Pentas Bunga Pasrah
By Ariya Skylover
Tirai kain digulung ke atas, ditarik pelan oleh dua anak lelaki di sisi kanan panggung. Alunan musik klasik Toccata and Fugue in D Minor, BWV 565 karya Johann Sebastian Bach  mengiringi  dibukanya pentas drama anak-anak Rumah Yatim al Insaniyah. Pandangan para penonton tertuju  ke panggung yang  sengaja dibuat gelap tanpa cahaya.
"Pagi nan gelap  masih menyelimuti  Bukit Cinta Sejati.  Udara dingin disertai kabut menghadirkan embun yang menempel pada beberapa  batang tumbuhan liar serta membuat basah  padang rumput di kaki bukit.  Namun fajar segera menjelang memaksa kuntum-kuntum bunga liar terbangun dari tidurnya...."  Begitu sang narator membuka  babak pertama pentas drama.
Seketika lampu  panggung menyala temaram, tapi lampu sorot  super terang menyinari  sesosok setangkai bunga melati raksasa yang di tengahnya menyembul kepala bocah perempuan cantik.  Melati cantik itu merentangkan kedua tangannya yang berbentuk kelopak daun. Lalu dia menggeliat melepas kantuk terakhirnya.
"Uahhh..... Selamat pagi  dunia yang indah  salam hormat buat engkau matahari yang sudah membangunkan diriku dengan sinar hangatmu," tutur  si setangkai melati.
Para penonton yang kebanyakan orang dewasa  terkagum-kagum pada kecantikan pemeran melati.  Mereka adalah donatur tetap bagi yayasan rumah yatim yang menampung anak tanpa orangtua, bocah jalanan terlantar serta korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang harus dipisahkan dari keluarganya  yang rentan konflik. Lampu sorot warna-warni  menyinari atas panggung ketika  sang melati cantik bernyanyi dan menari riang menyambut kehadiran mentari. Â
Di belakangnya ikut menari setangkai mawar berduri, bunga matahari serta sekuntum kamboja liar.  Keempat bunga cilik nan cantik  menari riang namun sedikit centil.Tiga lagu anak tempo dulu dinyanyikan bersama penuh ekspresi.  Aksi mereka baru berhenti  ketika sinar warna-warni berganti temaram, sementara  irama dinamis pun melamban.
"Suasana ceria di kaki Bukit Cinta Sejati mendadak  sepi.  Hening dan menegangkan ketika seekor kumbang jantan datang lalu berputar-putar mengelilingi  para bunga cantik," ujar sang narator.
Sang kumbang jantan yang diperan seorang bocah lelaki usia sepuluh tahunan  terus mengitari  bunga-bunga yang kini terdiam penuh kebisuan.  Sungutnya yang panjang dan lancip ditekan pelan ke kelopak para bunga, seakan  mengendus wangi tiap tumbuhan cantik itu.
"Bezzz... bezzz... bezzz..., maaf wahai melati cantik. Boleh Aku menyedot madumu untuk Aku persembahkan kepada Sang Ratu?" tanya sang kumbang ketika berhenti di hadapan melati cantik.
Silahkan  Abang kumbang yang gagah. Tapi pelan-pelan ya. Walau sungutmu terbuat dari kertas terompet tahun baru, namun jika tertusuk tentu sakit juga," jawab melati cantik di luar skenario, membuat beberapa penonton tertawa geli.
"Sropot... glk! Sropot... glk! Sropot... glk!"  Begitu backsound yang keluar dari speaker besar di kedua sisi panggung ketika sang kumbang  menempelkan sungutnya pada leher melati cantik.
Selesai menjalankan tugasnya sebagai kumbang pengumpul madu,  lalu serangga belang hitam dan kuning  itu pamit kepada melati cantik yang kini melemah usai diambil sari madu nya namun sang kumbang berjanji segera kembali padanya.
Kumbang pantang berdusta, tak lama kemudian dia sudah kembali kepada melati cantik.  Sang kumbang melakukan hal serupa sebelumnya memeriksa kadar madu di pucuk bunga melati.  Beberapa kali memeriksa akhirnya dia menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak menemukan  madu yang dicarinya. Maka sang kumbang jantan pun meninggalkan melati cantik yang tampak tersenyum tiada kecewa.
"Bezzz... bezzz... bezzz, Wahai mawar yang manis, bolehkah Aku menghisap madumu  untuk Aku persembahkan kepada Sang Ratu?" tanya  kumbang setelah beberapa kali mengitari panggung dan hinggap dekat setangkai mawar berduri.
Bunga mawar jelita hanya mengangguk kecil sambil tertawa genit. Maka tanpa membuang waktu sang kumbang gemuk segera menempelkan sungutnya pada kelopak mawar berduri. Lalu sropot berpindahlah sari madu ke tubuh si kumbang. Selanjutnya dia bergegas pergi meninggalkan mawar yang lemas tak berdaya.
"Huh, dasar kumbang tak tahu malu! Sudah habis  sari madu si melati dihisapnya maka ditinggalah dia.  Lalu sesudah puas dihisapnya sari madu si mawar maka ditinggalkannya juga si genit merah ini,"  komentar  bunga kamboja dengan ketus.
Setelah selesai ucapan bunga kamboja, cahaya di atas panggung didominasi warna merah yang mengekspresikan kemarahan bunga yang biasa tumbuh di atas tanah pusara dan pemakaman umum. Â
Menit berikutnya tumbuhan berbalut hijau dan putih berdendang dan bernyanyi dengan nada tinggi  menghardik kebiasaan sebagian mahluk yang maunya enak sendiri, egois serta meninggalkan tangggung jawab setelah hasrat atau keperluannya tercapai.  Nyanyian penuh emosi  si  lentik kamboja pun berhenti seiring alunan musik yang menghilang dan cahaya panggung yang kembali normal.
Melati cantik dan mawar jelita berdiri berdampingan bergandeng tangan. Â Keduanya berjalan lembut menghampiri kamboja eksotik namun kritis.
"Wahai kamboja yang baik, janganlah Engkau marah kepada sang kumbang yang telah menghisap sari madu kami berdua," ujar melati cantik dengan lembut.
"Betul wahai kamboja yang baik. Seekor kumbang memang diciptakan untuk  mengambil sari madu dari setiap bunga yang sedang tumbuh mekar, mengumpulkannya lalu juga menikmatinya," tambah mawar jelita.
Bunga matahari yang dari tadi diam  membisu, tiba-tiba bergerak maju ke depan  merangkul bunga kamboja eksotik.
Kadang sebagai mahluk Tuhan yang terbatas pengetahuannya, Kita sulit memahami  kemauan dan tujuan Sang Pencipta dengan seluruh ciptaan-Nya. Tahukah Kamu bahwa dengan hinggapnya kumbang pada setiap bunga, maka akan terbawa olehnya serbuk sari yaitu benih-benih cikal bakal bunga yang baru. Benih itu tersebar ke seluruh penjuru bukit sebagaimana dia terbang ke segala arah," tutur bunga matahari yang anggun dan bijaksana.
"Betul sekali bunga matahari. Sang kumbang perkasa  memang menghisap sari madu Kami, tapi sesungguhnya dia tengah menebar  dan menumbuhkan benih-benih penuh kasih di Bukit Cinta Sejati.  Seperti...." sambung melati cantik.
"Seperti Papi Erdin bersama Mama Siva dan Mama Fiesta membangun rumah yatim bagi Kami anak -anak yang kehilangan kasih sayang orangtua," sambut mawar jelita sambil menunjuk seorang lelaki lanjut usia yang di sisi kanan dan kirinya merapat mesra dua ibu muda berhijab ungu muda.
Seketika applause dan pandangan  para penonton pentas tertuju kepada ketiga sosok yang disebutkan namanya tadi.  Mereka adalah pendiri dan pengurus Rumah Yatim al Insaniyah. Tampak oleh hadirin, kedua ibu muda menggenggam  jemari tangan kiri dan kanan Papi Erdin dengan lembut yang bergetar karena usia. Seakan memberitahu semua orang jika mereka bahagia dan bangga pada sang kumbang' di rumah cinta sejati.
Setelah tepuk tangan dan keriuhan mereda, pandangan kembali ke  pentas drama anak  bertajuk "Bunga Pasrah" yang digelar dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1444 Hijriyah sekaligus menyambut bulannya anak yatim dan kaum dhuafa.
"Mentari pagi semakin meninggi.  Para penghuni kaki bukit mulai ramai  bermunculan.  Dari serangga kecil  yang hinggap dan berlompatan, hingga burung pemakan bebijian. Kicauan riuh rendah dan derik kaki serangga saling bersahutan menyapa kehangatan pagi yang ceria" tutur sang narator dari balik panggung.
Setelah kalimat itu terucap, cahaya merah kembali mewarnai panggung. Tapi kali ini diiringi efek suara yang rusuh dan menegangkan, manakala sesosok kostum tangan raksasa memasuki panggung. Tangan itu merebahkan bunga-bunga cantik di atas panggung. Padahal para bunga telah berteriak dan menjerit supaya manusia jangan memetik lalu merusak kehidupan flora di kaki bukit.
"Ternyata, manusia yang telah diberikan akal dan budi telah kalah oleh nafsu sok berkuasa dan merusak.  Mereka menyiksa binatang, merusak tumbuhan dan alam. Bahkan mereka menelantarkan anak-anak yang mereka lahirkan  sendiri," ujar sang narator mengakhiri.
Tirai kain diturunkan perlahan.
***
Lenteng Agung, Jumat 29 Â Dzulhijjah 1443H / Â 29 Juli 2022M
Dipersembahkan untuk memeriahkan tahun baru Islam, 1 Muharram 1444 Hijriyah (30 Juli 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H