Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Di Titik Nol Netral Derajat Bumi

25 Januari 2012   03:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:29 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328057486619320406

.

"Begitu rupa warna dunianya daripada milik Gusti kita ini" tutur Abdul Khodir petang itu. Sketsa pucat di wajahnya yang sudah keriput menyelinap jauh ke arah tirus matahari membenam jatuh. Bola hitam di matanya yng redup segelap hutan eboni, melukisi langit sepi di balik bilik gubuk-gubuk kaum pinggiran Ibu Kota.

"Saya bahagia banyak-banyak syukuran. Masih diberi kesempatannya sama Gusti Allah. Untuk melihatnya daripada semua ini Dikmas Jaka"

Itulah Abdul Khodir. Seorang lelaki tua pemilik senyum bertasbih zikir dengan pin kecil terukir nama Muhammad yang melekat setia di jas abunya yang lusuh. Saya mengenalnya sejak dua petang ini. Selalu kami terduduk, di sini menjelang magrib. Di beranda surau kecil kampung seberang kali Ciliwung, tempat anak-anak yang tak terziarahi zaman dijarahi permukaannya yang keruh. Tangan kanannya yang cacat menggenggam tasbeh putih terus-terusan butirnya bergulir. Dan seperti hari kemarin, Abdul Khodir kembali alirkan sungai kearifan dari tiap-tiap kata yang keluar dari ujung nafasnya yang teduh.

"Semua pastilah berakhir. Sungguh hidup bagai sejuk lintasi sahara nan tandus. Dari tanah kembali ke tanah. Benarkah kita tercipta dari tanah? Dari tanah manakah kita dicipta?"

Tak lama, Adzan magrib mengumandang. Memecah kedalaman tutur Abdul Khodir yang menusuk-nusuk ruang kalbuku. Kami terdiam. Hanyut dalam suara muazin yang terdengar begitu merdunya. Memanjat langit. Membentangnya dari timur ke barat. Memanunggal bersama cahya bulan sabit yang lengkungnya sejajar dengan kiblat semesta; Ka'bah dalam titik nol netral derajat bumi. Lagi-lagi saya tergetar.

"Dari tanah mana kita dicipta. Tanah yang selalu kita injakkah? Tanah yang selalu kita ludahikah? Tanah yang selalu kita caci makikah? Jika demikian adanya, sungguh kotor ternyata kita. Betapa hina diri yang merasa paling suci dan mulia. Bahkan nabi pun tak pernah merasa dirinya seperti halnya itu" tukas Abdul Khodir menjelang Isya.

Lelaki tua itu kemudian membawa saya melintasi lubang waktu penyertaan jejak-jejak kehidupan. "Kira-kira 7000 tahun sebelum masehi, di dalamnya tertanamlah sebuah batu" tutur Abdul Khodir. "Yang mana batu itu adalah pecahannya dari batuan surga yang mana kini hitam seiring daripada hitamnya dunia; Hazar Aswad dikenalnya nama batu tersebut". Kami menatap Ka'bah, rumah manusia terawal yang dibangun di atas tanah semesta itu tengah dikelilingi oleh jutaan tamu Tuhannya, di antaranya, seorang pria berkulit gelap rupawan dengan rambut indahnya yang basah masih menitikan air sepanjang telinga dan bahunya. "Dia Almasih bin Maryam" singkat Abdul Khodir.

"Dan di sini..." lanjutnya menunjuk sebuah mesjid agung. "Adalah tahun 711, kita berdirinya di salah satu tanah peradaban tertinggi bumi". Di dalamnya, ribuan jamaah, tengah bersujud dalam keterkecilannya akan Kebesaran Tuhan. "Keajaiban daripada dunia pertengahan. Selama 781 tahunnya, sejak tahun 711 hingga 1492, cahaya Islam menerangi daratan Spanyol dan Eropa luasnya. 23.400 meter persegi adalah besar daripadanya dengan 500 tiang berjejer yang sangguplah menampung kurang lebihnya 9000 jama'ah shalat" Saya tercengang. Abdul Khodir lantas membawa saya ke sebuah padang luas yang tandus.

"Dikmas. Kita berada di Babilonia, satu kerajaannya daripada singgasana kejayaan Namrud yang terkutuk. 2000 tahun sebelum masehi, di sini adalah tanah daripadanya Nabi Ibrahim sang kekasih Gusti Allah yang mana tak pernah tersentuh oleh api yang mengelilingi jasadnya oleh karena Namrud tak inginnya berseru jika Gusti Allah adalah Tuhannya" Saya cuma bisa mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun