Ada fenomena baru dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat maupun didaerah ditengah dampak pandemi Covid-19 di tahun 2020 ini. Fenoma Work From Home atau singkatannya WFH menjadi sebuah fenomena dimana efek disruptif mulai terasa pada budaya birokrasi. Birokrat dipaksa untuk menghasilkan ouput layanan dan kinerja didalam keterbatasan interaksi dan koordinasi dengan stakeholdernya.
Dan kita melihat juga, bahwa birokrasi pemerintahan menjadi pihak yang paling gagap dengan perubahan-perubahan dalam budaya bekerjanya terutama setelah keluarnya ketentuan Presiden untuk mengurangi aktifitas kerja di kantor dengan Work From Home. Budaya kerja yang bersifat rutinitas, kebiasaan, dan segala sesuatu harus pasti yang tumbuh berkembang dalam budaya birokrasi berbanding terbalik dengan era disruptif yang tidak jelas, tidak terprediksi dan tidak ada kepastian.
Pendorong dari disruptif ini adalah perubahan signifikan komposisi demografi. Perubahan yang utama adalah proporsi orang di bawah 45 tahun akan mencapai lebih dari 60 persen dari populasi. Ini disebutnya "the new majority", atau disebut juga dengan generasi millennials oleh Rhenald Khasali, biasanya lahir antara tahun 1980-an sampai era millennium pertengahan.
Pada era ini, orang tetap mencari pertumbuhan (kuantitas), tetapi akan disandingkan dengan pertanyaan tentang kualitas hidup. Masyarakat Indonesia ke depan di-drive oleh usaha mencari bukan sekedar kesejahteraan, tetapi hidup yang bahagia (happiness) dan lebih berkualitas.
Selain itu, pendorong yang semakin mempercepat disruptif adalah perkembangan digital revolusi 4.0. Sebuah revolusi yang mengubah fundamental cara hidup, cara bekerja dan berhubungan satu sama lain. Work From Home (WFH) hanyalah salah satu metode untuk meningkatkan kehidupan yang seimbang, cara bekerja dan berhubungan dengan orang lain melalui pengaturan kerja yang fleksibel istilahnya Flexible Work Arrangements (FWA) khususnya berkaitan dengan tempat kerja.
Meringkas dari berbagai literatur, secara garis besar FWA mempunyai kemanfaatan yaitu untuk meningkatkan produktivitas dan kepuasan bekerja, hemat waktu, hemat biaya baik secara organisasi maupun pegawai, menarik dan mempertahankan talent terbaik dan meningkatkan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan (work life balance). Ada beberapa tipe dalam FWA (Annel&Hartman) yaitu :
a)Flextime : variasi dalam memulai jam kerja dan mengakhirinya
b)Part time work : pekerjaan paruh waktu dimana bekerja dalam seminggu bisa kurang dari 40 jam
c)Compressed work week : memenuhi kerja seminggu kurang dari lima hari
d)Telecommuting (flexspace): mengerjakan pekerjaan di tempat lain diluar kantor
e)Work From Home : mengerjakan semua kerjaan dari rumah masing-masing
f)Job Share : dua orang atau lebih berbagi pekerjaan dalam satu waktu
Dalam penerapan dan pemilihan tipe FWA memang harus memperhatikan budaya manusia dan lingkungan organisasinya. Ada suatu keuntungan sebagai orang Indonesia, yang memiliki dorongan konsep “harmony” didalam falsafah hidupnya.
Tetapi di satu pihak institusi birokrasi di Indonesia sangat menekankan dan terbiasa dengan hierarki dalam organisasi, dan menunggu arahan pimpinan dalam pengambilan keputusan. Hal ini bukanlah obstacle/ penghalang untuk merevolusi birokrasi pemerintahan tetapi menjadi pertimbangan dalam membuat aturan main yang tegas dalam penerapan FWA.
Dan menurut penelitian bahwa konsep Work From Home sebenarnya kurang begitu diterima oleh masyarakat Indonesia dikarenakan bahwa orang Indonesia masih berpikiran orang tidak bekerja ketika mereka berada di rumah. Hal-hal seperti inilah yang menjadi acuan dalam penentuan tipe FWA dan aturannya inilah yang disebut dengan Employee Demand.
Selain Employee Demand, juga diperlukan suatu enabling technology dalam prasyarat penerapan FWA. Infrastruktur teknologi diperlukan dalam pelaksanaan FWA utamanya adalah infrastruktur jaringan internet. Organisasi birokrasi tersebut harus bisa menyediakan jaringan internet yang bagus dan kuat bagi karyawannya dalam melaksanakan FWA. Disamping itu juga diperlukan sarana prasarana koordinasi (digitalisasi rapat, chatting, dsb), sarana prasarana dokumentasi digital (digitalisasi arsip dan tata persuratan), serta sarana parasarana penjadwalan dan absensi.