Mohon tunggu...
Herliana Ariyanti Ewar
Herliana Ariyanti Ewar Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Learn and share

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ruang Kolaborasi Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan Topik 2

30 Juli 2024   10:27 Diperbarui: 30 Juli 2024   10:27 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hasil Analisis Kelompok :

  • Belajar Berdemokrasi, dari buku Mengajar untuk Perubahan, hal 58-75
    • Faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang penting dalam cerita tersebut :
      • Faktor Sosial: Siswa di sekolah tersebut memiliki jiwa keberanian yang kuat dibuktikan dengan keberanian mereka dalam mempertahankan haknya dengan cara demonstrasi, namun meski begitu mereka masih memliki adab diketahui dari iktikad mereka meski ditengah-tengah hujan badai tetap datang meminta pendapat pada guru di sana, sebelum memutuskan untuk melakukan aksinya.
      • Faktor Budaya: Masyarakat di pesisir pantai terkenal dengan orang-orang yang pemberani dan tegas, terbukti dari kisah tersebut siswa di SMAN 3 Pandeglang yang berani dalam melakukan demonstrasi untuk menuntut haknya.
      • Faktor Ekonomi: Kondisi ekonomi siswa disana mayoritas rendah, bahkan ada yang harus berjualan sepulang sekolah. Ditambah dengan terjadi tindak korupsi di sekolah, dibuktikan dengan fasilitas sekolah yang tidak sesuai dengan dana-dana yang telah dikeluarkan siswa,yang menyebabkan siswa berani untuk melakukan demonstrasi menuntut haknya, hingga akhirnya kepala sekolah dimutasi ke sekolah lain.
      • Faktor Politik: murid-murid merasa hak mereka di sekolah tidak terpenuhi karena mereka berpikir sekolah memiliki banyak anggaran dana dari akumulasi biaya sekolah dan iuran yang mereka bayarkan tiap tahunnya, namun fasilitas di sekolah sangat tidak memadai seperti tidak ada AC sehingga di sekolah dekat pesisir pantai yang sangat panas itu membuat mereka tidak fokus dalam belajar di kelas. Belum lagi tiap tahun mereka dibebankan untuk membayar uang iuran komputer namun kenyataannya di sekolah fasilitas komputer di laboratorium komputer tidak layak, dan yang bisa dipakai hanya 20 dari 40 komputer yang tersedia, hingga akhirnya siswa kelas XII melakukan demonstrasi untuk meminta kepala sekolah dicopot dari jabatannya karena menurut mereka telah ada tindakan korupsi di instansi sekolahnya yang menyebabkan mereka tidak mendapatkan hak sesuai dengan apa yang mereka iurkan.
    • Bagaimana guru/pengajar tersebut mempertimbangkan perspektif sosiokultural dalam caranya mengajar :
      • Guru tersebut pertama kali datang, meminta anak-anak untuk menceritakan diri sendiri dan menuliskan harapan mereka terhadap pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Berdasarkan tulisan-tulisan itu pengajar tersebut tahu bahwa anak-anak dengan latar belakang pesisir pantai itu menginginkan pembelajaran yang mengasyikkan dengan diselingi candaan, ada yang ingin pembelajarannya tidak banyak mencatat. Siswa yang diajar yaitu kelas XI IPS 1 yang mana menurut guru-guru lain kelas yang penuh tantangan ditambah lagi suhu kelas yang sangat panas karena dekat dengan pesisir pantai dan tidak adanya pendingin/ kipas angin di kelas, namun pengajar tetap berusaha menyusun rencana pembelajaran yang mengasyikkan.
      • Guru menggunakan sebutan teman-teman agar lebih akrab dengan siswa karena perlu pendekatan ekstra untuk siswa dari kelas IPS yang pada dasarnya sangat aktif.
      • Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk menganalisis berita koran dan memfasilitasi mereka untuk saling diskusi kelompok tentang kebijakan pemerintah di koran, di akhir pembelajaran pengajar tersebut menantang siswa untuk bermain peran dengan mengarahkan siswa membuat skenario dengan memilih secara bebas isu yang sedang trend dan meminta mereka mendemonstrasikannya di kelas.
    • Cara lain yang akan Anda lakukan selain yang sudah diterapkan guru/pengajar tersebut :
      Berdasarkan cerita "Belajar Berdemokrasi" dengan mempertimbangkan perspektif sosiokultural, seorang guru dapat melakukan hal-hal berikut :
      • Menggunakan Pendekatan Kontekstual: Guru dapat memulai dengan memperkenalkan konsep demokrasi dalam konteks budaya dan sosial siswa. Ini dapat melibatkan diskusi tentang nilai-nilai, tradisi, dan praktik demokrasi dalam masyarakat mereka.
      • Mengaitkan Materi dengan Pengalaman Siswa: Guru dapat membantu siswa membuat koneksi antara konsep demokrasi dengan pengalaman dan realitas mereka sehari-hari. Misalnya, mereka dapat mengeksplorasi bagaimana keputusan demokratis diputuskan dalam kelompok atau komunitas mereka sendiri.
      • Menggunakan Studi Kasus Lokal atau Global: Guru dapat memilih studi kasus lokal atau global yang relevan untuk menyoroti isu-isu demokrasi dalam konteks sosial dan ekonomi. Misalnya, mereka dapat membahas pemilihan umum, perjuangan hak sipil, atau partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik.
      • Mendorong Dialog Antarbudaya: Guru dapat mendorong dialog antarbudaya dalam kelas untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang perbedaan budaya, perspektif, dan pengalaman dalam konteks demokrasi. Ini dapat membantu siswa menghargai keragaman dan kompleksitas dalam praktik demokrasi di seluruh dunia.
      • Mengembangkan Keterampilan Sosial dan Emosional: Selain memahami konsep demokrasi, guru juga dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan emosional seperti empati, kerjasama, dan keterampilan berpikir kritis. Ini dapat dilakukan melalui diskusi, permainan peran, dan proyek kolaboratif yang mendorong kerjasama dan pemecahan masalah bersama.
    • Pembelajaran yang diperoleh dari menganalisis studi kasus dan pembelajaran pada Mata Kuliah lain yang terkait :
      Pembelajaran yang kami peroleh setelah melakukan analisis kasus adalah bahwasannya setiap peserta didik memiliki hak yang sama dalam menikmati bangku pendidikan. Mereka bebas untuk mengekspresikan diri mereka dengan cara-cara yang membuat mereka nyaman. Orang tua, Guru, Sekolah, serta Pemerintah juga Masyarakat luas hanya bertugas untuk menjamin dan memfasilitasi setiap anak dapat belajar dengan layak. Bukan mengintervensi hak-hak mereka untuk belajar dengan mengatasnamakan kebahagiaan. Sebagai calon guru, kami termotivasi untuk dapat belajar menjadi role model/inspirasi bagi peserta didik. Menjadi guru yang rela mengesampingkan kepentingan diri sendiri demi kepentingan peserta didik, agar mereka mampu mencapai level kemerdekaan. Kami juga sangat berhadap dapat menjadi guru yang memiliki kreativitas serta inovasi dalam pembelajaran baik itu dengan mengintegrasikan teknologi ataupun secara konvensional.
      Setelah melihat dan menganalisis kasus yang ada pada buku, ternyata memiliki kaitan dengan Mata Kuliah yang sudah kami pelajari yaitu Pemahaman Peserta Didik dan Pembelajarannya pada topik bahasan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi peserta didik. Lingkungan belajar menjadi faktor penting dalam kesuksesan pembelajaran karena lingkungan belajar akan mendukung kegiatan belajar mengajar, pembelajaran yang menyenangkan, nyaman, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran. Lingkungan belajar tersebut seperti menjadikan sekolah sebagai kegiatan yang menyenangkan akan membuat peserta didik senang dan bersemangat mengikuti pembelajaran, manajemen sekolah yang kolaboratif dan kompeten, sekolah dan keluarga yang bekerja sama, guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dengan menggunakan metode bervariasi, dan berbagai hal lainnya.
  • Ray Sang Pecandu Online Game, dari buku Mengajar untuk Perubahan, hal 76-92
    • Faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang penting dalam cerita tersebut
      • Faktor Sosial : Ray adalah seorang pecandu game online yang mengakibatkan dia jarang berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya, karena dia sudah merasa nyaman dengan dunianya (game online) hal ini yang memicu Ray bolos sekolah selama 3 bulan dan karena terbiasa bermain game online hal ini juga mengakibatkan Ray bersikap kasar kepada ibunya.
      • Faktor Budaya : budaya bisa kita simpulkan sebagai kebiasaan. Kebiasaan yang selalu dilakukan Ray adalah selalu bermain game online, dan kebiasaan ini mengakibatkan Ray melakukan tindakan tidak terpuji seperti membolos, tidak pernah mandi, tidak pernah berkomunikasi dengan orang sekitar, bertindak kasar kepada ibunya, dan sampai melakukan tindak kriminal seperti mencuri uang ibu dan kakaknya, menyamar menjadi wanita untuk menipu pria hidung belang di sosial media untuk mengiriminya uang.
      • Faktor Ekonomi : Bisa dikatakan Ray hidup sangat berkecukupan karena ada kondisi dimana Ray kehabisan uang dan memaksa ibunya untuk memberinya uang, selain itu Ray juga nekat untuk melakukan tindak kriminal seperti mencuri uang ibu dan kakaknya dan menyamar sebagai wanita di sosial media untuk menipu pria hidung belang agar mendapatkan uang.
      • Faktor Politik : kebijakan sekolah yang turut serta untuk menyelesaikan kondisi Ray dengan cara pendekatan yang intens yaitu mengagendakan setiap minggu untuk mengunjungi rumah Ray untuk belajar bersama dengan ditemani oleh guru, kepala sekolah dengan teman sekelas Ray, yang akhirnya Ray tergerak hatinya untuk masuk sekolah.
    • Bagaimana guru/pengajar tersebut mempertimbangkan perspektif sosiokultural dalam caranya mengajar :
      Berdasarkan hasil analisis kasus, awalnya guru membujuk Ray menggunakan pendekatan yang terlihat memaksa yang mengakibatkan Ray ataupun guru tersebut mengalami cedera, karena guru tersebut mengerti kebiasaan Ray yang tidak pernah keluar rumah, untuk sekedar mandi saja tidak pernah yang mengakibatkan badannya bau, dan terlalu nyaman dengan dunia game onlinenya akhirnya guru tersebut ingin meyakinkan Ray bahwa dia selalu diterima keberadaannya meski selama ini selalu absen sekolah dan memutuskan untuk memindahkan proses pembelajaran di rumah Ray, dikarenakan teman sekelas Ray hanya segelintir orang maka sangat memungkinkan untuk mewujudkan strategi tersebut, yang akhirnya strategi itu tercapai sehingga setiap minggunya guru tersebut, kepala sekolah dan teman sekelas Ray berkunjung ke rumah Ray untuk belajar bersama, guru tersebut juga menyarankan teman-teman Ray untuk membantu Ray ketika mengerjakan soal matematika yang telah dibawakan guru tersebut, memang awalnya terasa canggung tetapi seiring berjalannya waktu mereka akhirnya bisa berbaur. Dan ternyata cara ini efektif karena hingga pada akhirnya Ray kembali berangkat ke sekolah.
    • Cara lain yang akan Anda lakukan selain yang sudah diterapkan guru/pengajar tersebut :
      Berdasarkan cerita "Ray Sang Pecandu Online Game" dengan mempertimbangkan perspektif sosiokultural, seorang guru dapat melakukan hal-hal berikut:
      • Menggunakan Pendekatan Kontekstual: Guru dapat memulai dengan membahas konteks sosial dan budaya di mana cerita ini terjadi. Mereka dapat mengajukan pertanyaan tentang bagaimana budaya teknologi dan media sosial memengaruhi kehidupan sehari-hari siswa dan masyarakat secara umum.
      • Menghubungkan Materi dengan Pengalaman Siswa: Guru dapat membantu siswa membuat koneksi antara cerita ini dengan pengalaman mereka sendiri dalam penggunaan media sosial dan game online. Ini dapat melibatkan diskusi tentang pengaruh positif dan negatif dari penggunaan media sosial dan teknologi dalam kehidupan mereka.
