Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menghina atau Merendahkan? Sebuah Konsep tentang Istilah Lama_Selesai

17 September 2024   14:45 Diperbarui: 17 September 2024   14:47 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://sites.google.com/guru.sd.belajar.id/aismuslim/home

Mungkin ada yang berpendapat bahwa saya memberikan definisi budaya proletar terlalu luas. Meskipun kita mungkin tidak menemukan budaya proletar yang sepenuhnya berkembang, kelas pekerja tetap bisa menunjukkan eksistensinya dalam budaya sebelum mereka menyatu dalam masyarakat komunis. Keberatan semacam ini pertama-tama harus dianggap sebagai kemunduran dari posisi yang memungkinkan munculnya budaya proletar. Tak diragukan lagi, proletariat, selama masa kekuasaannya, akan memberi tanda kehadirannya di ranah budaya. Namun, kedatangan budaya proletar masih jauh, jika kita menganggap budaya sebagai sistem pengetahuan yang harmonis dan seni yang meliputi seluruh dimensi spiritual dan material kehidupan.

Fakta bahwa sepuluh juta orang menguasai baca tulis dan aritmetika untuk pertama kalinya dalam sejarah adalah sebuah pencapaian budaya yang luar biasa. Inti dari budaya baru ini tidak lagi berpusat pada budaya aristokrat yang hanya dapat diakses oleh kelompok kecil yang memiliki hak istimewa, tetapi pada budaya massa yang universal dan populer. Kuantitas akan bertransformasi menjadi kualitas; seiring meningkatnya jumlah partisipan dalam budaya, akan terjadi peningkatan level dan perubahan karakter budaya itu sendiri. Namun, proses ini hanya akan berkembang melalui tahapan historis yang berurutan. Sejauh proses ini berhasil, ia akan melemahkan karakter kelas proletariat, dan pada akhirnya menghapus dasar bagi budaya proletar itu sendiri.

Bagaimana dengan kaum pekerja yang berada di puncak hierarki kelas? Bagaimana dengan garda depan revolusioner? Apakah perkembangan budaya proletar tidak sedang berlangsung dalam skala kecil? Bukankah kita memiliki Akademi Sosialis dan para profesor merah? Pertanyaan ini sering kali dipahami secara terlalu abstrak. Seolah-olah budaya proletar bisa diciptakan dengan metode eksperimen laboratorium.

Sebetulnya, budaya terbentuk di persimpangan hubungan dan interaksi antara kelas-kelas. Budaya borjuis dalam hal teknis, politik, filsafat, dan seni, dibangun melalui interaksi antara borjuasi dan tokoh-tokoh penemunya---pemimpin, pemikir, serta penulis. Pembaca menciptakan penulis, dan penulis menciptakan pembaca. Ini berlaku pula dalam skala proletariat, karena ekonomi, politik, dan budayanya hanya bisa dibangun di atas fondasi kreativitas massa.

Tugas utama intelektual proletar di masa depan bukanlah menciptakan budaya baru secara abstrak, melainkan menyampaikan elemen-elemen penting dari budaya yang sudah ada kepada massa secara terencana dan sistematis. Mustahil untuk membangun budaya kelas tanpa keterlibatan kelas itu sendiri. Untuk menciptakan budaya proletar yang sejati, sosialisme harus dibangun terlebih dahulu, meski dalam bentuk yang kasar. Dalam proses ini, perbedaan kelas dalam masyarakat akan melemah seiring dengan keberhasilan revolusi.

Arti penting dari kediktatoran proletariat terletak pada sifat sementaranya, sebagai alat untuk membuka jalan dan meletakkan fondasi bagi masyarakat tanpa kelas serta budaya yang didasarkan pada solidaritas. Untuk memperjelas gagasan tentang penentuan budaya dalam perkembangan kelas pekerja, kita bisa membandingkan proses ini dengan pergantian generasi. Setiap generasi baru, dalam masyarakat yang berkembang, menyerap dan memperbaiki akumulasi budaya dari masa lalu, dan dengan demikian mempersiapkan landasan bagi penciptaan nilai-nilai budaya baru. Namun, sebelum melampaui tahap pembelajaran budaya ini, proletariat belum sepenuhnya meninggalkan statusnya sebagai kelas pekerja.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa borjuasi sendiri mempelajari budaya mereka di bawah naungan masyarakat feodal, dan bahkan saat masih berada dalam sistem itu, mereka sudah melampaui kelas penguasa sebelumnya dalam hal budaya. Proletariat berbeda, terutama di Rusia. Mereka dipaksa merebut kekuasaan sebelum sempat menguasai elemen-elemen dasar budaya borjuis. Mereka harus menggulingkan masyarakat borjuis secara revolusioner karena sistem itu menghalangi mereka mengakses budaya. Tugas historis kelas pekerja adalah mengubah aparatus negara menjadi alat yang kuat untuk memenuhi dahaga budaya dari massa.

Namun, jika seseorang tidak menggunakan istilah dengan benar, ini menandakan bahwa belum ada penciptaan budaya proletar yang khas. Istilah seperti "budaya proletar" atau "seni proletar" sering kali digunakan secara tidak kritis---dalam beberapa kasus untuk menggambarkan budaya dan seni dari masyarakat komunis masa depan, dalam kasus lain hanya untuk menunjukkan bahwa beberapa kelompok proletar sedang mempelajari elemen-elemen budaya yang belum terintegrasi sepenuhnya, dan pada banyak kasus lainnya, istilah-istilah ini tidak memiliki definisi yang jelas dan terarah.

Sebagai contoh terbaru, salah satu dari sekian banyak penggunaan istilah "budaya proletar" yang membingungkan dan tidak hati-hati dapat dilihat dalam pernyataan Sizoy. Ia menulis bahwa "basis ekonomi dan sistemnya yang berhubungan dalam suprastruktur" membentuk karakteristik sebuah periode, apakah itu feodal, borjuis, atau proletar. Dengan ini, ia menempatkan periode budaya proletar di landasan yang sama dengan periode borjuis. Padahal, periode proletar seharusnya dilihat sebagai transisi singkat dari kapitalisme menuju sosialisme, bukan sebagai fase budaya yang berdiri sendiri seperti budaya borjuis atau feodal. Revolusi borjuis memang berusaha memperkuat kekuasaan kelas borjuasi, sedangkan revolusi proletar bertujuan untuk menghapus kelas proletariat secepat mungkin. Durasi periode ini bergantung pada keberhasilan revolusi. Tidak heran ada yang bisa keliru dengan menempatkan budaya proletar pada posisi yang sama dengan budaya feodal dan borjuis.

Lalu, apakah ini berarti kita tidak memiliki ilmu pengetahuan yang bersifat proletar? Apakah konsep materialisme sejarah dan kritik ekonomi politik Marxis tidak merepresentasikan elemen-elemen budaya proletar? Tentu saja, konsep materialisme sejarah dan teori nilai Marxis memiliki peran penting dalam mempersenjatai kelas pekerja dan perkembangan ilmu pengetahuan. Manifesto Komunis, misalnya, memiliki nilai ilmiah yang lebih besar dibandingkan banyak karya akademis borjuis lainnya. Tetapi, apakah Marxisme itu sendiri merupakan hasil dari budaya proletar? Marx dan Engels sendiri berasal dari lingkungan borjuis demokratis dan tumbuh dalam budaya borjuis, bukan budaya proletar. Jika tidak ada perjuangan kelas pekerja, teori komunis ilmiah mungkin tidak akan pernah ada, karena kebutuhan sejarah untuk itu tidak akan muncul. Meski demikian, teori Marxis terbentuk dalam konteks budaya borjuis, meskipun pada akhirnya ditujukan untuk mengakhiri budaya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun