Sejarah umat manusia telah menyaksikan berbagai kebangkitan dan kejatuhan kerajaan serta kebudayaannya. Di antara semua kebangkitan, kebangkitan Islam menonjol karena kecepatan, penyebaran, dan kekayaan budaya yang dihasilkannya. Setiap kebangkitan dan kemunduran suatu peradaban menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Biasanya, kebangkitan sebuah peradaban dimulai dari peristiwa-peristiwa besar yang terjadi dalam sejarah manusia.
Arnold Toynbee berpendapat bahwa peradaban mirip dengan makhluk hidup yang melalui fase lahir, berkembang, matang, dan kemudian membusuk. Dalam sejarah manusia, kita bisa menemukan banyak "tengkorak peradaban" yang terkubur, namun peradaban ini mampu melahirkan peradaban baru.
Peradaban Islam telah memainkan peran penting di panggung dunia selama beberapa abad, memberikan kontribusi besar dalam bidang filsafat, seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Namun, seiring waktu, dengan runtuhnya peradaban Islam, umat Islam menjadi terpinggirkan dalam persaingan peradaban dunia. Penyebab kejatuhan ini bervariasi tergantung sudut pandang dan alat ukur yang digunakan.
Pada abad ke-20, umat Islam mulai mengalami perubahan dengan munculnya gerakan-gerakan kemerdekaan. Samuel P. Huntington bahkan memandang Islam sebagai pesaing dalam benturan peradaban, meskipun pandangan ini dikritik oleh Muhammad Khatami yang menekankan pentingnya dialog antar peradaban tanpa dominasi. Jurgen Habermas menyebutkan bahwa dialog tersebut harus bebas dari kekuasaan.
Kebangkitan Islam terlihat dari munculnya gerakan-gerakan politik, konsep ekonomi, dan politik Islam yang terus berkembang. Beragam pemikiran dan gerakan politik Islam muncul, disesuaikan dengan tantangan yang dihadapi dan metode yang digunakan. Perjuangan untuk kemerdekaan terjadi di berbagai negara Muslim yang masih berada di bawah kekuasaan kolonial. Bahkan di negara-negara Muslim yang sudah merdeka, banyak yang masih berjuang melawan dominasi negara besar dan memperjuangkan eksistensinya.
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna di Mesir, Jamaat-i Islami oleh Maulana Maududi di Pakistan, serta Front Islamique du Salut (FIS) di Aljazair adalah beberapa contoh gerakan politik Islam. Namun, Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 adalah salah satu yang paling menarik karena berhasil mendirikan negara Islam.
Menurut teori Arnold Toynbee, kebangkitan kembali peradaban dimungkinkan oleh adanya minoritas kreatif yang mampu merespon tantangan dengan cara yang canggih. Revolusi Islam Iran, yang berhasil meruntuhkan monarki berusia 2.500 tahun dengan kekuatan militer besar, menjadi contoh nyata bagaimana agama dapat menjadi penggerak perubahan, seperti yang ditunjukkan oleh kepemimpinan Ayatollah Khomeini. Revolusi Iran dianggap spektakuler karena mampu melawan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, membantah tesis Karl Marx yang menyatakan bahwa agama hanyalah candu bagi masyarakat, dan menunjukkan bahwa agama bisa menjadi kekuatan revolusioner.
Revolusi Iran yang berhasil menggulingkan Monarki Pahlevi menandai kebangkitan Islam di abad ini, meskipun pernyataan ini mungkin ditentang dengan berbagai argumen. Setidaknya, revolusi tersebut memberi inspirasi dan motivasi bagi gerakan politik Islam untuk tetap konsisten memperjuangkan tujuan mereka. Esposito dan Voll menyatakan bahwa revolusi ini membawa berbagai isu penting terkait kebangkitan Islam modern, seperti identitas nasional, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial, serta penolakan terhadap westernisasi, otoritarianisme, dan ketidakmerataan distribusi kekayaan. Banyak negara Timur Tengah menolak revolusi Iran, mungkin karena takut akan pengaruhnya, terutama mengingat banyak negara di kawasan ini menganut sistem monarki. Ada pula yang berpandangan, seperti Abdurrahman Wahid yang dikutip oleh Andres Uhlin, bahwa pendekatan revolusioner tidak cocok dengan Islam karena bisa menggantikan sistem represif lama dengan yang baru.
Revolusi Iran merupakan hasil dari perjalanan panjang menuju pembentukan pemerintahan Islam. Pada tahun 1944, melalui buku *Kasyful Asrar*, Khomeini mengkritik kejahatan dinasti Pahlevi dan menekankan perlunya pemerintahan Islam berbasis Wilayatul-Faqih. Gagasan ini diperkuat dalam karya beliau *Al-Hukumah Al-Islamiyah* yang ditulis di Najaf pada tahun 1969, yang menjelaskan konsep pemerintahan Islam berbasis kekuasaan para ahli agama. Ketidakpuasan terhadap Dinasti Pahlevi telah berlangsung lama, dan Pahlevi gagal menangani keresahan ini meskipun berbagai upaya telah dilakukan.
Ketika sebuah bangsa menghadapi krisis, tuntutan akan perubahan semakin kuat. Dalam kondisi tersebut, revolusi menjadi solusi yang paling logis. Situasi inilah yang terjadi pada Dinasti Pahlevi, di mana kekuasaan politik mereka semakin lemah. Ketika Pahlevi disarankan untuk meninggalkan negara, tekanan untuk segera mundur semakin besar, dan kekuatan politik lama mulai memudar sementara kekuatan baru mengambil alih.