Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatanku tentang Harta Kita: Apakah Bisa Jadi Solusi Turunkan Rating? (Part 2)

30 September 2024   18:13 Diperbarui: 30 September 2024   18:27 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Hibah, sebagai suatu bentuk pemberian, diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan di dunia dan sebagai amal yang mendatangkan pahala di akhirat. Oleh karena itu, setiap proses hibah memiliki landasan hukum baik dalam Islam maupun dalam hukum positif (KUHP dan KUHAP). Hibah merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam kebaikan antar sesama manusia yang memiliki nilai positif. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran Surat an-Nisa ayat 4 yang berbunyi, "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka dengan senang hati menyerahkan sebagian dari maskawin itu, maka ambillah sebagai pemberian yang baik lagi halal." Ayat ini termasuk dalam golongan Surat Madaniyyah dan memiliki sebab turunnya, yakni menurut riwayat Ibnu Abi Hattim, orang-orang dahulu mengambil mahar budak wanita yang dinikahi tanpa memberikannya kepada budak tersebut, sehingga Allah melarang tindakan tersebut dengan menurunkan ayat ini.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan an-Nassai, Umar bin Al-Khattab RA menyampaikan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Jika engkau diberi sesuatu yang tidak engkau minta, maka terimalah dan bersedekahlah darinya." Sabab wurud hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui Basyir bin Sa'id As Sa'idi, yang menceritakan bahwa Umar pernah memintanya bekerja secara sukarela. Setelah menyelesaikan pekerjaan, Umar memerintahkannya untuk menerima upah, meskipun Basyir menolak karena niatnya hanya bekerja untuk Allah. Umar kemudian menjelaskan bahwa Rasulullah juga pernah memberinya upah ketika ia bekerja tanpa memintanya, dan beliau berkata: "Jika engkau diberi sesuatu yang tidak engkau minta, maka ambillah."

Hibah dalam Al-Quran juga digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah kepada para utusan-Nya dan doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para Nabi. Hibah menggambarkan sifat Allah Yang Maha Pemberi. Ayat-ayat Al-Quran, seperti QS Al-Munafiqun ayat 10, juga menekankan pentingnya memberikan sebagian rezeki kepada orang lain sebelum datangnya kematian.

Hibah sebagai bentuk pemberian juga ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam *Al Adabul Mufrad* dari Abu Hurairah RA, di mana beliau bersabda: "Saling berhadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." Berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis ini, serta pendapat ulama fiqh seperti Imam Syafi'i dan Maliki, hukum hibah dianggap sebagai sunnah.

Hibah memiliki rukun dan syarat tertentu sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Rusyd dalam *Bidayah al-Mujtahid*. Ia menyebutkan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu: al-wahib (pemberi hibah), al-mawhub lah (penerima hibah), dan al-hibah (barang atau pemberian itu sendiri). Sementara itu, menurut Hassan, syarat hibah meliputi beberapa hal: wahib (pemberi hibah) harus memiliki barang yang dihibahkan secara sah, baik secara nyata maupun dari segi hukum. Selain itu, pemberi hibah harus orang yang telah aqil-baligh (dewasa dan berakal sehat), sehingga hibah dari orang gila atau anak kecil tidak sah. Terakhir, harus ada ijab dan qabul (pernyataan pemberian dan penerimaan hibah).

**Pemanfaatan dan Dinamikanya**  
Hibah selalu diarahkan untuk tujuan mulia, seperti saling membantu dan mengasihi antar sesama. Islam mendorong umatnya untuk gemar memberi, karena memberi lebih baik daripada menerima. Namun, pemberian harus dilakukan dengan ikhlas, tanpa pamrih, dan semata-mata untuk mencari ridha Allah serta mempererat tali persaudaraan. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah ayat 262, yang berbunyi: "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi pemberian itu dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti perasaan penerima, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tidak akan bersedih hati."

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT memuji orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan-Nya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya kepada orang yang menerima. Quraish Shihab dalam *Tafsir Al-Misbah* juga menjelaskan bahwa ayat ini mengajarkan cara memberi yang benar menurut Allah, yaitu tanpa mengungkit pemberian dan tanpa menyakiti hati penerima.

Selain itu, ada larangan dalam Islam bahwa hibah yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali. Hal ini ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, di mana Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat muntahnya sendiri." Seseorang yang telah memberikan hibah tidak diperbolehkan menariknya kembali, kecuali jika ia adalah seorang ayah.

Di Indonesia, penarikan kembali hibah sering kali diajukan ke Pengadilan Agama untuk diputuskan. Hibah yang sah adalah hibah yang telah diterima oleh penerima hibah. Sebaliknya, hibah yang belum sah adalah hibah yang belum diterima oleh penerima. Misalnya, jika seseorang berkata kepada orang lain, "Aku hibahkan salah satu mobilku kepadamu," dan orang tersebut menjawab, "Aku terima," tetapi kemudian si pemberi hibah menariknya kembali, hal ini diperbolehkan karena hibah tersebut belum diterima, sehingga hibah belum berlaku sampai ada penerimaan resmi dari penerima. Dalam kasus seperti ini, pembatalan hibah dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama setempat.

Namun, jika hibah telah diterima oleh penerima, pemberi tidak diperbolehkan menariknya kembali karena barang tersebut bukan lagi miliknya, meskipun mereka masih dalam satu majelis. Misalnya, jika seseorang menghibahkan sebuah pena dan kemudian menariknya kembali, padahal penerima sudah menerima pena tersebut, maka hibah tersebut sah dan tidak boleh ditarik kembali. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam yang dengan jelas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun