Mohon tunggu...
Ari Widodo
Ari Widodo Mohon Tunggu... profesional -

Nama (huruf besar) : ARI WIDODO, SE\r\n2. Laki-Laki/Wanita : Laki-laki\r\n3. Tempat Lahir/Tanggal : Lubuklinggau, 26 Februari \r\n5. Alamat tempat tinggal : Perumahan BSP Blok B2 No 48 RT 9 \r\n Dusun Purwobakti, Kecamatan Bathin III, \r\n Kabupaten Bungo, Jambi\r\n12. Menjadi Anggota PWI sejak : 2008\r\n13. Nomor Anggota PWI : 05.00.15867.12\r\n14. Tergabung pada PWI Cabang : Muarabungo, Jambi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo

17 September 2012   17:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chung Hoa Se Sheaw dan Toko Panjang Saksi Sejarah Warga Tionghoa Bungo selain memiliki jiwa pedagang. Selain itu juga cukup dikenal masyarakat Bungo dengan peninggalan mereka, salah satunya sekolah Tionghoa Chung Hoa Se Sheaw, dan lainnya Toko Kopi Panjang yang cukup laris mulai zaman Belanda hingga kini. Ari Widodo, Muarabungo Berdiri kokoh dan bercat warna hijau tua, dengan berbagai simbol burung garuda serta keris membuat kesan bangunan tua itu tampak “angker”. Rupanya bangunan yang kini sebagai markas Kodim 0416 Buteberdiri di jalan perwira ini dulunya eks sekolah Tionghoa. Namanya bagi warga Tionghoa Bungo pun tidak asing Chung Hoa Se Sheaw diperkirakan sudah ada sejak 1930-an. Apalagi dengan beberapa ciri khas bangunan bergaya pecinan berdiri kokoh sebagai saksi bisu keberadaan etnis Tionghoa Bungo berkembang, serta menempuh pendidikan di tempat ini. Belum lagi ciri lain patok yang bertuliskan huruf mandarin masih ada di depannya. Hal ini diakui oleh Loi Hui Shien, pria yang sudah berumur 69 tahun ini. Loi Hui Shien mengaku pernah orang tuanya bersekolah di tempat markas Kodim ini selama enam tahun. Terang Apek yang biasa disapa Hui Shien, sekitar 1956 silam dia tamat sekolah setingkat SR ini. Bahkan saat itu murid yang bersekolah dengan jumlah tidak lebih dari 80 orang. “Kalau tidak salah nama sekolah itu Chung Hoa Se Sheaw. Saya sudah merasakan manis pahitnya sekolah disana, seingat saya dulu itu milik perkumpulan Tionghoa Bungo dan dijadikan pusat pendidikan. Hanya saja itu diambil alih oleh pemerintah dijadikan pusat militer,” ungkapnya berkisah. Hui Shien tidak begitu ingat dengan nama kepala sekolah maupun gurunya karena sudah lama sekali. “Saya pun masuk ke Bungo cukup lama,” katanya. Banyak kenangan dari sekolah ini mulai sering bermain sepakbola bersama teman-temannya. Selain itu dia nasih ingat kalau di samping sekolah itu berdiri sekolah pendidikan guru (SPG) serta di samping kanan merupakan lapangan sepak bola. “Kami kalau tidak ada kegiatan main sepak bola, tetapi biasanya bantu orangtua untuk mengurusi kedai warung kopi. Kenangan itu cukup banyak, tetapi kini hanya tinggal kenangan,” katanya. Selain itu tempat yang menjadi sejarah warga Tionghoa atau tempat berkumpulnya pribumi dan Tionghoa Warung Kopi Panjang yang begitu terkenal hingga ke pedusunan. Warung kopi yang berdiri kokoh di tepi jalan Dahlia itu tak pernah sepi pengunjung, biasanya para pedagang maupun warga dari pedusunan ketika belanja kekotaMuarabungo mampir ke warung kopi ini, walaupun hanya sekadar minum kopi khas keluarga Hui Shien. Pagi itu di Toko Panjang, belasan warga memadati warung yang berukuranlimameter persegi itu. Dengan ciri khas Tionghoa meja bulat dan dikelilingi kursi plastik merah, sementara di meja tersaji makanan ringan cha kui roti berbentuk panjang ditemani telur puyuh yang terletak di dalam piring. Warga Tionghoa berbaur dengan warga Bungo dan Minang berbincang-bincang, tak nampak perbedaan diantara mereka. Menurut Hui Shien, warung kopi yang dikelola oleh keluarganya ini berasal dari orang tuanya dan nenek buyut. Sudah ada sejak zaman Belanda dan menjadi tempat persinggahan baik warga dari Rantau Keloyang, TanahTumbuh, Lubuklandai yang berbelanja di Muarabungo. “Biasanya orangtua saya Loi Si Phau melayani puluhan pelanggan yang biasa ke warung kopi ini, bukan hanya warga Bungo tetapi menjadi tempat perkumpulan warga Tionghoa pagi-pagi mengisi waktu kosong. Kata orang kopi panjang ini cukup terkenal dengan aroma dan campuran khas harum,” akunya. Jelas Hui Shien warung Kopi Panjang bangunannya sejak dulu 1940-an sudah seperti itu. Kemudian dia sendiri tidak ikut mengelola warung kopi karena merantau. Baru pada 1970-an Hui Sien membuka toko obat Panjang. “Kenapa warung kopi itu bisa namanya panjang, seingat saya karena orangtua saya itu tinggi dan kebetulan toko ini panjang jadi nama itu lengket pada nama warung. Biar lebih merakyat, apalagi kini masih dikunjungi dan cukup ramai setiap pagi,” jelasnya. Sementara itu Harianto alias Athong sedikit banyak mengetahui sejarah sekolah Chung Hoa Se Sheaw berawal milik perkumpulan dari warga Tionghoa peduli dengan pendidikan anak mereka. Kemudian didirikanlah sekolah itu atas dasar dana perkumpulan dan beroperasi sejak zaman Belanda. Sayangnya lokasi itu kemudian diambil alih oleh Kodim Bute untuk markas mereka. “Istilahnya pinjam pakai sekitar tahun 1960-an. Sekolah itu merupakan sekolah suku Tionghoa, dan rombongan koko Lie Chien bersekolah di tempat itu. Kalau tidak salah dibagian depan dan belakang masih ada patok bertuliskan huruf china,” jelasnya bersemangat. Sayangnya kata Athong hingga kini belum ada kejelasan apakah akan dikembalikan kepada perkumpulan Tionghoa Bungo atau tidak. Padahal itu merupakan satu-satunya sejarah dan aset perkumpulan. “Kita sendiri tidak tahu kapan mau diserahkan kembali bangunan dan tanahnya ke warga Tionghoa. Setidaknya itu masih dipikirkan bersama-sama,” tandasnya. (bersambung) Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (2) Jalan Dahlia dan Seroja Pusat Perdagangan Pecinan Keberadaan warga Tionghoa Bungo sejak zaman Belanda patut diperhitungan, mereka mudah bergaul dengan warga sekitar sehingga maju dan sukses. Dua kawasan sejak dulu hingga kini didiami warga Tionghoa, jalan Dahlia dan Seroja kala itu sudah ramai dan menjadi pusat perdagangan Pecinannya, Muarabungo Ari Widodo, Muarabungo JALAN Dahlia dan Jalan Seroja yang kini menjadi Jalan Merdeka merupakan kawasan perdagangan serta persinggahan warga Bungo. Tak luput pula kawasan itu menjadi perhatian warga Tionghoa untuk mencari nafkah keseharian mereka. Menyusuri jalanan utama hingga menemukan jalan Dahlia. Melihat ke sisi timur, ada sebagian toko-tokonya sudah tua, kuno. Sayangnya, bangunan tua di pertokoan Dahlia ini tidak dipertahankan seluruhnya. “Di sini pernah kebakaran. Beberapa malah sudah berubah menjadi lebih modern,” kata salah seorang sesepuh warga Tionghoa Bungo Loi Hui Shien kepada Radar Bungo Tebo. Pertokoan tua yang terbuat dari kayu dipelihara, dan menjadi daya tarik tersendiri karena lebih dominangayabangunan pecinan. Di pertokoan itu mayoritas dihuni warga Tionghoa menjual emas. Sejak zaman Belanda dikatakan Hui Sihien bahwa kawasan di depan Toko Panjang atau jalan Dahlia sudah ramai. Sekitar 1940 silam orang tuanya sudah membuka usaha toko makanan bagi pedagang dan pembeli dari luar Muarabungo. “Di depan toko saya ini dulu pasar los yang ramai. Biasanya banyak warga dari luar Muarabungo belanja ke los yang kini jadi pasar Semagor,” katanya. Dikatakan Hui Shien, sejak dulu kawasan Dahlia dan Seroja memang menjadi pusat perdagangan. Puluhan warga Tionghoa yang awalnya dari pedusunan baik Lubuklandai, Pelepat, Pelayang atau Tanah Tumbuh serta Rantau Ikil pindah ke kawasan ini. “Termasuk orangtua Athong Ketua Bakom PKB dari Rantau Ikil pindah ke jalan Dahlia membuka usaha. Satu persatu warga Tionghoa bercampur dengan warga Minang di dua jalan itu membuka usaha perdagangan. Di depan pasar Los itu ada pak Sitin yang menjual nasi, saya biasanya pulang sekolah belanja nasi kesana,” tutur Hui Shien. Warisan budaya Cina sangat kental terasa di kawasan Jalan Seroja atau Merdeka yang terletak di Kelurahan Bungo Timur ini. Keberadaan bangunan rumah toko yang mayoritas warga Tionghoa sebagai penjual emas. Arsitektur bangunan lama sejak 1940-an masih bertahan hingga kini. Kendati beberapa bangunan ada yang sudah dirombak dengan ruko permanen. “Kini kawasan jalan Seroja memang mayoritas dihuni oleh warga Tionghoa. Padahal setahu saya dulu hanya beberapa orang Tionghoa saja yang mendiami kawasan ini,” Kakek delapan cucu ini Senada dituturkan Sayuti warga Bungo keturunan ini, sejak dulu Jalan Dahlia dan Seroja pusat perdagangan Muarabungo. barulah setelah tahun 1990 menyebar ke beberapa kawasan lainnya. “Saya lahir di Bungo dan tahu persis dulu seperti apa. Memang di Jalan Dahlia hanya ada beberapa rumah saja. Pasarnya di Jalan Dahlia, dulu berbentuk los dan sebagian sudah berbentuk ruko dua lantai bergaya pecinan. Makanya kental dengan pecinan di kawasan ini,” kata pria berambut putih ini. Sayuti alias Ati (73) membenarkan sejak dulu kawasan Dahlia dan Seroja memang menjadi pusat perdagangan. Warga Tionghoa dari pedusunan baik Lubuklandai, Pelepat, Pelayang atau Tanah Tumbuh serta Rantau Ikil pindah ke kawasan ini. “Warga Tionghoa berbaur dengan warga Minang yang sudah ada sebelumya membuka usaha perdagangan. Kebanyakan mereka membuka toko emas, barang elektronik atau toko makanan,” cerita Sayuti. (bersambung) Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa di Muarabungo (3) Hoa Chiau Chung Hui, Perkumpulan Etnis Tionghoa Sejarah warga Tionghoa sejak zaman Belanda cukup mempengaruhi sendi kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Bungo. Tak hanya itu sejak zaman Belanda, Jepang, warga Tionghoa juga berorganisasi untuk mempersatukan kelompok mereka agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Salah satunya adalah perkumpulan perantauan Tionghoa yang dikenal Hoa Chiau Chung Hui. Ari WIdodo, Muarabungo MENELUSURI Jalan Kecimbung yang ujungnya menyatu jalan Dahlia, deretan ruko semi permanen terbuat dari kayu masih kokoh berdiri. Kawasan ini sebelumnya pernah menjadi sejarah bagi etnis Tionghoa berkumpul menyampaikan pendapat, saran, dan berbagai kegiatan termasuk masalah amal kematian mereka. Di salah satu deretan itu pada 1925 silam, berdiri kantor perkumpulan warga Tionghoa baik perantauan maupun yang lahir di Muarabungo. Ruko yang disebut kini menjadi buffet pancarasa itu, kala itu merupakan Kantor Hoa Chiau Chung Hui tempat perkumpulan etnis Tionghoa pertama kalinya di Bumi Seentak Galah Serengkuh Dayung. Tidak banyak peninggalan yang bisa dijadikan bukti sejarah, pasalnya usai dikuasai atau diambil alih oleh pemerintah militer Indonesia kala itu kantor Hoa Chiau Chung Hui beberapa kali berpindah tempat. Ketua Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB), Arianto menjelaskan sekitar tahun 1940 yayasan perkumpulan Tionghoa sudah berdiri. Zaman Belanda dan masa penjajahan Jepang kantor Hoa Chiau Chung Hui menjadi sarana berkumpulnya warga Tionghoa. “Setahu saya, ketika itu kantor Yayasan diperuntukkan untuk pertemuan dan meletakkan keperluan orang meninggal. Memang sebelumnya warga Tionghoa kalau ada kematian sulit membeli barang keperluan, karena mereka harus ke Jambi dulu,” ujarnya. Setelah dilakukan pertemuan oleh sesepuh Tionghoa akhirnya diputuskan membeli tanah dan bangunan di samping toko Tjahaja Murni dari warga pribumi. Pria yang biasa disapa Athong ini menjelaskan berdasarkan sejarah yang diketahuinya salah satu ketua yang pernah menjabat adalah Hui Sun atau Effendi orangtua Kunti Hardi. “Ketua pertamanya saya lupa, bapaknya si Akun pernah menjadi ketua sekitar 1960 silam. Setelah itu saya tidak tahu, baru setelahnya sempat diserahkan ke Akun. Dan kini nama Hoa Chiau Chung Hui hilang saja. Kini berdiri organisasi Tionghoa yang serupa untuk melanjutkan perkumpulan diberi nama Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB),” tuturnya. Dikatakan Athong, Hoa Chiau Chung Hui ketika itu sangat aktif berkegiatan. Setidaknya bila ada warga Tionghoa meninggal mereka mengambil barang keperluan kematian di kantor ini.Ada juga kegiatan untuk menyampaikan pendapat sebagai penyalur aspirasi ke pemerintah kala itu. “Memang kalau dulu ada yang meninggal pengurusannya di rumah masing-masing, Peralatan di Bungo sendiri kalau dulu susah mencarinya. Dari perkumpulan itu juga warga Tionghoa membeli tanah untuk lokasi pemakaman yang kini menjadi eks terminal. Ketika itu di depannya perkuburan Belanda dan kita berada disampingnya,” ujar Athong. Athong hanya mengetahui Hoa Chiau Chung Hui berpengurus lima orang dan anggotanya seluruh warga Tionghoa di Bungo, baik di kawasan Muarabungo hingga pedusunan. Bahkan dari hasil perkumpulan itu pula etnis Tionghoa kala itu mampu membeli tanah dan membangun sekolah yang dikenal Chung Hoa Se Sheaw. Sayangnya kata Athong karena tak ada tempat sekitar 1960 Yayasan tutup dan kegiatan dari dilakukan dari rumah pengurus di kawasan Sungai Pinang. “Kami berharap aset yayasan yang kini menjadi buffet pancarasa itu diminta kepada pemerintah berwenang dapat mengembalikan kepada kami,” harapnya. Sementara salah seorang sesepuh Tionghoa Loi Hui Shien menceritakan Hoa Chiau Chung Hui perkumpulan Tionghoa Bungo perantauan baik dari luarkota atau mereka yang lahir di pelosok Bungo. Setiap pedagang Tionghoa Bungo tiba ke Muarabungo mereka melalui jalur air Batang Bungo. Ketika itu ada Pelabuhan Bom Lamo yang kini menjadi payau. Mereka dari Jambi atau sekitarnya menggunakan Tempek (angkutan air) hingga ke pelabuhan itu. “Ada yang bermukin di Tanjung Gedang, atau ada juga bermukin di dekat pelabuhan Pelayangan Lamo. Terus mereka berpindah-pindah hingga di sekitar pasar Semagor ini,” tuturnya. Pria berumur 69 tahun ini mengatakan ketika itu wadah perkumpulan warga Tionghoa bernama Hoa Chiau Chung Hui sangat aktif dalam kegiatan. Bila ada warga Tionghoa meninggal mereka mengambil barang keperluan kematian di perkumpulan. Walaupun untuk pengurusan jenazah di rumah masing-masing.Ada juga kegiatan untuk menyampaikan pendapat sebagai penyalur aspirasi. “Dari perkumpulan itu juga warga Tionghoa membeli tanah untuk lokasi pemakaman yang kini menjadi eks terminal. Saya hanya tahu ketua yang pernah menjabat adalah Hui Sun atau Effendi orangtua Kunti Hardi. Setelah itu pernah anaknya Akun menjadi ketua. Baru setelah itu diserahkan ke Athong,” paparnya. (bersambung) Menelusuri Keberadaan Warga Tionghoa (4) Dulu Beribadah di Rumah, Kini Bisa di Vihara KEBERADAAN warga Tionghoa di Bungo sejak zaman Belanda mampu memberikan warna tersendiri. Toleransi warga lokal dengan warga Tionghoa cukup tinggi dibuktikan aktivitas keagamaan tidak dipersoalkan. Bila dulu warga Tionghoa beribadah di rumah masing-masing, perjuangan mereka membangun tempat ibadah akhirnya terwujud hingga puluhan tahun kemudian. Hadirnya tempat peribadatan semi permanen hingga permanen dan kini menjadi Vihara Padmakirti. Ari Widodo, Muarabungo BILA kita menuju arah SungaiPinang melalui jalan Durian yang kini menjadi jalan Lebai Hasan kita akan menemukan pusat kegiatan