“Mama cantik, tapi bawel..”
Membaca kalimat diatas tentu kita akan memaknainya sebagai kalimat pujian, karena ada kata cantik di sana. Namun bila melihat dua kata selanjutnya yang menyertai kata cantik tersebut, yaitu tapi bawel tentu akan membuat kalimat pujian tidak lagi sebagai pujian yang tulus.
Kita bayangkan kejadiannya. Seorang suami istri yang sedang duduk berdua kemudian berdiskusi mengenai kriteria cantik, dan tentu sang istri akan bertanya kepada suami dan ingin mendapat pengakuan dari suami bahwa ia cantik di mata suaminya. Suami mana yang berani mengatakan tidak cantik kepada istrinya, kecuali bila sudah siap menanggung risikonya.
Karena tidak ingin mengecawakan istrinya, maka tentu keluarlah kalimat mama cantik. Namun kenapa dilanjutkan dengan kata tapi bawel, yang tentu saja akan mengurangi 50% bunga-bunga yang ada di hati sang istri. Menurut saya, alasan sang suami menyertai kata ‘tapi bawel’ adalah agar sang istri mengetahui bahwa ada kekurangan yang di dalam dirinya yang tidak disukai sang suami.
Memuji Orang Lain
Tanpa disadari, kita lebih sering dan lebih mudah memuji orang lain daripada memuji orang terdekat kita sendiri, kecuali bila ada hal-hal spektakuler, misalnya anak kita juara lomba tertentu, juara kelas atau hal-hal lain yang dianggap sebuah prestasi.
Dan terkadang, tanpa disadari kita lebih sering memuji orang lain dihadapan orang-orang terdekat kita, daripada memuji orang-orang terdekat kita sendiri. Meskipun tujuan awalnya hanya ingin bercerita namun tanpa sadar kita menjadi memuji si tokoh dalam cerita, yang parahnya terkadang seolah pujian tersebut seolah dianggap sebagai pembanding oleh yang mendengar cerita.
Contohnya,
Suami : Ma, tadi papa ketemu Pak Bowo sama istrinya di kantor.
Istri : Tumben Pak Bowo ajak istrinya, gimana istri Pak Bowo sekarang, masih gendut kayak dulu gak?