Dulu, di tahun 90-an, ketika kakak saya hendak berangkat ibadah haji, ibu saya begitu berat melepasnya, seolah hendak melepas anaknya ke medan perang untuk berjuang, karena saat itu, ketika berangkat ke tanah suci, tidak ada alat komunikasi yang dapat dipakai untuk memberi kabar atau menerima kabar. Dan, ketika kakak saya kembali ke tanah air dengan selamat dan sehat, ibu saya menyambutnya dengan rasa haru dan bahagia.
Kemudian ketika era ponsel "belum pintar" hadir, rasa khawatir pihak keluarga yang ditinggal ibadah ke tanah suci sedikit berkurang karena komunikasi  dapat dilakukan meskipun sedang berada di tanah suci, walau hanya sekali atau dua kali karena biaya telepon saat itu masih sangat mahal.
Selanjutnya, ketika era ponsel pintar hadir, Â semuanya berubah. Tidak perlu lagi ada rasa khawatir karena komunikasi dapat dilakukan dengan mudah dan murah, cukup dengan media chatting keluarga di tanah air dapat memberi dan menerima kabar. Bahkan dapat melihat langsung kondisi fisik dengan sambungan video call.
Tidak Lagi Hanya "Tuhan dan Aku"
Kebaikan yang diberikan oleh si ponsel pintar ternyata diekori oleh godaan-godan yang akhirnya memberi celah dirinya untuk masuk di antara " Tuhan dan Aku".
Ponsel pintar yang dilengkapi dengan kamera, memudahkan kita untuk mengabadikan setiap kegiatan termasuk saat melakukan ibadah. Kegiatan ibadah yang saya maksud bukan hanya saat ibadah haji, namun ibadah setiap agama, baik ibadah di gereja, pura, vihara, karena tidak jarang kita melihat ada yang sibuk melakukan foto-foto padahal saat itu sedang dilakukan kegiatan doa.
Selain kamera, kita juga dapat membaca kitab suci melalui ponsel pintar, karena sudah tersedia aplikasi yang berisi kitab suci yang dapat kita pilih dan unduh. Dengan adanya aplikasi yang berisi kitab suci, banyak yang memilih untuk tidak lagi membawa kitab suci dalam bentuk buku ke gereja, karena merasa sudah ada di dalam ponsel. Namun sayangnya, saat tiba waktunya membaca kitab suci, kita akan tergoda untuk membuka aplikasi lainnya terutama media chatting atau media sosial, terutama bila mengetahui ada pemberitahuan pada aplikasi tersebut. Akhirnya, konsentrasi  terganggu dan fokus kita berpindah untuk menjawab pesan, dan akhirnya si pintar menjadi pihak ketiga yang mengganggu ibadah kita kepadaNya.
Hadirnya si ponsel pintar juga membuat ibadah kita tidak lagi menjadi prinsip "cukup Tuhan yang tahu", karena seringkali foto-foto saat kita beribadah menjadi konsumsi orang banyak sebab diunggah di media sosial. Â Atau, tidak sedikit yang membagikan informasi bahwa ia sedang beribadah dengan melakukan "chek in" di tempat media sosial.
Kehadiran grup chatting  juga menjadi godaan yang dapat menjadikan si ponsel pintar menjadi pihak ketiga antara "Tuhan dan Aku". Notifikasi yang muncul sering kali menggoda untuk kita membuka isi pesan saat berada di tempat ibadah meskipun hanya sekedar untuk membaca. Â
Selain itu, si ponsel pintar juga membuat  banyak waktu ibadah  tercuri hanya karena kita harus menjawab atau membaca pesan yang dianggap penting atau dianggap menarik, walau saat berada di tanah suci sekalipun.
Kepintaran si ponsel pintar memang sangat membantu kita dalam banyak hal, termasuk dalam soal memberi informasi dan kemudahan berkomunikasi, namun ponsel pintar ini juga akan pintar menjadi pihak ketiga yang hadir di antara "Tuhan dan Aku", padahal komunikasi  "Tuhan dan Aku"  tidak memerlukan si ponsel pintar.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H