      • Menggunakan Pendekatan Interaktif: Guru dapat mengadopsi pendekatan interaktif dalam mengajar cerita ini, seperti diskusi kelompok, permainan peran, atau debat, yang memungkinkan siswa untuk berbagi pandangan dan pengalaman mereka sendiri tentang topik tersebut.
      • Mendorong Refleksi Kritis: Guru dapat mendorong siswa untuk merenungkan dampak sosial dan psikologis dari kecanduan game online, serta faktor-faktor sosial ekonomi dan budaya yang mungkin mempengaruhi perilaku mereka. Ini dapat membantu siswa memahami lebih baik mengapa seseorang mungkin menjadi kecanduan game online dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi kehidupan mereka.
      • Menggali Solusi dan Strategi: Selain membahas masalah, guru juga dapat mendorong siswa untuk mengidentifikasi solusi dan strategi untuk mengatasi kecanduan game online, baik secara individu maupun sebagai masyarakat. Ini dapat melibatkan pemikiran kreatif, penelitian, dan kolaborasi dalam mencari solusi yang efektif.
    • Pembelajaran yang diperoleh dari menganalisis studi kasus dan pembelajaran pada Mata Kuliah lain yang terkait :
      Berdasarkan hasil analisis studi kasus Rey Sang Pecandu Online Game, kami memperoleh beberapa pembelajaran bermakna yaitu pengaruh perkembangan digital memiliki segudang dampak buruk yang harus disadari dan dihindari oleh setiap lapisan masyarakat, secara khusus peserta didik yang masih dalam jenjang pendidikan rendah. Mereka belum memiliki control diri dan kemampuan menyaring hal-hal negative yang mungkin ditimbulkan oleh perkembangan teknologi. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama guru dan orang tua yang menjadi sosok terdekat peserta didik. Perhatian dan kasih sayang yang tulus dari teman sebaya ray, guru, serta orang tua yang mampu membuat ray terlepas dari kecanduan game onlinenya. Sehingga penting sekali bagi kami calon guru professional untuk memahami latar belakang, serta karakteristik peserta didik agar dapat memberikan pengajaran yang berkesan dimana peserta didik merasa diakui keberadaanya.
      Dari kisah Ray ini kami mundur sedikit untuk mengingat materi Mata Kuliah Filosofi Pendidikan Indonesia. Setiap anak adalah individu yang unik. Sehingga sebagai seorang pendidik, dalam proses "menuntun", anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai 'pamong' dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang 'pamong' dapat memberikan 'tuntunan' agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain. Oleh sebab itu, tuntutan seorang guru mampu mengelola dirinya untuk hidup bersama dengan orang lain (menjadi manusia dan anggota masyarakat).
  • Literasi Dasar, dari Buku Melawan Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola, hal 125-156
    • Faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang penting dalam cerita tersebut :
      • Faktor Sosial:  yang menghambat pendidikan di Sokola Rimba yaitu kurangnya kesadaran dan dukungan warga suku Rimba terhadap pentingnya pendidikan untuk generasinya. Sedangkan faktor sosial yang mendukung pendidikan di Sokola Rimba yaitu munculnya kesadaran anak-anak suku Rimba untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung guna untuk menyelamatkan kelestarian tempat tinggalnya.
      • Faktor Budaya: Ajaran nenek moyang suku Rimba yang kental menciptakan generasinya menjadi pribadi yang sulit untuk menerima perubahan baik dari pihak luar. Orang-orang rimba cenderung susah untuk diberikan suatu pendidikan. Pengajar membutuhkan pendekatan dan waktu yang cukup lama untuk memasukkan pendidikan di Suku Rimba.
      • Faktor Politik: Peraturan adat yang menentang adanya pendidikan di Suku Rimba menjadi penghambat utama. Kesadaran pemangku adat akan pentingnya pendidikan sangat menghawatirkan. Mereka masih memegang erat aturan nenek moyangnya, jika tetap dilanggar aturan tersebut mereka beranggapan akan memunculkan balak atau petaka.
      • Faktor Ekonomi: Kondisi ekonomi yang hanya menggantungkan dari alam baik dari memburu maupun mencari yang ada di hutan menjadikan Sokola Rimba sulit untuk berkembang, sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu Suku Rimba yang melek huruf.
    • Bagaimana guru/pengajar tersebut mempertimbangkan perspektif sosiokultural dalam caranya mengajar :
      Usaha yang dilakukan guru atau pengajar tersebut dengan mempertimbangkan perspektif sosiokultural masyarakat rimba sebagai berikut :
      • Guru membawa fakta permasalahan (proses sokola rimba dimana baca-tulis supaya menjadi sama seperti orang kota agar tidak dihina dengan kata lain tidak bangga akan diri sendiri, keadaan buta huruf membuat penjual dituduh sebagai penipu padahal sebaliknya mereka sering ditipu, keadaan buta huruf membuat kehilangan hutan karena dirampas setelah mengecap jempol surat dokumen, dan pengalaman tidak bisa membaca yang berakibat fatal saat kelompok berdinding besi terkena wabah penyakit muntaber pada tahun 2000) yang dialami orang rimba ke dalam percakapan, berharap mereka mau mengubah prinsip terhadap baca tulis. Guru bertanya kepada satu temenggung (pemimpin kelompok orang rimba) tentang betapa bahayanya kalau hutan terus dijarah dan pertanyaannya tentang penipuan saat transaksi jual beli di pasar yang sebenarnya bisa dihindari jika orang rimba bisa baca tulis.
      • Menunjukkan "kesaktian" baca tulis. Mereka menganggap ilmu baca-tulis itu menyeramkan, bisa mencuri semua pengetahuan mereka. Guru mengatakan "tapi coba pikir, kalau aku bisa mencuri ilmu kalian, berarti kan kalian bisa juga mencuri ilmu orang luar dengan membaca?".
      • Mengajar baca-tulis.
        • Dimulai dengan memperkenalkan huruf dengan perwakilan benda atau sesuatu yang ada dilingkungan sekitar siswa seperti A (Atap sungsudungon atau atap rumah pondok di rimba), B ( Betina bunting atau seorang ibu mengandung), dan lainnya dimana belajar huruf menjadi permainan yang menyenangkan bagi siswa dan hal ini dilakukan karena orang rimba sangat cepat mengingat huruf, mereka masyarakat ber tradisi lisan (oral tradition) yang semuanya diingat di kepala dan disampaikan dari mulut ke mulut.
        • Mengawinkan huruf dengan metode yang siswa pahami, membuat kelompok kata yang mewakili bahasa rimba, dan lebih sensitive terhadap pengetahuan local apapun yang ada dalam khazanah rimba mereka.
      • Membicarakan masalah darurat dalam kehidupan orang rimba, dengan memberikan informasi lain dari majalah atau film yang berkaitan. Melek huruf melahirkan proses perubahan dari tidak tahu masalah menjadi sadar akan resiko dan ketidakberdayaan mengatasi masalah.
        • Terancamnya hutan berarti terancamnya sumber kehidupan mereka. Dengan membaca, mereka menemui kenyataan bahwa mereka sudah begitu lama "terzalimi".
        • Kebanggaan identitas, memberikan informasi mengenai masyarakat adat lain yang bangga akan identitas budayanya, yang menghadapi hal serupa dengan masyarakat rimba namun dengan perjuangan gigih masyarakat adat tersebut melawan "pengganggu" dan bukannya menyerah pada keadaan. Sebisa mungkin guru selalu mencari cara menggali banyak sumber, orang, dan cerita yang bisa membuat mereka bangga (dalam kasus ini bangga menjadi orang rimba). Proses berteman dan mencoba membangkitkan rasa bangga diri masyarakat rimba dan melalui proses mengenal subjek dan memahami konteks dengan harus rendah hati juga dilakukan. Yakin bahwa orang rimba butuh baca tulis, tak peduli pandangan mereka yang menyebut pensil sebagai "setan bertama runcing" dan meyakini bahwa baca tulis akan membuat orang menjadi jahat seperti setan serta akan membohongi orang lain yang buta huruf.
    • Cara lain yang akan Anda lakukan selain yang sudah diterapkan guru/pengajar tersebut :
      Berdasarkan cerita "Literasi Dasar" dari buku "Melawan Setan Bermata Runcing" dengan mempertimbangkan perspektif sosiokultural, seorang guru dapat melakukan hal-hal berikut:
      • Konteks Sosial dan Budaya: Guru dapat memulai dengan membahas konteks sosial dan budaya di mana cerita ini terjadi. Mereka dapat menjelaskan aspek-aspek budaya, nilai-nilai, dan norma-norma yang memengaruhi kehidupan karakter dalam cerita.
      • Menghubungkan Materi dengan Pengalaman Siswa: Guru dapat membantu siswa membuat koneksi antara cerita ini dengan pengalaman mereka sendiri dalam menghadapi tantangan dan konflik sosial dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat melibatkan refleksi tentang pengalaman mereka dengan diskriminasi, ketidakadilan, atau tekanan sosial.
      • Diskusi tentang Isu-isu Sosial: Guru dapat memfasilitasi diskusi tentang isu-isu sosial yang diangkat dalam cerita, seperti ketidakadilan, penindasan, atau konflik antarbudaya. Ini dapat membantu siswa memahami lebih baik kompleksitas masalah sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat.
      • Mendorong Pemahaman Multikulturalisme: Melalui cerita ini, guru dapat mendorong pemahaman tentang multikulturalisme dan keragaman budaya. Mereka dapat menyoroti pentingnya menghargai perbedaan, memahami perspektif orang lain, dan bekerja sama dalam mengatasi perbedaan.
      • Menggunakan Pendekatan Literasi Kritis: Guru dapat mendorong siswa untuk membaca cerita ini secara kritis, mempertanyakan pesan-pesan yang disampaikan oleh penulis, dan mengidentifikasi implikasi sosial dan budaya dari cerita tersebut. Ini dapat melibatkan analisis tentang bagaimana kuasa, identitas, dan struktur sosial tercermin dalam cerita.
    • Pembelajaran yang diperoleh dari menganalisis studi kasus dan pembelajaran pada Mata Kuliah lain yang terkait :
      Pembelajaran yang kami peroleh dari studi kasus Literasi Dasar, dari Buku Melawan Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola ialah pendidikan sejatinya sangat penting untuk dimiliki setiap manusia yang ada dibumi ini tanpa terkecuali, namun nyatanya masih banyak sekali masyarakat khususnya di Indonesia yang masih belum merasakan bangku pendidikan dengan layak. Kegiatan literasi dan numerasi menjadi landasan pembangun pengetahuan awal setiap peserta didik, sehingga mereka perlu dilatih untuk menguasainya. Melihat latar belakang orang rimba yang masih belum terjamah oleh pendidikan, menyadarkan kami para guru untuk siap menjadi agen perubahan dan pelopor pendidikan bahkan sampai pada daerah pelosok. Sebagai seorang guru, kami merasa terpanggil untuk mampu mengatasi kesejangan pendidikan yang ada di Negara ini.
      Kasus dari Buku Melawan Setan Bermata Kucing ini berkaitan erat dengan Mata Kuliah Perspektif Sosiokultural, pemahaman peserta didik dan pembelajarannya, dan prinsip pengajaran dan asesmen yang efektif.  Dari kehidupan Orang Rimba nampak jelas faktor sosial, budaya, ekonomi, serta politik sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat menjelajahi dunia pendidikan. Kurangnya dukungan yang berasal dari ke 4 faktor ini menjadikan orang rimba sulit untuk mengakses pendidikan. Selain itu, sebagai seorang guru ketika diperhadapkan pada situasi ini dapat menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan latar belakang budaya dan tradisi masyarakat (Culturally Responsive Teaching) sehingga pembelajaran yang diberikan merupakan pembelajaran yang tanggap budaya. Perlu juga dilakukan asesmen secara berkala untuk mengetahui kebutuhan belajar, perkembangan, dan pencapaian hasil belajar, yang hasilnya kemudian digunakan sebagai bahan refleksi agar guru dapat mengetahui apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun