Beda ya? Antara penguasa dan calon penguasa? Dia selalu dikawal banyak ajudan dan saya tidak. Nanti kalau saya jadi penguasa saya tanpa pengawalan. Itulah janjiku kepadamu wahai rakyatku. Dengar dan saksikan.
Rumput bergoyang sebelum ditanya. Angin berhembus ke arah tak jauh dari ocehan sang calon penguasa. Ya. Ke arah sang penguasa pujaan hatinya yang selalu terngiang di kepalanya.
Rupanya diam-diam sang calon penguasa yang sedang asik berdansa dengan gemulainya, menyelipkan utusan melalui angin membawa kabar. Sang penguasa harus digoyang saat berdansa di taman barunya. Berupaya menusuk diam-diam sang penguasa yang sedang bahagia dengan rakyatnya yang begitu mencintainya.
Hai penguasa galak! Kau bukan golongan kami! Mulutmu telah menyakiti telinga kami! Kau caci ayat kami! Kau maki penghulu kami! Kau tindas rakyat kecil kami! Begitu teriak puluhan utusan bayaran sang calon penguasa. Yang penting gaduh. Yang penting teriak lantang. Dibumbui teriakan Sang Maha Pencipta.
Sang penguasa geleng-geleng kepala tersenyum bergumam, begini cara mereka bermain, yang katanya ingin bermain cantik, adu program dansa yang elegan, tanpa bawa-bawa nyanyian si sara. Dan sang penguasa semakin mesra berdansa dengan rakyatnya di samping teriakan-teriakan para utusan bayaran.
Janji manis, sumpah janji membuai keluar dari mulut sang calon penguasa yang asik berdansa ditengah pawai buatannya. Cukuplah membuat tangannya merogoh kocek agak dalam. Anggapnya sebagai modal awal jadi sang penguasa. Sebelum meninggalkan acara, dia berkata pada rakyat undangannya untuk menaikkan citra baiknya. Wahai calon rakyatku! Aku akan lebih perhatian pada rakyat kecil, tidak seperti sang penguasa sebelah sana!
Dan sang calon penguasa pun berlalu dengan berlari. Ya, lari adalah hobinya. Tidak seperti sang penguasa yang hobinya kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H