Sejak Ujian Akhir Semester (UAS) berakhir Sabtu petang kemarin, Uri merasa semakin malas ke luar rumah. Dunia sekitar serasa tak lagi ramah kepadanya. Begitu juga alam juga kian tak bersahabat, Â kadang panas terik diselingi gerimis namun sesekali hujan lebat berseling cerah.
Angin kencang masuk dari jendela apartemen yang terbuka lebar, nyatanya tak membuat remaja putri belasan tahun itu merasa kedinginan. Malahan mahasiswi semester satu di Institut Bahasa itu berupaya mengaktifkan tombol remote dari Air Conditioner (AC) yang terpasang di dinding, tapi karena tak ada tanda pergerakan atau hembusan angin maka dilemparlah remote itu ke atas kasur.
"Menyebalkan!" Â gumamnya kesal.
Segera diambil smartphone kesayangannya dan dibuka kontak WhatsApp (WA) pengelola apatemen. Ternyata tidak ada pesan baru melainkan jawaban tiga hari lalu yang menyatakan jika perbaikan AC baru bisa dilakukan pekan depan  karena keterbatasan personil teknisi. Lalu dibuka juga kontak layanan jasa perbaikan AC, jawabannya senada bahwa sejak pandemi Covid -19  telah banyak teknisi yang dirumahkan, artinya  tidak dapat segera diperbaiki.
"Bukannya kamu di lantai tujuh? Coba buka sedikit  jendelanya, pasti lumayan segar," saran sobat karibnya Nuha ketika curhat via sambungan langsung.
Jangankan digeser sedikit, dibuka lebar pun  tak juga membuat Uri merasa segar. Jiwanya tetap merasa gerah, hampa dan kesal tak berkesudahan.  Perasaan gundah itu berlangsung beberapa lama kemudian. Namun bersamaan itu juga, sudah cukup banyak angin masuk ketubuhnya dan membuat Uri mulai mengalami mual dan perut mengembung. Keringat dingin perlahan membasahi piyama biru muda favoritnya.
"Kebiasaan deh, Kamu seneng banget sih buka jendela  lebar lebar. Cepat tutup dan minum teh hangatnya," tegur Bunda setiap mengunjungi apartemen.  Terngiang pesan itu maka segera dirapatkannya jendela, lalu dibuatnya secangkir teh manis panas yang dibubuhkan beberapa bulir cengkeh.
Sambil mengaduk-mengaduk tak beraturan air teh di mug berwarna biru kesayangannya, Uri masih merasakan kegundahan yang entah darimana sebab musababnya. Pandangan menerawang menatap hari-hari ke depan yang diduganya akan jauh lebih sepi dan hampa, tanpa teman tanpa suasana kampus yang menyenangkan walau jauh dari ramai. Begitu juga lingkungan sekitar kampus, masih belum banyak penjaja kuliner instan. Â Sepi, tak bergairah dan hidup serta dalam keterbatasan membuat dunia bergerak lamban tak berpengharapan.
Kemudian Uri menggeser kursi ke dekat jendela agar dapat memandang suasana kota yang masih lengang karena pandemi. Â Sambil menyandarkan diri ke bantalan kursi, mahasiswi bertubuh sedikit gemuk itu menyeruput teh panas yang mulai menghangat.
Kehangatan pun menjalar perlahan ke sekujur tubuh Uri setelah meneguk habis teh anti angin resep Bunda. Â Mualnya menghilang tapi piyama yang dipakainya masih basah dan lembab.
Baru saja Uri hendak melepas piyama, tiba-tiba smartphone kesayangannya menjerit. Segera dia mengangkatnya dari atas kasur.