Beberapa hari lalu, Ibu dari teman anak saya curhat karena dirinya baru dipanggil guru kelas lantaran anaknya ngoceh dikelas setelah ulangan matematika demikian “kerjain asal-asal aja, yang penting naik kelas” .Maksud guru kelas memanggil Ibu sang anak untuk bertanya apakah kalimat yang diucapkan anaknya diajarkan oleh si Ibu, dan tentu si Ibu membantah dan kemudian memarahi anaknya.
Saat ini anak si Ibu duduk di kelas 3 SD sama dengan anak saya, dan beberapa waktu sebelum kejadian diatas, Ibu sempat mengeluh mengenai betapa susahnya pelajaran anak kelas 3 sekarang. Si ibu mengaku saat sekolah tidak bisa matematika, jadi Ia pun kesulitan untuk mengajarkan anaknya.
Sebagai informasi, berikut saya lampirkan soal matematika yang ada di buku sekolah kelas 3 semester ganjil.
[caption id="attachment_331819" align="aligncenter" width="432" caption="dok pri"][/caption]
Melihat soal diatas, untuk kita generasi 80-90 an, tentu akan kaget meihat tipe soal diatas diperuntukkan anak kelas 3 di semester awal, namun demikianlah kenyataannya sekarang.
Di akhir semester saat kelas 2, dimana materi pembagian mulai diajarkan, saya mengetahui betul bahwa banyak dari teman-teman anak saya yang tidak mengerti bagaimana mengerjakan soal pembagian karena sepertinya guru kelas tidak mengajarkan cara yang mudah untuk dipahami anak-anak termasuk anak saya pada saat itu.
Kebetulan karena saya suka matematika, maka setelah membaca materi di buku sekolah, tidak sulit bagi saya untuk menjelaskan dengan cara yang mudah dimengerti anak usia 7 tahun saat itu. Naik ke kelas 3, karena dasar pembagian dan perkaliannya sudah mengerti maka tidak sulit bagi anak saya untuk mengikuti, tetapi bagaimana dengan anak-anak yang konsep dasar perkalian dan pembagian belum mengerti, tetepi harus mengerjakan soal kombinasi seperti diatas?
Mungkin bagi orang tua yang punya uang bisa aja memakai jasa guru bimbingan belajar untuk mengajarkan anaknya, tetapi bagaimana untuk orang tua yang tidak mampu. Mengajarkan anaknya tidak bisa dan membayar guru les pun tidak mampu, maka yang muncul adalah ungkapan putus asa seorang Ibu seperti ocehan si anak yang memang seharusnya tidak dikeluarkan di depan anak.
Lalu apakah kita akan menyalahkan pihak guru atau sekolah?
Saya tidak akan menyalahkan pihak sekolah yang begitu cepat maju memberikan materi lain sebelum anak-anak semua paham dengan materi sebelumnya. Sekolah harus mengejar target kurikulum yang diberikan oleh Dinas Pendidikan, dan tentu tidak mudah mencari guru yang bisa menguasai semua materi pelajaran untuk mengajar dalam satu kelas.
Bila kembali ke tahun 80 -90 an, sepertinya orang tua tidak terlalu dipusingkan dengan kegiatan sekolah anaknya, lebih mandiri, tidak ditakut-takuti tidak lulus atau tidak naik kelas karena tidak mencapai target nilai per mata pelajaran. Anak-anak di jaman itu sepertinya lebih menikmati kegiatan sekolah karena tidak dibebani seperti kegiatan sekolah saat ini, yaitu ulangan yang hampir setiap hari diadakan belum lagi pekerjaan rumah yang juga hamper setiap hari (biasanya bergantian, bila besok ada ulangan hari ini tidak ada PR). Memang kurikulum harus mengikuti perkembangan jaman, namun tidak harus mengesampingkan fakta bahwa setiap anak memiliki kemampuan, minat dan bakat yang berbeda-beda, sehingga perlu diberi solusi untuk anak dapat berkembang sesuai bakat dan kemampuannya.
Sebagai orang tua, saya menaruh harapan kepada Menteri Pendidikan yang baru, Pak Anies Baswedan untuk mengembalikan sekolah menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H