Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Transformasi Monarkhi ke Republik (Part 1): Titipan for New President

27 September 2024   12:46 Diperbarui: 27 September 2024   12:46 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Ayatollah Khomeini berhasil membawa Revolusi Islam Iran sebagai solusi dari krisis yang melanda negara itu. Khomeini memimpin revolusi hingga berdirinya Republik Islam Iran pada 11 Februari 1979, menggantikan sistem monarki. Sebelum revolusi, Iran merupakan negara sekuler, namun setelahnya, Iran menjadi negara "Teo-Demokrasi" yang didominasi oleh ulama Syiah.

Meskipun banyak ulama dan tokoh lain yang berperan, mayoritas sepakat bahwa Ayatollah Khomeini adalah tokoh kunci dalam revolusi Iran. Lahir pada 24 Oktober 1902 di Khomein, Iran Tengah, Khomeini memiliki peran besar dalam revolusi dan pembentukan Republik Islam Iran. Tokoh-tokoh seperti Ayatollah Shariat Madari, Ayatollah Muntazari, dan Ali Syariati juga berperan penting, namun Khomeini menjadi fokus utama pembahasan ini.

Alasan utama Khomeini dipilih sebagai pemimpin revolusi didasarkan pada kesaksian Lukman Harun dalam bukunya *Potret Dunia Islam*, di mana dia menggambarkan Khomeini sebagai sosok yang paling dihormati dan dicintai oleh rakyat Iran. Kata-katanya dianggap sebagai fatwa yang ditaati oleh semua lapisan masyarakat. Sejalan dengan pandangan Thomas Carlyle, sejarah dunia seringkali merupakan biografi dari orang-orang besar, dan Khomeini adalah salah satunya.

Keberhasilan Revolusi Iran tidak lepas dari ideologi yang dianut mayoritas rakyat Iran, karena ideologi memainkan peran penting dalam perubahan. Ali Syariati berpendapat bahwa perubahan dalam sejarah peradaban manusia dipimpin oleh ideolog-ideolog besar. Menggunakan istilah "hegemoni integral" dari Gramsci, ideologi revolusi berhasil menyatukan masyarakat untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Ideologi ini memenangkan konsensus di antara kelompok-kelompok yang menentang penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Syariati juga menawarkan Islam sebagai solusi untuk menghadapi tiga ancaman besar: kekejaman kapitalisme, kebosanan marxisme, dan kebingungan eksistensialisme. Islam, dalam pandangannya, menempatkan manusia di dalam "alam ketauhidan," yang menciptakan harmoni antara manusia dan alam serta memberikan makna. Pandangan Islam inilah yang dapat dijadikan ideologi penggerak masyarakat.

Ideologi Islam yang mendorong revolusi Iran tidak dapat dipisahkan dari Mazhab Syiah, yang dianut mayoritas rakyat Iran. Iran adalah satu-satunya negara di dunia di mana sekitar 90% penduduknya adalah penganut Syiah, khususnya Syiah Dua Belas Imam (Istna' Asyariyah). Ideologi ini berakar pada sejarah dan doktrin Syiah yang berkembang di Iran, di mana tradisi perjuangan melawan penindasan dan kekuasaan politik serta agama menjadi bagian dari sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Syiah juga memiliki pandangan politik bahwa sebelum kedatangan Imam Mahdi, kepemimpinan harus dipegang oleh ulama, dan agama serta politik tidak boleh dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi dalam mendorong perubahan sangat penting dan tidak boleh diabaikan.

Meskipun Dinasti Pahlevi memiliki kekuatan militer yang kuat dan didukung oleh Amerika Serikat, mereka akhirnya tumbang melalui revolusi. Selain faktor ideologi dan kepemimpinan Khomeini, kekuasaan Dinasti Pahlevi yang represif juga menimbulkan oposisi. Menurut Eef Saifullah Fatah, oposisi memainkan peran penting dalam menunjukkan kesalahan-kesalahan penguasa sambil membangun perlawanan. Kelompok-kelompok oposisi ini termasuk mahasiswa, elit politik, partai-partai bawah tanah (seperti Front Nasional, Partai Tudeh, Gerakan Pembebasan Iran, dan Partai Sosialis), serta daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Pahlevi.

Menurut Samuel P. Huntington, perubahan rezim dalam sejarah tidak selalu mudah dimasukkan ke dalam kategori teoritis yang rapi. Hal ini menjadi tantangan dalam menganalisis perubahan politik, khususnya revolusi. Setiap revolusi memiliki karakteristik dan sejarah yang unik, sehingga membuka peluang bagi teori-teori baru. Revolusi Islam Iran adalah salah satu perubahan politik yang berbeda, di mana Iran menjadi negara pertama yang beralih dari sistem monarki ke Republik Islam. Republik Islam Iran menawarkan sistem politik Islam yang layak dikaji karena telah menjadi kenyataan sejarah, baik secara empiris maupun konseptual. Mengingat kompleksitas Revolusi Islam Iran, penulis menetapkan tiga unit analisis untuk mengeksplorasi peran dan eksistensi dalam proses revolusioner tersebut.

bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun