Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekumpulan Istilah yang Ditulis Kembali

2 Oktober 2024   10:26 Diperbarui: 2 Oktober 2024   10:32 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Satu ontologi sosial yang masih tertanam dalam memori kolektif bangsa ini adalah tentang "dasar negara", yakni tuntutan agar kehidupan publik didasarkan pada orientasi transendental. Pertanyaan tentang apakah negara harus berlandaskan agama atau tidak hingga kini belum berani dijawab secara final. Bukan karena tidak ada jawaban rasional, melainkan karena adanya toleransi semu terhadap keragaman yang terus dipertahankan. Walaupun konstitusi tidak menetapkan "kedaulatan Tuhan" sebagai dasar negara, obsesi terhadap landasan transendental ini tetap muncul dalam debat politik setiap ada kesempatan. Namun, terbukanya debat tersebut kerap berpotensi mengerasnya ideologi, membuat solusi tunggal menjadi sulit dicapai.

Tetapi, apakah sebenarnya kita perlu mencari solusi untuk perbedaan kebudayaan yang ada? Mengapa visi kehidupan individu harus diatur oleh negara? Mengapa orientasi teologis harus dilembagakan dalam politik? Mengapa nilai-nilai kebudayaan perlu disusun dalam hierarki? Kita memiliki memori kolektif yang obsesif terhadap sejarah perumusan dasar negara, seolah-olah mengabaikan kenyataan politik identitas.

Identitas adalah sesuatu yang melekat pada setiap kelompok sosial, berfungsi tidak hanya untuk menyatukan, tetapi juga untuk melindungi. Rasa aman yang diberikan oleh kelompok adalah bentuk paling dasar dari perlindungan, sedangkan dalam bentuk modern, kita mendapatkannya melalui hukum. Pada tahap primitif, hak individu menyatu dengan hak kelompok karena dalam masyarakat yang homogen, tidak ada kepentingan yang perlu dibedakan. Solidaritas di sini juga berarti hak dan kewajiban bersama.

Dalam politik modern, hak individu mengalami sekularisasi, tidak lagi berpusat pada otoritas kelompok, tetapi pada hukum. Hak dan kewajiban menjadi tanggung jawab individu dengan prinsip "pacta sunt servanda" (perjanjian harus dipatuhi). Perlindungan berubah menjadi perlindungan hukum yang dijamin oleh otoritas publik, yang mendasari keyakinan kita pada imparsialitas negara. Dalam konteks politik publik, setiap orang hanya boleh memiliki satu identitas, yaitu sebagai warga negara. Identitas lain sebagai anggota komunitas bersifat non-publik dan tidak boleh diatur oleh negara, karena itu adalah hak individu. Sebaliknya, identitas non-publik tidak boleh digunakan sebagai norma dalam bernegara.

Dalam konsep modernnya, republik adalah konstruksi sekuler yang bertujuan mencegah kembalinya feodalisme dan menjamin kesetaraan di hadapan hukum. Politik di wilayah publik hanya ditentukan oleh hukum publik. Menjadi warga negara berarti meninggalkan mentalitas komunal dan memasuki mentalitas publik. Republik melindungi hak-hak komunal, tetapi penerapannya tidak boleh meluap ke wilayah publik karena akan memicu konflik horizontal, mengingat setiap kelompok merasa memiliki kebenaran final dalam politik. Padahal, politik publik tidak mengenal finalitas, dan keindahannya justru terletak pada ketidakpastian itu. Sebaliknya, mentalitas komunal secara intrinsik mengejar finalitas.

Dalam konteks perkembangan politik Indonesia, ada kebutuhan untuk menemukan orientasi politik baru pasca-otoritarianisme. Kuatnya sentimen primordial dalam politik publik adalah perkembangan yang tidak sehat bagi demokrasi dan pluralitas. Primordialisme politik telah menyebabkan konflik berdarah di beberapa wilayah Indonesia, dan rekonsiliasi menjadi semakin sulit karena acuan politik masih didasarkan pada kebenaran-kebenaran primordial. Pada tingkat homogenitas, tidak ada masalah dengan implementasi politiknya, tetapi dalam politik publik yang heterogen, landasan primordial tidak dapat dijadikan dasar untuk orientasi politik bersama. Karena itu, kita memerlukan titik orientasi baru yang sesuai dengan politik modern yang heterogen.

Indonesia saat ini berada dalam situasi sosial yang hampir tanpa acuan etika politik, terutama karena macetnya diskursus sosial yang rasional di tengah pertarungan ideologi yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun