Khalifah 'Ali tewas di Masjid Kufah setelah ditikam oleh Abdurrahman bin Muljam, seorang anggota kelompok Khawarij, pada suatu pagi hari Jumat. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad, 21 Ramadhan tahun 40 H. Setelah kematiannya, Hasan, putra tertua Ali, diangkat oleh sebagian besar sahabat Nabi sebagai pengganti Khalifah. Namun, kepemimpinan Hasan tidak semudah seperti masa Abu Bakar, Umar, Utsman, atau ayahnya, Ali. Hasan menghadapi banyak tantangan, terutama dari Muawiyah dan kaum Khawarij yang memusuhi keluarga Ali.
Muawiyah terus menghasut permusuhan terhadap keluarga Ali, bahkan hingga memaksa orang-orang mencaci mereka, termasuk di mimbar-mimbar Jumat. Hal ini semakin memecah belah umat Islam, ironi menyakitkan setelah Nabi Muhammad SAW berjuang membangun masyarakat yang damai. Pada akhirnya, demi mencegah perpecahan yang lebih dalam, Hasan memutuskan untuk berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan kekhalifahan kepadanya, dengan beberapa syarat perjanjian. Salah satunya, Muawiyah berjanji untuk memerintah sesuai Al-Qur'an dan sunnah Nabi, menjaga persatuan umat, tidak membalas dendam, serta melindungi keluarga Nabi. Namun, setelah diakui sebagai khalifah, Muawiyah melanggar perjanjian tersebut, menganiaya pendukung keluarga Nabi dan memperdalam perpecahan.
Perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi terus berlangsung di masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Pada tragedi Karbala, Husain dan keluarganya dibantai secara brutal, termasuk wanita dan anak-anak. Yazid tidak hanya membantai Husain, tetapi juga menghancurkan kota Madinah dan membunuh ribuan penduduknya, termasuk para sahabat Nabi yang masih hidup. Kekejaman klan Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim baru berhenti ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa. Meskipun berasal dari Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz melarang penghinaan terhadap keluarga Nabi dan sangat menghormati mereka.
Permusuhan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim sudah lama ada, bahkan sejak masa Nabi Muhammad SAW. Hindun, istri Abu Sufyan, yang merupakan orang tua Muawiyah, pernah membunuh Hamzah, paman Nabi, dengan keji di Perang Uhud. Namun, saat Nabi berhasil menaklukkan Mekkah, ia memaafkan semua kesalahan Abu Sufyan dan Hindun, menunjukkan perbedaan besar antara perlakuan Bani Hasyim dan Bani Umayyah.
Tokoh-tokoh besar dunia sering kali hanya menciptakan pasukan, hukum, dan kekaisaran. Mereka membangun kekuatan material yang tak jarang runtuh di depan mata mereka sendiri. Namun, Nabi Muhammad SAW, Rasul terakhir, tidak hanya memimpin pasukan, rakyat, dan dinasti, atau mengubah undang-undang dan kekaisaran. Beliau juga menggugah hati jutaan manusia, mempengaruhi altar-altar, agama-agama, pemikiran, keyakinan, dan jiwa. Dengan kitab suci yang setiap ayatnya menjadi hukum, beliau membentuk sebuah bangsa yang berlandaskan agama, menyatukan berbagai suku, bahasa, dan ras.
Muhammad adalah sosok langka di dunia ini. Seorang yang miskin, namun teguh menghadapi perlawanan tanpa fasilitas apa pun. Ia berasal dari keluarga terhormat di Mekkah, tetapi meninggalkan segala kehormatan itu demi mengabdikan diri kepada Tuhan. Dia berjuang di tengah kesulitan, merasakan panasnya siang dan dinginnya malam di padang pasir demi misinya. Sosoknya melampaui apa yang mungkin diharapkan dari seseorang sepertinya.
Para sahabatnya, yang hidup bersamanya selama 23 tahun, sangat menghormatinya. Meskipun mereka adalah orang-orang Arab yang dikenal keras dan mudah bertikai, ketaatan mereka kepada Muhammad menunjukkan ketulusan, keberanian, dan kebenaran beliau. Mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi, pemimpin, ayah, dan manusia yang patut dihormati dan ditaati. Beliau hidup di tengah-tengah mereka, menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya, bertempur, dan memberi nasihat. Mereka melihat langsung sifat dan karakter Muhammad yang sejati.
Tak ada kaisar dengan mahkota yang dipatuhi dengan ikhlas seperti Nabi Muhammad, yang tetap sederhana dalam jubah yang dijahit sendiri. Meskipun setelah jatuhnya Mekkah, lebih dari satu juta mil persegi tanah berada di bawah kekuasaannya, ia tetap hidup sederhana. Beliau memerah susu kambing, menyalakan api, dan mengunjungi keluarga miskin. Madinah berkembang pesat di masa hidupnya, tetapi beliau tetap hidup dalam kesederhanaan, bahkan sering kelaparan.
Meskipun kekayaan melimpah di sekitarnya, Nabi Muhammad tetap hidup dengan sangat sederhana. Keluarganya sering kali tidak memiliki makanan untuk dimakan di malam hari. Tidurnya tidak di atas kasur empuk, tetapi di atas tikar setelah hari-hari yang penuh kesibukan. Malamnya dihabiskan untuk berdoa dengan air mata yang menetes, memohon kekuatan dari Allah untuk menjalankan tugasnya sebagai Rasul.
Demikian sedikit pelajaran yang dapat diambil dari kehidupan Nabi Muhammad SAW. Semoga kita dapat memetik hikmah dari kisahnya. "Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa dari kamu wahai ahli bait dan menyucikan kamu dengan sesungguhnya." (QS. Al-Ahzab 33:33).