Pada bulan september ini sebagian besar perguruan tinga telah memulai masa studinya untuk semester gasal 2023/2024. Perjuangan para calon mahasiswa untuk mendapatkan kampus terbaik yang diimpikan dan diidam-idamkan sudah berlalu. Sebagian dari mereka mungkin sudah bahagia karena menemukan kampus terbaik sesuai impiannya namun sebagian dari mereka tentu mengalami kesedihan karena tidak masuk diperguruan tinggi atau program studi favoritnya.Â
Perjuangan mahasiswa menemukan kampus yang diimpikannya, sejatinya sama dengan deretan kampus yang mengharapkan mahasiswa berminat untuk meneruskan studi pada program studi yang dimilikinya. Berbekal status akreditasi masing-masing perguruan tinggi mempromosikan lembaganya untuk menyampaikan keunggulan maupun  berbagai macam jalur penerimaan dengan berbagai kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada calon mahasiswanya. Banyak dari kampus-kampus ini memberikan jaminan lulus tepat waktu, lulusan memiliki kompetensi untuk siap bekerja, atau memberikan beasiswa penuh bagi mereka yang telah memiliki prestasi sebelumnya.Â
Perjuangan kampus mendapatkan calon mahasiswa sebenarnya setiap tahun terasa semakin berat dan ketat khususnya yang terjadi pada kampus swasta. Apabila dahulu kampus swasta hanya bersaing dengan kampus swasta yang lain untuk mendapatkan calon mahasiswa namun untuk beberapa tahun ini kampus swasta harus bersaing dengan kampus negeri terutama kampus negeri berbadan hukum. Hal ini disebabkan karena kampus negeri berbadan hukum ini setiap tahunnya meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa barunya hingga berkali-kali lipat dari jumlah kuta penerimaan baru tahun sebelumnya. Selain itu mereka juga memperpanjang masa penerimaan mahasiwa baru hingga kuota mereka terpenuhi. Â
Belum lagi dengan keberadaaan universitas terbuka yang setiap tahun selalu masif melakukan promosi untuk penerimaan mahasiwa baru dengan memberikan kemudahan proses belajar secara online, serta biaya studi yang terjangkau. Sungguh ironi ketika disatu sisi pemerintah ingin meningkatkan kualitas mutu pendidikan namun disatu sisi pemerintah terus menggenjot penerimaan mahasiswa baru di kampus negeri. Seolah-olah pemerintah ingin kampus swasta ini mati pelan-pelan karena seleksi alam yang terjadi saat masa penerimaan mahasiswa baru. Â
Lalu bagaimana dengan standar kualitas pembelajaran, apakah dengan peningkatan quota yang besar ini benar-benar bisa menjamin terpenuhinya kualitas pembelajaran?. Pertanyaan tersebut tentu akan mudah terjawab ketika kita mencermati bagaimana standar proses pembelajaran yang menjadi ketentuan pada akreditasi institusi. Sebenarnya standart nasional pendidikan tinggi telah menetapkan bahwasannya beban maksimal seorang dosen mengajar dalam satu semester ialah 12-14 SKS. Nah jumlah itu akan ideal untuk terpenuhi ketika rasio dosen dan mahasiswa pada perguruan tinggi berada pada angka 1:30 untuk prodi eksak dan 1:45 untuk prodi ilmu sosial.Â
Bayangkan seandainya jumlah mahasiswa di satu program studi melebihi rasio tersebut maka sudah barang tentu beban mengajar seorang dosen jauh melebihi standar idealnya. Â
Selain persoalan kualitas, hal yang paling berdampak besar  dari tingginya penerimaan mahasiswa baru pada perguruan tinggi negeri maupun universitas terbuka ialah semakin sedikitnya potensi mahasiswa yang bisa masuk di kampus swasta. Bahkan dalam beberapa tahun ini rata-rata telah terjadi penurunan penerimaan mahasiswa baru sebesar 10-30 persen. Bagaimana mungkin perguruan tinggi swasta akan eksis apabila sumber pendapatanya dari penerimaan mahasiswa baru semakin sedikit?Â
Sungguh ironi ketika dahulu saat pemerintah masih belum mampu menyediakan dan memenuhi pendidikan khususnya pendidikan tinggi, negara mengajak stakeholder di masyarakat untuk bersama-sama mendirikan institusi perguruan tinggi swasta agar bersama-sama mengemban amanah mencerdasakan kehidupan bangsa. Namun kini seiring dengan kemajuan dunia pendidikan serta tingginya alokasi keuangan negara untuk pendidikan seolah-olah keberadaan kampus swasta mulai dilupakan.Â
Akibatnya saat ini kampus swasta telah banyak yang kolaps dan mungkin segera tutup karena mereka tidak mampu lagi bersaing mendapatkan mahasiwa baru yang menjadi faktor utama mereka menjalankan roda organisasinya. Apakah ini yang diingikan oleh pemerintah?. Apakah sekarang pemerintah sudah mulai amnesia dengan keberadaan kampus swasta yang sama-sama berjuang memberantas kebodohan?Â
Selain itu akan sangat mungkin terjadi dampak sosial dimasyarakat ketika kampus swasta tidak lagi bisa berjalan. Dosen-dosen pengajar terancam tidak memiliki homebase lagi, ini menjadi kerugian apabila dosen-dosen tersebut adalah dosen yang selama ini produktif melakukan pekerjaan tridharmanya. Bagaiamana pula dengan nasib tenaga kependidikan yang bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun menggantungkan hidup melalui kampus?. Mereka terancam menjadi pengangguran disaat usia mereka sebenarnya masih produktif. Bagaimana juga dengan keberadaan masyarakat disekitar kampus yang mungkin selama ini mereka hidup dari berjualan makanan serta minuman untuk mahasiswa atau menyediakan sewa kost?Â
Kampus swasta seolah-olah kini hanya menjadi pelengkap bukan lagi dilihat sebagai bagian integral serta holistic untuk mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kampus swasta kini dihadapkan pada tantangan serius terhadap kebijakan-kebijakan yang semakin lama semakin mengikis eksistensinya. Kebijakan yang selama ini tidak memiliki keberpihakan pada keberadaan kampus swasta, yang dibungkus dengan dalih peningkatan standar pendidikan tinggi.Â