keagamaan warga Tionghoa Bungo beragama Buddha. Vihara Padmakirti Muarabungo boleh dikatakan salah satu wisata lokal menarik di Muarabungo, pasalnya selain tempat beribadah juga memilikiTaman Bodhisatva yang nyaman. Ketika masuk ke dalam Vihara, maka terlihat pertama adalah lapangan basket yang dikhususkan kegiatan Generasi Muda Padmakirti. Menelusuri lorong dua Bangunan berdampingan di dalamnya terlihat altar bersama Hio Lo untuk sembahyang leluhur di langit. Di belakangnya terdapat Taman Bodhisatva di dalamnya terdapat patung Buddha beserta relief perjalan sang Buddha mencapai Nirwana. Biasanya warga Tionghoa maupun anak-anak yang belajar bahasa mandarin duduk di taman yang dibangun oleh Toko Angkasa ini. Di bagian kiri terdapat bangunan utama di dalamnya terdapat altar bersama patung Buddha sebagai tempat peribadatan warga Tionghoa umat Buddha. Sudut kiri lagi ada bangunan peribadatan untuk Dewi Kwan Im lengkap altar sama seperti Vihara di daerah lainnya. Sementara Bangunan kiri terlihat gedung yang dijadikan sarana pendidikan bahasa mandarin serta perpustakaan. Sore hari biasanya di gedung ini ramai anak-anak belajar bahasa mandarin. Inilah tempat ibadah warga Tionghoa Bungo, karena sebelum tahun 1998 warga Tionghoa melaksanakan ibadah di kediaman masing-masing. Kendati kedatangan warga Tionghoa sudah ada sejak zaman Belanda namun kala itu belum ada satupun tempat yang dijadikan sarana ibadah. Hal itu diungkapkan sesepuh warga Tionghoa Bungo Loi Huis Shien. Dikatakan pria berumur 69 tahun ini bila selama ini warga Tionghoa melakukan ibadah di rumah masing-masing. “Termasuk saya sendiri sebelum ada Vihara itu ya di rumah sendiri. Memang sekitar tahun 1980 ada semacam vihara berdiri di kawasan jalan dekat bpd bank Jambi itu,” katanya. Vihara itu didirikan atas inisiatif perkumpulan Tionghoa kala itu. Bangunan yang dipinjam oleh toko angkasa, mereka rela meminjamkan Bangunan untuk dijadikan sarana ibadah. Tempat ibadah kalau itu bangunan. Kayu Setengah permanen. Beberapa kali pergantian pengurus lokasi itu cukup terkenal hingga terjadi kebakaran pada 1995. “Setelah itu kegiatan ibadah dikembalikan ke kediaman masing-masing,” ujarnya. Namun perkumpulan yang berubah menjadi Badan Komunikasi (Bakom) Persatuan Dan Kesatuan Bangsa (PKB) akhirnya pada dirapatkan kembali untuk membuat Vihara. Atas bantuan dari salah seorang warga Tionghoa kata Hui Shien pada 1997 dimulainya pembangunan Vihara. “Ada Romo Surya dan Li Chien. Hanya membutuhkan waktu setahun bangunan selesai,” katanya. Senada dikatakan Ketua Bakom PKB Arianto kepada Radar Bungo Tebo keberadaan rumah ibadah warga Tionghoa baru hadir sejak 1980 silam. Ketika itu ada bantuan dari keluarga Toko Angkasa yang peduli dengan kegiatan agama. Mereka meminjamkan Bangunan semi permanen di samping Bank Jambi kini. “Kegiatan ibadah lancar hingga 1995. Hanya saja pada tahun 1995 terjadi kebakaran menghanguskan rumah ibadah sehingga kegiatan terhenti. Dulu warga kami Kesulitan beribadah, ya, di rumah masing-masing. Setelah dilakukan rapat pengurus Dan Tokoh masyarakat Tionghoa barulah direncanakan pembangunan Vihara,” kata mantan Bendahara DPD Partai Golkar Bungo ini. Pada 1997 dimulai pembangunan Vihara, selama satu tahun di kawasan Jalan Lebai Hasan kini. Pada 1998 Vihara selesai dilanjutkan peresmian. “Kini warga Tionghoa khususnya beragama Buddha tak pusing lagi melakukan ibadahnya. Mereka bisa beribadah dengan tenang karena Vihara Padmakirti sudah ada,” katanya. (bersambung) [caption id="attachment_212960" align="alignleft" width="881" caption="Salah satu deretan ruko semi permanen tempat berkumpulnya Tionghoa Bungo zaman belanda."][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun