Mohon tunggu...
Ari Widya Nugraheni
Ari Widya Nugraheni Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang mahasiswi yang yang tengah mengasah ilmu di fak Psikologi utk berdedikasi mengimplementasikan ilmu yg dimiliki\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Dua Gadis dan Supporter Sepakbola

26 Desember 2011   12:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:44 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebenere ini adalah kisah nyata, tapi saya buat dalam bentuk cerpen lalu saya bumbui sedikit  biar tampak sedaaap!! (halah). Jadi ya ini cerita dibilang nonfiksi bisa, fiksi juga bisa! Whatever.... penting asik asik asik !! :D Oya di sini saya lengkapin dnegan bukti foto.Bukannya mau narsis (hoho) tapi cuma mau sedkit eksis (haha apa bedanya coba?) Torehan dari Suatu Pengalaman By: Lollita~HT Hari Senin yang berkelabu. Mendung menggelayuti kota Jogja. Aku sudah berencana untuk pergi ke kantor Depag Jogja yang berada di dekat Mandala Krida seusai pelajaran Kemuhammadiyahan. Tapi sayang hujan besar ditambah angin kencang melanda kawasan sekolahku. Berhubung guruku lagi gakmood ngajar anak didiknya dibiarkan tepar di atas meja! Alias melabuh ke alam mimpinya, termasuk pula diriku dan temanku, bahkan sudah sejak beberapa jam lalu! Hehe. Naasnya aku dan temenku sampai tidak sadar, seusai hujan reda kita bangun dan oh, kelas sudah lumayan sepi! Hihihi kita ketidurannya lama banget. Kita pun bergegas pergi. Berhubung kita sedang tidak sholat, kita pun lantas menuju halte busway yang berada di Punokawan. Karena banjir aku pun mencopot sepatu alias nyeker sampai halte. Temanku, Emet, bersikukuh tidak mau ikut melepas sepatunya. Khawatir ketemu cacing katanya! "Met, berhenti di masjid dulu yak! Aku pakai sepatu dulu. “Iya,” jawab temanku. Kita memasuki halte busway dan duduk menunggu bus jurusan yang akan kita tuju. Aku sedikit memicingkan mata saat tiga gerombolan cewek di depan kita yang juga berseragam putih abu-abu  sama dengan kita, tengah berteriak-teriak di depan pintu halte yang jelas di depannya adalah jalan raya, meneriaki seorang cowok berbaju putih yang tengah berjalan di seberang. "Cowok yang lagi jalan,, Oii..!!" "Jiahhh, sombong banget sih, Cowok baju putih!" Uh, hancur deh harkat martabat wanita .... Mereka berteriak norak menggoda cowok yang memang bertampang tampan itu. Hebat, dengan coolnya tuh cowok samsek gak berpaling, noleh sedikitpun tidak!! Saluutt, dua jempol untukmu Boy !! "Ihh bajunya kotor banget , kayak pelangi, warna-warni ." bisik Emet menunjukkan tiga cewek tadi. "Sstt.." aku memberikan isyarat ‘ngomongnya jangan keras-keras’ kepada temanku itu. Iya sih, aku juga heran mereka kan tinggal di rumah bisa dicuciin atau malah memakai mesin cuci tapi kenapa bajunya sekotor itu? K ita saja yang notabene adalah anak asrama dan  nyuci sendri,  jujur…. lumayan bersih ... tapi aku gak bilang jorok kok, cuma aneh saja! Sontak tiga cewek itu menatap kita sengit. Uupss mereka mendengar kita! So wayy... toh kita gak kenal! "Biasa wae tho. Bisa wae.." ujar salah satu dari mereka. "Apanya yang biasa aja?" Itu lhoo tiga orang itu.." ujarnya sambil melirik ke arah kita. Aku dan Emet tentunya juga satu adek kelasku yang juga memakai seragam SMA seperti kita. Kita hanya mendengus. Diam. Ketika busway jurusan yang kita tuju datang sangat lega rasanya karena kita tidak searah dengan tujuan mereka. o(*_*)o Sesampainya di kantor Departemen Agama, kita langsung menuju tujuan. Tujuanku ke sini adalah untuk mengambil hadiah. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya aku ke sini, tapi tetap saja aku tercengang-cengang senang. Dengan struktur bangunan kantor yang mirip asrama ditambah pula kerindangan pohon-pohonnya membuat suasana di sekitar  menjadi asik, asri, dan adem ayem. Lumrahnya anak muda kita tak lupa untuk mendokumentasikan momen ini dengan berfoto-foto ria. Tapi sayang baterai kamera digitalku tinggal limited. Tapi tak peduli kita tetap saja memuaskan diri untuk bernarsis-ria. Setelah puas pun kita beranjak pulang. Saat kita hendak keluar, kita kebingungan karena pintu utama tidak bisa dibuka. Salah satu pegawai di situ ngajarin caranya membuka pintu tersebut dengan mengecap sidik jari lebih dahulu seperti alat absennya di perkantoran. Jepreett !!! Wajahkita terekam di alat itu seperti sebuah poto! Hah lucu dan sedikit keren! Aku baru melihat alat seperti itu pertama kali. Sesampainya di luar aku dan Emet lagi-lagi berfoto-ria. Kita meminta tolong Bapak-Bapak yang ada di situ untuk memotokan kita berdua. Kita meminta cukup setelah empat kali jepretan. “Terimakasih, Pak.” Ujar kita riang sambil tersenyum manis. Setelah Bapak itu berlalu, kita langsung melihat hasilnya. “Ya ampuuun… Bapaknya motonya gak ada yang bener. Kabur semua. Poto kita malah jadi kayak hantu.” Ujar temanku menahan sebal. “Sudah kuduga.” Aku menggigit bibir. Aku dan Emet hanya bisa menatap kecewa. Sia-sia dong,kita sudah gaya-gaya begitu. Uhh… Sembari melupakan kejadian tadi kita berjalan pulang. Kita mampir di sebuah kafe yang terlihat menarik dan elegan banget untuk sekadar kuliner dan coba-coba. Pas lihat menunya... OhmyGod! Mahal, bukan harga pelajar. Iya sih, pas kita lewat tadi juga  mobil-mobil yang terparkir di situ. Akhirnya aku pesen nasi rawon karena itu yang lumayan murah tanpa minum biar hemat dan Emet pesen pisang coklat dan coffe caramel. "Nasi rawon tuh yang gimana sih?" tanyaku polos. "Manis…” jawab Emet. Setelah menu sudah siap untuk disantap tanpa babibu aku langsung menyantapnya. Peduli gila mas-mas waitress yang geleng-geleng kepala menatap kita geli. "Eh Met, kan yang punya ni kafe orang chinese.. jangan-jangan ini daging Babi lagi. Aku takut nih." bisikku di sela-sela kelahapanku. Sebenernya aku rada kecewa sih  karena ternyata nasi rawon tuh cuma seperti  nasi tongseng tapi kuahnya lebih encer dan berasa kecut pedes manis jadi satu. "Gak lah. Udah sih mkan aja. Gak usah mikir yang aneh-aneh, positive thinking aja." "Tapi aku takut kalau  ini daging haram," selorohku tapi tanpa berhenti mengunyah. Emang dasar orang kelaparan sih ! Wah mampus aja lok aku makan daging babi !! Ogah yah, darah yang mengalir di tubuhku ini HARAM... Hiii. Dengan ‘Bismillah’ dan berpositive thinking akhirnya aku mampu menghabiskan nasi rawon itu dalam sekejap hingga kepedasan. Mas-mas waitress yang melihatku tengah kepedasan lantas menawariku minum air putih. Aku menggeleng menolak. Gak ah, ntar bayar lagi deh. Ogah! Mending juga minta seteguk dua teguk minumannya temenku yang panas itu. Padahal sebenarnya temanku pesannya pakai es, emang dasar mas-mas waitressnya kali ya yang lola alias loading lama. Kita tak menyia-nyiakan tempat yang elegan ini untuk berfoto-foto ria menghabiskan baterai kamdigku yang memang sudah limited ini. Rintik-rintik hujan tak menghalangi kita untuk bernarsis ria. Setelah puas kita beranjak pulang, tujuanku kita adalah halte busway. Ketika kita tengah berjalan, dari arah berlawanan datang serombongan supporter sepak bola dari Mandala Krida. Ya Ampuun.. aku lupa hari ini ada pertandingan sepak bola! Karena takut dan parno aku lantas nekat mengambi jalan menyusuri tepian got. Bukannya apa, aku takut aja kalau tiba-tiba terjadi tawuran atau apalah yang sering kulihat di tipi-tipi dan yang sering kali terjadi terjadi dalam pertandingan bola selama ini. Aku dan Emet berjalan cepat, tak memedulikan salam yang diteriakkan beberapa cowok yang berpapasan dengan kita. Aku menatap mereka ngeri. Halte busway yang kita tuju sesak sekali. Lautan biru menghias mandala Krida yang terletak di belakang halte. Aku menatap bergidik. Suara raungan motor terdengar meraung-raung memekak telinga. Mungkin mereka para supporter tegah merayakan kemenangan atau tengah membuang kekesalan, entahlah. “Uuuh bising sekali. Padahal ini kan udah sore, udah mau maghrib. Huh, apa merek tak peduli jikalau di sekitar mereka ada yang kebisingan? Para bayi dan orang tua pasti terganggu sekali.” Kataku, menatap prihatin jalanan yang penuh motor yang di-gas keras-keras. Dasar, anak muda jaman sekarang! “Iya tuh! Heran juga, apa mereka tak memedulikan orang tua mereka yang tengah berpayah mencari nafkah untuk mereka dan menanti kepulangan mereka tanpa tahu bahwasannya anaknya tengah berhuru-hara!” Temanku, Emet, menanggapi. “Uh, dulu orang tuanya ngidam apa ya?” selorohku. Aku malah jadi geli senidri. Ketika tengah asik bercakap-cakap, mata kita terpusat pada gerbang pendek di belakang halte yang tengah pasrah dilompati para anak muda yang berseragam biru sebagai supporter sepak bola. Dan ya ampuun.. mereka menuju halte! Aku melongo. Yang bener saja, mereka mau naik busway? Heran juga aku. Bukannya biasanya supporter gituan kalau rombongan naiknya truk atau pick up? Wah ngelite sekali mereka naik busway. “Namanya siapa Mbak?” tanya salah seorang dari mereka. Aku memalingkan mukaku ke arah jalanan di depan Halte. “Mbaknya yang lagi noleh, namanya siapa?” aku melirik sekilas. Hih, ngapain sih ni orang? Karena aku memang pendiam, yang menjawab dan menimpali pertanyaan gak penting itu adalah Emet. “Minta nomernya dong, Mbak?” tanyanya lagi. “Gak ada.” Jawab Emet. “Mbaknya yang lagi senderan?” tanyanya gak menyerah. Aku menoleh menggelengkan kepala malas. Huh, sorry bung, kita gak boleh bawa HP kali! “Kelas berapa Mbak, SMP ya?” lagi-lagi dia bertanya. Pertanyaan retoris memang. Emet menjawab dengan menunjuk rok yang tengah kita kenakan. Jelas-jelas kita memakai rok SMA masih saja bertanya. Aku menatap ngeri mereka apalagi saat mereka membuka tas dan mengeluarkan isinya saling bertukar isi tas dengan teman-temannya. Pikiranku melayang pada novel yang sering kubaca. Jangan-jangan itu senjata tajam lagi. Oh tidak!! Aku kembali menatap mereka tanpa berkedip dan membuatku malu saat aku tahu ternyata isi tas yang saling mereka tukar adalah baju ganti merek. “Hei, malu diliatin Mbak-mbaknya tuh.” Kata salah seorang dari ereka. Sontak semua mata berbaju biru menatapku. Wajahku memerah lantaran malu. Sial banget sih! Duh aku malu sudah berprasangka buruk pada mereka. Bencana kita bertemu mereka tidak sampai di sini. Ternyata kesialan kita bertambah setelah tahu kita  satu jalur dengan mereka. Beruntung aku dan Emet mendapatkan tempat duduk jadi tidak harus susah-susah berdiri berdesakan dengan mereka. Ternyata mereka tak henti mengerjai kita. Aku menutup bet nama pada kerudungku dengan tasku. Aku takut mereka bisa tahu namaku dari membaca bet namaku. Halte demi halte kita lalui. Busway makin sesak saja. Namun hal yang membuatku menaruh kagum pada mereka adalah ketidakegoisan mereka untuk mempersilakan beberapa Ibu-Ibu untuk duduk sedang mereka memilih untuk berdiri. Bahkan ada yang saling berpangku membuatku tersenyum melihatnya. Ternyata wajah sangar dan wajah onar mereka tidak menutup kemungkinan mereka untuk melakukan suatu kebaikan. Petang semakin menggelayut. Satu per-satu penumpang turun di beberapa halte yang kita lalui. Tapi yang membuatku heran adalah kenapa si para supporter yang berjumlah lebih dari sepuluh itu tidak turun-turun? Jujur, aku dan Emet jelas-jelas takut banget. Mereka agresif sekali. Tak henti mengerjai kita. Apalagi bencana buatku saat Mbak-mbak yang sebelumnya duduk di sebelahku telah keluar dari busway dan sebagai gantinya salah satu supporter yang duduk si situ. Oh tidak! Tapi aku lumayan lega. Untung yang duduk di sampingku bukan yang paling cerewet di antara mereka yang getol banget ngejekin kita. Cowok itu duduk membelakangiku. Mungkin dia malu karena kwan-kawannya terus meledeknya. Katanya rejeki duduk di dekatku. Dasar anak muda, tobat oi! “Ayo kenalan.. Kenalan!!!” kata mereka berisik, tentu saja ditujukan kepada cowok yang duduk di dekatku. Sumpah, aku malu berat. Aku pura-pura tuli tak mendengar selorohan mereka. Aku membuka lembaran kertas kumpulan bahasa Koreaku dan pura-pura menghafalnya sembari menutup mukaku. Kulihat Emet juga tengah menyibukkan diri. Aku menguap. Sial, kenapa di saat genting seperti ini justru kantuk menyergapku? Aku menyandarkan kepalaku pada kursi. Ingin sejenak menutup mata. Tapi aku tak berani tidur. Aku malu dilihat oleh cowok-cowok gila itu. Huh! Toh suara bising mereka membuatku tak bisa memejamkan mata. Aku menatap jalanan dari kaca candela, menatap pemandangan petang dengan lampu yang menghias sepanjang jalan. Kali saja aku menemukan warung makan yang asik buat kulineran. Aku berusaha mengenyahkan hawa dingin yang menyergapku. Aku memeluk lebih erat tasku. “Lima menit lagi….” Beberapa dari mereka menyanyikan lagu dangdut. Entah aku tak mengerti maksudya. Yang kutahu hanya cowok yang di sampingku itu tengah senyum-senyum gak jelas sembari menutup mukanya malu. Dan lima menit pun berlalu. Oh dan aku paham sekarang, apa yang dimaksud lima menit lagi! Ternyata tujuan mereka sudah sampai. Maksutnya perpisahan antara kami dan cowok yang di dekatku. Aih, dasar gila! Ya Allah.. bantu Hambamu ini… Berikanlah Hambamu ini kesabaran … Mereka turun barengan di sebuah halte. Setelah busway kembali berjalan mereka bersay good bye, melambaikan tangan mereka pada kita. Fiuh! Aku akhirnya bisa bernafas lega. Uhh capek sekali. Sekarang aku bebas, bisa tidur dengan tenang. Tapi lagi-lagi mataku sulit untuk  terpejam. Bayangan kejadian barusan masih berkelabat di otakku. Ini petama kalinya aku bertemu dengan rombongan supporter sepak bola di depan mata, satu busway pula! Mungkin ini akan menjadi momen yang tak terlupa bagiku dan bagi temanku. Kita menuruni busway dengan perasaan lega dan syukur tiada henti. Beban satu terlewati. Beban kedua adalah menyiapkan alasan untuk diberikan kepada pamong asrama jika nanti gerbang asrama sudah ditutup. Sebagai anak asrama batasan pulang adalah adzan maghrib dan kita sudah melebihi batasan itu. Waktu sudah menunjukkan hampir Isyak. Huh! Kita lantas berlari menuju asrama yang jaraknya tak jauh dari halte busway. Peduli gila lah kalaunya nanti kita dimarahi, yang penting kita akan menjelaskan perkara sejujurnya minus pertemuan kita dengan supporter sepakbola gila! Khansa’ Drmitory 250411 Nb: Aku lupa nyantumin Brajamusti yg notabene sbg supporter spakbola PSIM yg mnjdi tokoh cerita. (Ak cma tahu dkit2 ttg dunia pertandingan sepakbola). Tapi stlah ak pkir2 lebih baik emng gak usah dicantumin aja ndak nimbulin kontroversi.Hahaha.Halah !! Ini adalah salah satu hasil foto kenarsisan di Taman Depag ~Ah ya ini pertama kali aku pergi jauh 'bukan krna urusan sekolah' dengan SERAGAM LENGKAP-,- hai Emet... ^_~ Nah ini foto di depan pintu utama Depag yg pake sidik jari buat membukanya xD Ini adalh poto saat di Cafe elegan itu....>,< sek hargane lumyyan hhooo

Aku mah apa2 doyyan !! SANTAPP !!

Emet dan secangkir kopi PANAS... xD Ah, padahal pesennya pake Es malah dikasih yg panas. Emng dasar mas2e...-,-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun