Membaca berita mengenai seorang gadis bernama Dinda yang dianggap miskin empati karena tidak rela memberikan tempat duduk kepada Ibu yang sedang hamil, akhirnya membuat saya membandingkan prilaku pengguna kendaraan umum disini dengan di negara tetangga, yaitu Singapura.
Sejak tiba di bandara Changi hingga beberapa hari disana, kami selalu menggunakan MRT untuk menuju tempat wisata atau tempat-tempat penting yang ingin kami kunjungi. Waktu kami berkunjung kesana bukan hari libur nasional, sehingga aktivitas masyarakat yang pulang pergi bekerja menggunakan MRT berjalan seperti biasa.
Di jam-jam sibuk kondisi MRT sama dengan KRL di sini, penuh sesak bahkan berdiri pun harus berhimpitan. Namun yang berbeda kondisi di sana dengan di sini adalah kepatuhan para penumpang dalam mematuhi aturan yang ditetapkan oleh pengelola MRT, yaitu tidak merokok, tidak makan, tidak minum, tidak buang sampah selama berada di kawasan MRT. Kepatuhan para penumpang ini dibentuk karena pemerintah Singapura menetapkan denda yang luarbiasa besarnya untuk setiap pelanggaran yang dilakukan. Selain itu, meskipun tidak ada gerbong khusus wanita, penumpang berjenis kelamin perempuan tetap merasa aman berkendara dengan transportasi masal sebab pengawasan di dalam gerbong sangat ketat karena pada setiap gerbong terdapat CCTV.
Di setiap gerbong tersedia kursi khusus untuk kaum lansia, ibu hamil, ibu yang membawa anak kecil, dan kaum disabilitas, disebut "reserved seating" dan terdapat di pojokan dekat pintu keluar masuk.
Di jam-jam sibuk, kursi khusus tersebut akan terisi penuh, namun bila ada penumpang yang tergolong 'berhak' dengan kursi tersebut, penumpang yang tadinya duduk segera berdiri dan mempersilahkan untuk duduk.
Bila kursi khusus tersebut sudah penuh di duduki oleh yang 'berhak', maka penumpang yang duduk di kursi umum pun akan sukarela berdiri dan memberi tempat duduknya.
Karena dalam perjalanan tersebut saya membawa anak saya yang kecil, maka selama menggunakan transportasi masal disana, saya dan anak saya yang kecil selalu mendapatkan tempat duduk.
Bila membaca isi pembelaan diri dari gadis bernama Dinda tersebut, yang mengaku kakinya pincang gara-gara tulangnya tergeser dan sudah lari-lari dari jam 5 supaya bisa duduk (kaki sakit kok bisa lari-lari *bingung), kemudian tiba-tiba ada ibu hamil yang minta tempat duduk, saya menganggap bahwa hal tersebut adalah ungkapan ketidakrelaannya memberikan sesuatu yang dianggap haknya dan diperoleh dari perjuangan kepada orang lain, padahal orang lain tersebut lebih membutuhkan kursi tersebut dan  Ia lupa pada himbauan pihak PT. KAI agar penumpang lain mendahulukan memberi kursi pada lansia, Ibu hamil tersebut.
Bila seorang Dinda dan Ibu hamil ini naik MRT yang ada di Singapura, saya yakin Ia akan sukarela memberikan kursinya kepada Ibu hamil tersebut sebagai wujud kepatuhannya atas aturan yang ditetapkan oleh pengelola MRT.
Cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat kita untuk patuh kepada aturan sepertinya harus mencontoh negara yang terkenal dengan Merlionnya ini, karena warga kita yang berkunjung ke sana dapat seketika berubah menjadi warga yang disiplin, patuh pada aturan serta didorong untuk memiliki empati.
Ini merupakan sebuah PR besar untuk pemerintahan yang akan datang.