Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan tentang Sejarah: Awal Mula Bangsa ini!

24 Agustus 2024   10:05 Diperbarui: 24 Agustus 2024   10:09 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MASYARAKAT FEODAL INDONESIA

Feodalisme di Indonesia berakar dari istilah "feodum" yang berarti tanah. Dalam masyarakat feodal, penguasaan alat produksi, seperti tanah, dipegang oleh kaum pemilik tanah, raja, dan kerabat kerajaan. Ini menciptakan konflik antara rakyat yang tidak memiliki tanah dengan pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan berfungsi sebagai alat kaum feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, serta nilai-nilai moral dan agama.

Di Eropa, feodalisme ditandai dengan penguasaan tanah oleh baron-barons atau tuan tanah. Para baron mempekerjakan orang-orang yang tidak memiliki tanah dengan memberi mereka hak atas sebagian hasil panen, setelah membayar upeti kepada para baron. Para baron memiliki otoritas penuh atas tanah mereka, termasuk kekuasaan hukum, militer, dan lainnya, yang mirip dengan fungsi negara modern. Para baron sering kali otonom terhadap raja, bahkan kadang berkonspirasi untuk menggulingkannya.

Contoh feodalisme di Indonesia dapat dilihat pada masa Kerajaan Mataram, di mana tanah dianggap milik Dewa/Tuhan, dan raja sebagai utusan Dewa/Tuhan berhak menguasainya. Rakyat diwajibkan membayar upeti dan melakukan kerja paksa untuk kerajaan dan para pejabatnya. Meskipun ada perlawanan dari rakyat tak bertanah dan petani, seperti pemberontakan Ken Arok di Singasari dan pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat I, gerakan-gerakan ini umumnya dikalahkan. Namun, perlawanan tersebut menunjukkan perkembangan tenaga produktif yang terus maju melawan hubungan sosial yang konservatif.

Masuknya kapitalisme melalui kolonialisme dan imperialisme mempercepat perubahan di Indonesia. Di negara-negara dengan kapitalisme yang matang, kebutuhan akan perluasan pasar, bahan mentah, dan tenaga kerja murah mendorong kolonialisasi. Tanam paksa memperkenalkan tanaman-tanaman yang laku di pasar Eropa, dengan kaum tani diwajibkan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial Belanda. Perubahan ini menjadi titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.

Pada abad ke-19, perubahan di Belanda membawa dampak di Hindia Belanda. Kapitalisme swasta menuntut perubahan dalam metode eksploitasi dan sistem politik, dari monopoli negara menjadi persaingan bebas. Pada tahun 1870, tanam paksa dihentikan, dan pemerintah Belanda mulai menerapkan politik etis untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Meskipun diskriminatif, pendidikan mulai diperkenalkan, yang akhirnya menumbuhkan kesadaran baru di kalangan rakyat yang tertindas.

Perlawanan rakyat Indonesia semakin terorganisir dan memiliki ideologi yang jelas, terinspirasi oleh revolusi di negara lain seperti Cina, Turki, dan Rusia. Gerakan-gerakan modern untuk melawan penindasan mulai dikenal, seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam (SI). Perpecahan dalam SI antara faksi revolusioner dan faksi konservatif mendorong terbentuknya Partai Komunis Indonesia (PKI), yang mengedepankan kebudayaan revolusioner dan kebebasan. PKI memimpin pemberontakan besar-besaran pada tahun 1926-1927, meskipun akhirnya dikalahkan oleh pemerintah kolonial.

Setelah kekalahan PKI, perjuangan dilanjutkan oleh PNI di bawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI menjadi partai massa yang mendapatkan dukungan luas, meskipun kemudian dibubarkan oleh penguasa kolonial. Gerakan bawah tanah dan perlawanan terus berlanjut, bahkan ketika fasisme mulai menyebar di Eropa dan Asia. Perang Dunia II membawa Jepang menguasai Hindia Belanda, menggantikan Belanda dengan pemerintahan militer yang menerapkan kerja paksa. Perang Dunia II adalah puncak dari persaingan antar negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku, sehingga tetap merupakan perang atas nama imperialisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun