ah. Ini bukan suaramu. Ya. Ya. Aku dengar suara itu. Aku kenal dia. Suara hangat memanggil-manggil; dari anakku. Ah. Aku rindu dirinya. Teramat rindu. Tapi aku memang harus selalu seperti ini. Jika tidak; Hmmm. Ha. Ha. Ha. Aku tak ingin terpenjara di sana".

...Rokok kretek sepuntungnya disulut (lagi). Api kecil meremang sedikit terangi wajahnya yang sepotong. Kepul rokok (lagi) membulat pekat dari bibirnya kering. Cepat tangan ringkihnya mengibas-kibas. Sesak pengap. Gontai dia berjalan tanpa arah. Didekap kanan tangannya menyilang di dada; ada sebuah buku usang kusam lembar-lembarnya...

...Di bukanya kembali. Buku tadi terludahi dia maki diinjak-injak dan dicium-ciumnya. Sebuah buku harian terbaca tanpa benar-benar terbaca. Tak lama dia tersenyum. Sesaat dia merengut. Kemudian dia terbahak. Namun dia menangis...

"Ah. Ini Anakku. Dan, ini aku. Menggendong mungil merah tubuhnya wangi. Hmmm. Aku punya keluarga bahagia di sana. Maafkan aku Nak. Jika tak seperti ini; Kau akan celaka. Mereka akan mengejarmu. Mengambil kilau mata indah dan senyuman sucimu."

...Dia menangis sedu pedihnya mendalam. Sesaat dia tertawa. Dia pun marah...

"Hahaha. Ya. Ya. Ya. Aku ingat ini. Saudaraku terjatuh dalam kotornya selokan saat besarnya hujan tak lagi mampu bedakan antaranya lubang dan tambalan, antara jalan lurus dan membuntu. Ha. Ha. Ha. Dasar bego. Di mana kiranya dia kini; seperti aku kah? Ha. Ha. Ha..."

"Cihhh. Aku benci orang ini. Penjilat. Pengkhianat. Pembohong dari yang terdusta. Dia yang buatku seperti ini. Keparat laknat kini terbahak di sana"

...Kemudian dia membuka membacanya lembar-lembar semakin hitam dan kelam : Cepat. Ada nyiyir benci di matanya tipis menyipit. Dendam bergolaknya memuncak...

"Dia yang menjerumuskanku" "Dia yang menjebakku" "Dia yang membuangku" "Dia. Orang ini. Mereka yang membuatku. Mereka yang menciptakanku. Ini. Ya. Manusia laknat ini yang menghancurkanku. "Cuihhh" “Ini anjingnya. Itu Babinya. Itu dia Cicaknya. Itu mereka Buayanya” “Keparat”

…Geram marahnya keras melemparkan buku itu ke arah berdirinya botol-botol beralkohol di atas meja…

Brakkk!!!

Pranggg!!!

...Langkahnya tertatih. Mendekatnya dia ke arah lain. Ke sebuah sudut luar ruang berdinding sekat berjeruji karat. Di sana; (diatas ranjangnya besi kasurnya tipis melapuk). "Pasti banyak kutu busuk di sana; seperti kutu busuk di sofanya buruknya"; terbaring seorang lain. (Seorang dengan wajah sepotong lain) : sepotong dari potongan wajahnya...

...Dia terlelap. Terpejam membelakangi kerumunan wajah terduduk di dekatnya. Wajah-wajah tak sepotong hitamnya utuh. Wajah-wajah penuh dosa. Wajah-wajah keicikan. Wajah-wajah munafik. Wajah-wajah ketersesatan. Mereka adalah wajah-wajah algojo kaki tangan setan dan hamba penyembah iblis....

...Tersimpuh dia (lagi). Ringkih tangannya menggenggam jeruji membuat mati. Tak lama; kembali dia menangis...

"Lihatlah. Itu buku kita. Buku catatan hidup kita. Yang terpatri tetap dalam ingatan kita. Ada anak kita di sana. Ada kehidupan bahagia kita di dalamnya. Namun semua harus hilang; dalam wajah sepotong kita yang dipaksa harus dipura-purakan lupa penuh bohongnya"

“Haruskah kita sendiri; tersiksa diri tergadaikan sebagai kambing hitam atas terjadinya segala kebusukan mereka semua di sini”

.

.

.

Kangmas, Maaf. Begitupun Aku Diajeng

ARIJAKA

23122011

Pemilik Wajah Sepotong

illustrasi : google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun