.
Gerimis turun sedikit di awal hari penghujung bulan Januari. Bulirnya meniti kaki mentari yang sinarnya separuh, menepi di jendela-jendela kaca berteralis kayu jati dan jatuh di guguran daun cemara terjauh. Airnya mengalir di dahan-dahan. Menerpa nuansa di ruang dunia bergaris khatulistiwa yang lukisi serpihan cinta di sebuah tangkai bunga. Wajahnya membingkai gurat pelangi di atas telaga. Ada pusaran rindu di matanya. Dan angin, indah lintasi sejuk embun di kelopak yang kuncupnya tinggi-tinggi. Itukah suara resah di tengah kekeringan spiritual Indonesia? Tidak! Dalam diam; mereka bertasbih pada Tuhan.
Prok. Prok. Prok. Saya tepuk tangan usai membaca draft essai milik Kembang. "Jempol!!!" teriak saya senang. "That so beautiful isnt?" tanya Kembang sembari tersenyum. Barisan giginya yang putih mengulum dalam-dalam wangi teh hijau di ujung nafasnya. Saya mengangguk-angguk lagi. "So...?" tanyanya. Kali ini sedikit memburu. Dan glek. Glek. Glek. Bibirnya yang bagus kembali basah.
"Ho ho ho. Membacanya? Aku seperti melukisi angin. Berkaca pada kanvas. Tertawan di kebahagiaan cat dan kuas. Tekstur. Gradasi. Dan goresan warna yang eksotis juga simetris menggelinjang dalam kepala" jawab saya sedikit membaitkan sajak miliknya Gusur Adhikarya. Sekali lagi Kembang tersenyum.
"Tengkyu so Jaka. Mmmuah. Mmmuah. Mmmuah" Kembang mencium mesra lembar kertasnya. He. He. Saya mengusap-usap pipi kanan dan kiri. Koq? Andai saja. Kembang pun beranjak pergi. Mengejar warna jingga lembayung senja. Kerudungnya yang warna merah marun tergerai terbang ujungnya ditiup-tiup desah asmara. Hmm. Asmara itu milik siapa? Uhuk.
Gadis ini; Kembang namanya. Dia penulis hebat. Dan cantik tenan tentunya. "Menulis adalah hasrat. Gairah. Birahi" jawab Kembang saat beberapa teman bertanya soal hobinya. Dan? Wow. Beberapa tulisannya memang sempat nongol di berbagai media cetak. Bahkan, tulisannya terakhir yang judulnya : "Di Pelupuk Matamu, Agama Jadi Impoten " jadi headline sebuah surat kabar nasional.
"Kadang, seseorang terlalu melebih-lebihkan kebenaran, hingga pada akhirnya kepalsuan yang dia dapatkan" ucap Kembang ditengah-tengah langkahnya setelah saya bertanya tentang essai barunya itu. Dia menengok ke arah saya "Dan Tuhan tahu, dia tengah bermain ilusi dalam kenyataan" lanjutnya. Saya manggut-manggut sambil berlari mengejarnya. Terus terang, saya gak ngerti apa yang diucap Kembang barusan. Tapi, demi Kembang, saya musti pura-pura ngerti.
"Taun ini. Aku kudu bisa dapet pacar. Aku lelah menjomblo dan itu resolusiku nomer utama. Titik" ucapnya lagi. Tegas tanpa hilang anggunnya. Ada sungai kesepian yang mengalir dari desah lembutnya. Hmm. Pacar? Kebetulan sekali. Saya lagi kosong, hati saya. He he.
* * *
Purnama merangkak di ujung desa. Bintangnya bertaburan di gugus timur langit. Bercumbu romantis di antara harmoni jangkrik dan binatang malam dalam tangga nada mayor dan kromatis. Tak ada dengung minor di sana. Minor adalah kesedihan. Dan memang, jatuh cinta bukan sebuah kesedihan. Dia adalah kolam penuh warna yang pancarannya menusuk ruang kalbu terdalam. Ya. Saya tengah jatuh cinta. Cihuy!!!