Kotaku memang terkenal dengan kota yang selalu membuat hati pengunjungnya nyaman dan tenteram. Masih melekat dengan tradisi serta kearifan lokalnya, kotaku ini menjadi daya tarik sendiri bagi mereka yang belum pernah mengunjunginya. Tidak jarang setiap mereka yang mengunjungi kota ini, akhirnya jatuh hati dan bahkan ada yang bersedia menghabiskan sisa hidupnya untuk menetap di kota ini. Termasuk saya sendiri, delapan tahun yang lalu saya datang ke kota ini dengan tujuan menimba ilmu, hingga akhirnya jatuh hati saya terhadap kota ini membuat saya memilih untuk menetap lebih lama di kota ini. Â Orang mengenal kotaku ini dengan sebutan "YOGYAKARTA". Namun sudah delapan tahun berlalu banyak yang berubah dengan kotaku ini. Ketentraman dan kenyamanannya mulai terusik dengan kehadiran mereka yang kita kenal dengan nama pengemis. Saat ini, pengemis di kotaku ini semakin banyak dan disetiap sudut keramaian bisa kita temui. Bahkan didaerah tempatku bermukim yang jauh dari pusat kota saja, dapat ditemui pengemis seliweran dari satu tempat ke tempat yang lain.
Jujur saja terkadang saya terganggu dengan kehadiran mereka, dimana ketika saya berada disuatu keramaian mereka pasti saja ada. Bukan karena saya sombong, dan juga bukan karena saya tidak peduli dengan kondisi mereka. Justru saya prihatin dengan mental mereka yang sudah seperti benalu bagi lingkungan sekitarnya. Terkadang jika kita perhatikan justru kondisi mereka jauh lebih baik dari orang-orang yang mau bekerja keras seperti  Tukang becak, tukang parkir, pedagang asongan  atau para si mbok-si mbok kuli panggul yang dapat kita jumpai didaerah pasar Bringharjo.
Saya mengatakan demikian karena saya pernah melihat langsung kondisi keseharian para pengemis ini.. hanya bermodalkan wajah memelas, baju lusuh dan perawakan yang kotor, dengan mudahnya mereka meraup rupiah dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan saya pernah bertanya dengan beberapa pengemis yang ada di sekitar Malioboro, mengenai pendapatan mereka sehari. Mereka bilang bisa mencapai 200-300 ribu. Pendapatan ini menurut saya termasuk pendapatan yang fantastik. Coba saja pembaca kalikan dalam sebulan jika mereka mengemis rutin 26 hari saja sudah meraup rupiah sebesar 5, 2 juta. Tidak heran mereka mampu membeli HP canggih bahkan membuat rumah didaerah asal mereka. Seperti pengemis yang saya temui di daerah lampu merah UGM, saat saya berhenti menunggu lampu hijau nyala, pengemis tersebut dengan bangganya mengeluarkan HP bermerek SAMSUNG GALAXY yang saya prediksikan harganya satu juta ke atas...seketika ada rasa bete melihat gaya pengemis ini, namun balik lagi bertanya sebenarnya siapa yang patut dipersalahkan dengan kondisi mereka seperti saat ini? Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pembinaan mental mereka yang hanya bisa meminta belas kasihan orang lain, mental yang tidak mau bekerja keras ini?
Jika melihat pendapat mereka sebulannya yang sama dengan pendapatan seorang manajer disebuah perusahaan, ya...jelas mereka memilih menjadi seorang pengemis daripada pekerja serabutan ataupun buruh kecil-kecilan. Beberapa bulan yang lalu media memberitakan tentang kebijakan pemerintah JAKARTA untuk menjadikan pengemis ini sebagai tukang sapu yang akan digaji oleh PEMDA sebesar 2 juta rupiah. Ketika itu respon pengemis lebih banyak menolak daripada menerima, yang kita tahu ini salah satu upaya yang dilakukan PEMDA DKI untuk mengurangi pengangguran dan individu yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Kemudian ada pula pemberitaan Mengenai kebijakan PEMKOT kota BAndung ketika itu terkait pengemis yang akan dijadikan tukang sapu. Respon pengemis di kota BAndung ini pun sama dengan respon pengemis yang ada di Jakarta. Mereka rata-rata menolak dan tetap memilih menjadi pengemis yang sudah mereka anggap profesi mulia bagi mereka untuk meraup rupiah. Kalau saya bilang ini tidak hanya semata mengenai uang yang akan mereka terima sebagai upah dari tenaga mereka semata tapi juga mental yang sudah mendarah daging tidak mau berusaha dengan maksimal tapi hanya mau menikmati hidup dengan enak.
Sebagai masyarakat jika saja kita mau berpikir lebih kritis dalam membagikan kelebihan materi kita kepada pengemis ini, mungkin pengemis ini tidak akan selamanya dapat memperoleh rupiah dengan mudah. Saya pikir kita sebagai masyarakat yang memiliki kehidupan ekonomi lebih layak tidak perlu memudahkan diri untuk memberi kepada mereka. Cukup jika niat kita ingin bersedekah memberika kepada panti asuhan, atau rumah singgah untuk anak jalanan, panti jompo, atau orang orang miskin yang ada disekitar kita dan memang kondisi mereka tidak sekedar miskin namun juga fakir. Untuk menyelesaikan permasalahan sosial ini perlu kerjasama dari berbegai elemen. Tidak hanya pemerintah saja yang ambil pusing untuk menyikapi ini, namun kita sebagai masyarakatpun perlu bersikap lebih kritis lagi untuk tidak memberikan uang kepada para pengemis ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI