"Warga kampung mukanya kumal, di basuh air sungai limbah buangan" tutur Kang Pepen (25) setengah bersajak siang tadi saat saya temui di warung rokok Bik Elah. Glek. Glek. Glek. Sebotol minuman dingin merk Au Ah Gelap hanya beberapa detik saja tandas di lambung Kang Pepen yang sedikit tambun. Siang itu; tudung langit di kampung Ah Eh Oh terangnya serupa langit yang payungi kaki cakrawala berkabut pasir di samudera luas sahara yang panas. Sama panasnya dengan ruang kalbu terdalam Kang Pepen; lantaran selama ini, tuntutannya atas kompensasi pencemaran (saya sebut ini : Uang Bau) hak warga setempat hanya dipandang sebelah mata yang belekan oleh pihak perusahaan. Dan minuman merk Au Ah Gelap itu; kini bagai oase hijau hasil ilusi optik akibat fatamorgana stadium akut yang tak mampu menyejukan bara emosi di hati Kang Pepen.
"Cih. Lebih baik tidak sakit gigi; daripada sakit hati" keluhnya kemudian memplesetkan sebuah lirik lagu dangdutnya Meggy Z.
Wajar saja; selama ini, Kang Pepen-lah yang menjadi jenderal pasukan garda depan dengan gada dan baju besinya dalam sebuah pertempuran jihad melawan rezim imperium pengusaha dzolim dan antek-anteknya yang lalim demi memperjuangkan hak-hak warga setempat.
Sebuah perjuangan suci menurut saya; sama halnya seperti perjuangan Kanjeng Sultan Agung melawan Kompeni di Mataram. Sama halnya seperti perjuangan Kanjeng Prabu Siliwangi yang kukuh mempertahankan tanah tatar sunda dari kekusaan Gajah Mada atas Sumpah Palapa-nya. Yang beda; Kang Pepen ini cuma seorang mantan satpam alias petugas keamanan. Dan belum beberapa lama yang lalu; perjuangan Kang Pepen mencapai puncaknya saat beredarnya selembar surat tuntutan Uang Bau yang akan menjadi titik terang dari kebuntuan selama ini. Surat tuntutan itu; jadi senjata ampuh bagi Kang Pepen.
Kang Pepen menceritakan; surat tuntutan Uang Bau itu dibuat dan ditandatangani oleh seseorang; yang memuat tentang permintaan warga kepada wakil perusahaan yang berkepentingan dalam urusan itu; yaitu Tuan Anu-anu, untuk memberikan kompensasi pencemaran alias Uang Bau sebesar 50 persen dari hasil penjualan limbah perharinya.
"Tuntutan warga tersebut secara tidak langsung juga ditujukan kepada salah satu pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan yaitu Yayasan Meong-meong yang diberdayakan untuk mengelola Uang Bau. Yang pengalokasiannya dari hasil jual limbah buangan perbulannya. Tapi ironisnya, selama berdirinya perusahaan sejak tahun 1982; Uang Bau tersebut tak pernah sekalipun diterima warga. Dan Perusahaan seakan tidak mau tahu menahu akan skandal Uang Bau oleh Yayasan Meong-meong" jelas Kang Pepen.
"Itu tuh; dikorup sama si Tuan Anu-anu. Dia kan ketua Yayasan Meong-meong" timpah Bik Elah sambil menghitung lembar demi lembar uang dagangannya yang keriting dan lecek.
Di lain pihak; Kang Pepen juga mengutarakan bahwa kini pihak Tuan Anu-anu tidak merasa pernah menerima dan meng-acc-kan surat tuntutan warga yang sudah beredar luas tersebut. Dan sebagai jawabannya; surat tuntutan tersebut kemudian digunakan oleh pihak Tuan Anu-anu untuk menuntut balik warga dalam hal ini Kang Pepen dan kawan-kawan dengan tuduhan pencemaran nama baik karena dinilai sebagai aktor yang telah mengedarkan surat tuntutan palsu itu kepada semua warga.
"Coba Akang pikirkan; siapa yang gak seneng dengan adanya itu surat tuntutan. Saya sebagai wakil warga di sini merasa diuntungkan. Dan itu menjadi titik terang dari harapan warga yang makin hilang. Kita semua di sini korban dari ketidakadilan. Polusi dan pencemaran tiap hari kita rasakan. Sementara kompensasi dari itu semua cuma dalam impian" ucap Kang Pepen dengan rima yang berlarik bak seorang pujangga.