Dekonstruksi adalah sebuah teori pembacaan yang bertujuan untuk "membongkar" atau "menghancurkan" klaim tersembunyi bahwa sebuah teks memiliki dasar yang memadai dalam sistem bahasa untuk menetapkan batas, kesatuan, dan makna tetap dari unsur verbalnya. Menurut teori ini, tidak ada teks yang dapat secara tetap merepresentasikan atau mengungkapkan "kebenaran" tentang subjek apapun. Bersama dengan teori neo-Freudian Jacques Lacan dan kritik sastra Roland Barthes setelah tahun 1973, dekonstruksi sering dianggap sebagai poststrukturalis karena, meskipun menggunakan konsep linguistik Saussurean dan aspek strukturalisme, teori ini justru meruntuhkan dasar-dasar sistem linguistik Ferdinand de Saussure dan strukturalisme itu sendiri, sehingga menyimpulkan bahwa makna sebuah teks selalu terbuka untuk interpretasi yang saling bertentangan.
Jacques Derrida, seorang pemikir Prancis, adalah pencipta dan pemberi nama dekonstruksi. Pemikiran Derrida dipengaruhi oleh filsuf Jerman Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger, yang mempertanyakan konsep-konsep kunci filsafat seperti "pengetahuan", "kebenaran", dan "identitas". Sigmund Freud, dengan teori psikoanalisisnya, juga menjadi pengaruh utama. Derrida pertama kali menyampaikan pandangan-pandangannya dalam tiga bukunya yang terbit pada 1967, yaitu *Of Grammatology*, *Writing and Difference*, dan *Speech and Phenomena*. Dalam karya-karyanya, Derrida sering menekankan bahwa "tidak ada yang berada di luar teks" yang berarti bahwa kita tidak bisa mencapai sesuatu di luar bahasa atau sistem yang digunakan untuk memahami teks.
Derrida juga mengkritik "logocentrisme" dalam filsafat Barat, yaitu keyakinan bahwa ada suatu dasar atau pusat yang menjelaskan semua bahasa dan makna. Dengan kata lain, Derrida menunjukkan bahwa setiap usaha untuk menemukan fondasi absolut---seperti Tuhan, Bentuk Platonik, atau maksud pembicara---adalah sia-sia. Dia menantang asumsi bahwa dalam berbicara, maksud pembicara selalu langsung dan sepenuhnya bisa dipahami oleh pendengar.
Dari perspektif linguistik, Derrida mengambil konsep Saussure bahwa arti dari tanda-tanda linguistik bergantung pada perbedaannya dengan tanda-tanda lain, bukan pada sifat positifnya sendiri. Oleh karena itu, makna sebuah teks tidak pernah sepenuhnya hadir atau tetap. Konsep ini membawa Derrida pada ide "diffrance", sebuah istilah yang menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan berbeda, tanpa pernah mencapai kepastian.
Dekonstruksi bukanlah penghancuran, tetapi lebih kepada pengungkapan bahwa makna selalu terbuka dan tidak stabil. Derrida menekankan bahwa bahasa, termasuk dalam wacana filosofis, penuh dengan retorika dan metafor, yang artinya tidak bisa direduksi menjadi makna literal. Melalui pembacaan yang mendalam terhadap teks, Derrida menunjukkan bahwa sebuah teks selalu mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga maknanya tersebar dalam berbagai kemungkinan yang kontradiktif. Dalam kritik sastra, dekonstruksi telah diterapkan oleh para kritikus seperti Paul de Man dan J. Hillis Miller, yang menunjukkan bahwa teks sastra tidak memiliki makna tetap, melainkan selalu beroperasi dalam rangkaian signifikasi yang tak terbatas.
SUATU CIRINYA
1. Penolakan terhadap Makna Tetap
  Dekonstruksi menentang gagasan bahwa sebuah teks memiliki makna yang tetap, definitif, atau final. Dalam pandangan Derrida, makna sebuah teks selalu terbuka bagi interpretasi-interpretasi yang berbeda dan seringkali kontradiktif. Setiap pembacaan bisa menghasilkan arti baru, dan makna dalam teks tidak pernah final atau definitif. Hal ini menentang pandangan tradisional bahwa sebuah teks memiliki satu interpretasi atau arti yang benar.
2. Logosentrisme dan Kritik terhadap Metafisika Keberadaan
  Derrida menyebut budaya dan filsafat Barat sebagai "logocentric", yaitu berpusat pada konsep "logos" atau prinsip dasar yang menjadi pusat, seperti kebenaran, Tuhan, atau rasio. Filsafat Barat dianggap sangat bergantung pada pencarian dasar-dasar absolut ini, yang diyakini mampu menentukan makna dan struktur pemikiran. Namun, dekonstruksi membongkar gagasan ini dengan menunjukkan bahwa tidak ada dasar yang absolut dan makna selalu terbuka bagi permainan interpretasi yang tak terhingga.
3. Permainan Tanda-tanda (Play of Signs)
  Derrida mengambil inspirasi dari Ferdinand de Saussure, yang menyatakan bahwa makna tanda-tanda linguistik muncul dari perbedaan antara tanda-tanda itu, bukan dari hubungan langsung antara tanda dan makna. Derrida mengembangkan ini lebih jauh dengan konsep "diffrance", yang menunjukkan bahwa makna selalu tertunda dan terpisah, tidak pernah hadir secara penuh. Makna selalu bergantung pada perbedaan dengan tanda lain dan terus beralih dalam jaringan tanda-tanda linguistik.
4. Tidak Ada yang Ada di Luar Teks
  Salah satu pernyataan terkenal Derrida adalah "il n'y a pas de hors-texte" atau "tidak ada yang berada di luar teks". Ini berarti bahwa semua pengalaman, pemahaman, dan makna kita dibentuk dan dimediasi oleh bahasa atau teks. Tidak ada makna atau referen yang sepenuhnya berada di luar sistem bahasa. Artinya, kita tidak bisa melampaui bahasa untuk mendapatkan kebenaran murni yang independen dari teks atau wacana.