Jakarta berdiri. Ia mendengus kesal. Ia lempari muka saya dengan buku tebal punya Karl Marx. Lenin. Aristoteles. Brak! Dasar keledai yang memikul buku-buku. Ia hanya bisa membaca tanpa mengetahui makna yang ada di dalamnya. Jakarta mulai meledak-ledak, asap kembali gelontor kini lebih banyak dari liang hidungnya yang tiga biji. Pekat.
"Ya. Seperti itulah sistim tiga liangmu Bos. Kotor"
"Sialan. Kau penghianat Jak" umpatnya keras menuding. Inilah langit gangster Indonesia makin kacau balau. Mabuk sempoyongan dan nyenggeseng sana-sini. Begawan Dorna dan Rahwana terbahak-bahak menonton sembari mengulum botol alkohol.
Ya. Indonesia terkapar di atap pertentangan kelas. Itulah yang banyak dilansir tokoh-tokoh revolusioner. Kesenjangan yang membuat sekat kasta antara manusia disebabkan oleh sistem institusi yang sinting. Eksekutif yudikatif legislatif yang awung-awung. Matanya buta. Telinganya tuli. Mulutnya bisu. Maling yang bersanding dengan pemimpin. Agama jadi topeng makar kroni-kroni berjas hitam. Dan justitie? Pakar Indonesia dari Nortwestern University AS, Prof. Jeffry Winters menyebutkan, "salah satu kegagalan utama gerakan reformasi 1998 adalah ketidaksiapan sistem hukum yang kuat". Neracanya adalah kesewenangan. Pedangnya adalah uang. Kitabnya adalah seringai setan. Rakyat pun makin angkat tangan. Tak ada istilah keadilan bagi rakyat. Indonesia makin terluka. Sengsara. Indonesia belumlah merdeka. Ini adalah eksistensialisme duka abadi manusia.
Glek. Glek. Glek. Saya telan lembaran itu dan ngedorongnya dengan segelas jamu kuat. Bah. Kumpul teks barusan jelas lahir dari rahim teori retorika absurditas. Basi. Busuk. Banyak ulat. Karena nyatanya, Indonesia lebih bobrok dari itu.
"Itu sebab dari ulahmu wahai Jakarta. Tapi ingat. Rakyat sekarang tambah pinter. Mampus kau Jakarta. Silahkan jika mau tertidur. Bila perlu selamanya. Kami selalu akan terjaga" Saya mengacungkan jari tengah ke arah mukanya yang coreng moreng.
Jakarta makin parno. Jakarta sewot sekaligus keok. Garuda tak mampu membelanya. Ia malah asyik tertidur di kuncup Monas yang kerlap-kerlip, mungkin nanti bakal membelot. Jakarta mondar-mandir tak karuan. Jadi pesimistis. Ia mengumpat serapah. Ia meludah berdahak nanah. Cuih! Wajahnya kian memerah. Dengusnya melipat angin murka memanjat kolam kelam Indonesia. Lalu keras memukul cermin retak yang sedari tadi ia tatap terus dengan lekat-lekat. Prang!!! Ia memukul sekali lagi. Prang!!!
"Matilah kau Jak..."
* * *
"Apa yang sebenarnya ingin kamu tangkap di sini?" tanya Omboss pemilik satu majalah anak muda ibu kota. Saya mengangkat bahu. "Jaka. Bacalah novel-novel Mira W biar kamu sering-sering jatuh cinta. Bacalah novel-novel Hilman Hariwijaya biar kamu banyak-banyak ketawa" "Menurutmu? Teori humanisme aneh dari sisi kebinatangan yang kamu buat ini bisa diterima pembaca kita Jak?" tanyanya melolong-lolong.
"Kamu ini aneh Jak" Omboss menggeleng-geleng. Rambut boyband yang gondrong dibelakang jadi goyang-goyang. "Buatlah tulisan seperti cerpenmu SUNGGUH AKU CINTA BANCI ITU Atau puisi seperti Sajak Linglung. Untuk kesekian kalinya, tulisanmu ini bakal nongkrong di tempat sampah. Pembaca tak perlu tulisan-tulisan sok suci seperti ini. Di zaman serba sinting, yang kita butuh cuma ketawa. Inget itu Jaka. K E T A W A" tegasnya.