Pepatah Jawa bilang....
“...Segoro asat,
Gununge jugrug..”
Pepatah tersebut seakan mengiyakan kondisi terkini di bumi ini. Betapa manusia mulai “njugrugke gunung” dengan aktivitas pertambangan atau “ngasatke” laut dengan reklamasi. Gunung Estberg di Timika Papua yang konon katanya penuh bijih tembaga. Bahkan, kandungan bijih tembaga ada di sekujur tubuh Gunung Ertsberg terserak di atas permukaan tanah, dan tidak tersembunyi di dalam tanah. Sehingga Forbes Wilson,Direktur Freeport Shulpur saat itu pun antusias dan langsung melakukan survei atas Gunung Ertsberg. Bahkan dalam surveinya, Wilson dibuat terkagum-kagum lantaran tidak hanya menemukan bijih tembaga di wilayah tersebut, namun ternyata Gunung Ertsberg juga dipenuhi bijih emas dan perak. Sekarang bisa kita lihat kondisi disana, apakah masih tersisa gambaran gunung disana??.
Lalu “segoro asat” (Laut yang mengering) apakah juga terjadi sekarang ini?? Dengan melihat dan memahami isu perubahan iklim saat ini, bisa jadi sebagian besar orang akan berpendapat bahwa es – es kutub utara dan kutub selatan mencair sehingga lautan akan membanjiri daratan. Tetapi kalau kita lihat skala kecil, pepatah tersebut benar adanya. Wilayah pesisir contohnya, menjadikan lautan menjadi daratan, dan menghancurkan gunung untuk material urugannya. Sumberdaya pesisir umumnya bersifat pemilikan bersama (common property) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Setiap pengguna didalamnya berprinsip memaksimalkan keuntungan, sehingga terjadi konflik penggunaan sumberdaya dan over exploitation. Selanjutnya, bagaimana dengan kegiatan reklamasi di pesisir??
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita lihat historis bahwa kota – kota pesisir di nusantara ini adalah cikal bakal berkembangnya suatu pulau/daratan tersebut menjadi suatu peradaban. Jumlah penduduk di kota – kota pesisir dari tahun ke tahun semakin meningkat Akibatnya, beban yang harus ditanggung oleh kota tersebut menjadi semakin berat. Sarana dan prasarana serta infrastruktur kota, seperti pemukiman, kawasan industri, ruang publik, perkantoran, maupun pusat-pusat bisnis, mau tidak mau menjadi tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah setempat. Laju pertumbuhan memunculkan masalah keterbatasan lahan. Hal ini memberikan dampak terhadap kepadatan penduduk, yang akhirnya muncul perebutan penguasaan lahan. Oleh karena itu, usaha-usaha dilakukan untuk memperoleh lahan baru. Manusia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi melakukan pemekaran kota yang dilakukan ke arah lahan kosong dan berair dengan cara melakukan pengurugan.
Dalam memanfaatkan lahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, seharusnya secara otomatis membuat manusia lebih bijaksana, bukan justru menjadikannya sebagai alat untuk mempermudah memaksimalkan eksploitasi lahan tersebut. Kebutuhan akan lahan seakan menjadi pemakluman dan modus manusia untuk mencapai harga kemakmuran. Modus – modus tersebut jika terlalu lama di maklumkan dan dibiarkan akan mengendap menjadi sebuah motif/corak. Motif manusia melakukan reklamasi diantaranya adalah : Mendapatkan tambahan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti untuk untuk tempat wisata, daerah industri, pelabuhan bahkan perumahan atau hotel, memperbaiki kondisi fisik pantai yang telah mengalami kerusakan seperti akibat erosi, memperbaiki kualitas lingkungan pantai secara keseluruhan, dan memberikan kejelasan tanggung jawab pengelolaan pantai.
Kegiatan reklamasi pun harus dipandang dalam kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (integrated coastal zone management– ICZM), karena tanpa keterpaduan dalam pelaksanaan reklamasi, akan terjadi benturan kepentingan khususnya kepentingan yang bersifat ekonomi dengan kepentingan pelestarian sumberdaya. Pelaksanaan pembangunan di kawasan pesisir harus dilakukan dengan terpadu dan holistik jika ingin mewujudkan pengembangan dan pembangunan kawasan pesisir yang optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan ini dilakukan dengan kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholder) serta memperhatikan konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary dalam Dahuri et al. 2001).
Sedangkan, reklamasi yang dilakukan secara parsial dan tidak terpadu justru akan memberikan kondisi yang sebaliknya. Banyak kegiatan reklamasi di Indonesia baik yang telah maupun yang sedang berjalan pada akhirnya menimbulkan permasalahan. Permasalahan ini terkait dengan teknis pelaksanaan kegiatan, masalah sosial, ekonomi, budaya dan khususnya masalah lingkungan. Masalah tersebut muncul pada semua tahap baik pra, pelaksanaan, maupun pasca kegiatan, yang seringkali membuat kegiatan reklamasi menjadi terbengkalai dan bahkan menimbulkan masalah. Sebagai contoh adalah reklamasi Pantai Marina Semarang.
Kawasan pesisir Semarang seperti halnya kawasan pesisir dikota-kota besar lainnya di Indonesia mendapat ancaman serius terhadap kualitas air dan daya dukung lingkungannya disebabkan oleh adanya kegiatan yang berpotensi menurunkan kualitas sumberdaya alamnya oleh limbah industri, limbah domestik, turbiditas dan kegiatan-kegiatan lain yang terjadi disepanjang sungai-sungai yang pada akhirnya bermuara dikawasan pesisir Semarang. Perihal tersebut telah diajukan sebagai alasan untuk diadakannya reklamasi pantai di Semarang. Ijin lokasi sudah diberikan sejak tahun 1987 dari Pemprov Jawa Tengah seluas 232 Ha kepada PT IPU. Faktanya kondisi yang ada banyak lahan yang terbengkalai, land subsidence,adanya proses pembebanan pondasi bangunan yang tidak memperhatikan kestabilan dan daya dukung tanah ketika melakukan pembangunan, pengubahan kawasan hutan bakau menjadi daerah terbuka membuat tingkat lingkungan pantai Marina rusak fisik dan nilai jual tanah berkurang.
Aspek kebijakan dan hukum menurut Lisdiyono (2008) telah terjadi pergeseran substansi tata ruang di Semarang karena terjadi penyimpangan dan perubahan kebijakan tata ruang (Penyimpangan telah dilakukan dan baru disusuli dengan perubahan peraturan (Perda) untuk disahkan/ dilegalkan). Wardhana (2009) mengatakan bahwa kebijakan tata hukum Kota Semarang selepas tahun 1992 bahwa seolah tatanan norma yang dirumuskan dalam Perda-Perda selepas tahun 1992 melegitimasi begitu saja pergeseran – pergeseran kebijakan penataan ruang Kota Semarang. Hal ini dapat dikatakan bahwa tatanan norma kebijakan tata ruang Kota Semarang hanyalah sebagai alat pembenaran bagi pergeseran – pergeseran yang telah dilakukan.