Dari sejak lahir sampai jadi gadis belia imut-imut, saya tinggal di satu gang kecil, di daerah Lebak.  Namanya disebut Gang Kibun, diberi nama itu  mungkin karena di sana dulunya banyak kebun, mungkin loh ya mungkin.
Gang kecil padat penduduk dengan rumah yang saling berdempetan, namun rukun dan kompak, terutama anak-anaknya, sama-sama kompak nakalnya. Kami kompak main di area rel kereta api, kompak main masak-masakan pakai api benaran di kebun kosong, dan kompak  main bentengan malam hari di jalan raya.
Kenakalan ternyata tidak selalu berjalan bersisian dengan keberanian, karena saat itu kami tetap termasuk anak-anak penakut dan hal ini yang membuat kami akhirnya menuruti pesan orang dewasa yang melarang kami bermain bentengan di tengah jalan raya setelah lepas maghrib, bukan karena takut tertabrak kendaraan tetapi karena ditakuti-takuti akan diculik kalong wewe dan tidak akan kembali ke rumah.
Walaupun nakal, kami anak-anak yang rajin ke sekolah minggu, dan seperti anak-anak lain, saat Natal kami ikut mengisi acara. Untuk dapat mengisi acara tentu kami harus latihan beberapa kali. Dari rumah ke gereja, kami selalu berjalan kaki, dan untuk tiba sampai di gereja selain harus menyebarangi jalan raya dan rel kereta apai, kami harus  melewati sebuah gang kecil yang sebelah kirinya rumah tua dan di kanannya sebuah kebun kosong.
Saat malam hari, gang yang panjangnya kira-kira 500 meter, akan sangat sepi. Pintu rumah penduduk di sekitar gang tersebut sudah tertutup jelang maghrib dan tidak ada lagi aktivitas disana. Penerangan di sana hanya dari sebuah lampu bohlam 5 watt di ujung gang dekat rumah tua.
Suatu hari, setelah pulang latihan natal yang dimulai sore hari dan  selesai setelah maghrib, kami kembali ke rumah bersama-sama dengan berjalan kaki tanpa ada orang dewasa yang mengantar.  Suasana saat itu sudah sangat sepi, hanya sesekali kendaaraan melintas, angin bertiup agak kencang sepertinya mau hujan, kami berlima berjalan sejajar hingga memenuhi jalur trotar hingga menuju gang kecil. Semakin mendekati gang kecil menuju rumah, suasana semakin gelap, karena lampu jalan tidak cukup menerangi sampai ke daerah itu.
Tiba saat  akan memasuki gang kecil, kami  yang tadinya asik membahas rencana kegiatan untuk besok, serempak mulai diam dan melambatkan langkah, hingga tiba satu orang mulai memberi komando.
"Kita bilang numpang-numpang ya, numpang-numpang anak babi mau lewat."
Kaki kami mulai melangkah dan mulut kami mulai komat-kamit "pang numpang lewat anak babi mau lewat." Kekompakan kami berjalan dan membaca mantera mulai pecah saat tiba di separuh jalan, dari arah kebun kosong terdengar suara pohon bergerak-gerak, hingga  mata kami menuju arah suara, dan disana tampak seperti ada bayangan dibalik pohon.  Tanpa perlu komando kami berlari sambil tetap berteriak keras "pang numpang lewat anak babi mau lewat" dan berhenti di ujung gang.
"Kok pada lari?"
"Setannya gak takut sama anak babi!"