Kasus vaksin palsu seperti yang terjadi di beberapa RS di Jakarta dan Bekasi adalah sebuah contoh kecerobohan Rumah Sakit dalam mengelola persediaan obatnya. Kejadian pemberian vaksin palsu di rumah sakit jelas disebabkan karena peran Logistik sebagai penyedia dan penyimpan barang, serta peran Apoteker sebagai penjamin kualitas obat tidak dilakukan secara benar.
Beberapa kemungkinan penyebab lolosnya vaksin palsu di rumah sakit antara lain:
- Pengadaan Obat tidak dilakukan oleh Bagian Logistik dan Pengawasan Kualitas obat tidak dilakukan oleh Apoteker atau Instalasi Farmasi.
Pada kasus di sebuah RS di Bekasi, vaksin diadakan oleh suster di Poli Anak, dengan persetujuan dari dokter anak dan bahkan pembayaran atas biaya immunisasi dibayarkan langsung oleh pasien kepada Dokter atau Suster di Poli anak tersebut. Â Kasus seperti ini jelas tidak dapat dibenarkan terjadi dalam sebuah RS dimana tanggung-jawab kualitas obat dan vaksin seharusnya berada pada Instalasi Farmasi yang harus dipimpin oleh Apoteker. Tidak diketahui dimana stok vaksin itu disimpan dan apakah Apoteker di instalasi farmasi mengetahui adanya proses pengadaan yang dilakukan langsung oleh Poli Anak.
- Instalasi Farmasi sekaligus juga berfungsi sebagai pelaksana pembelian dan penyimpanan di gudang
Pada beberapa kesempatan sering saya sampaikan betapa pentingnya peran Logistik dalam rumah sakit. Sudah seharusnya fungsi pengadaan barang dipisahkan dari fungsi pengawasan kualitas obat mengingat betapa pentingnya peran penyediaan obat yang baik dalam sebuah rumah sakit. Saya bahkan tidak pernah setuju pengadaan obat dilakukan langsung oleh Instalasi Farmasi. Idealnya peran Instalasi Farmasi dan Apoteker adalah menjamin kualitas barang dan mengawasi penyimpanan obat, sedangkan peran pengadaan dan distribusi barang menjadi tugas bagian Logistik dengan selalu melibatkan Apoteker sebagai penjamin kualitas barang.
Terlalu banyak konflik kepentingan seandainya Instalasi Farmasi juga berfungsi sebagai pengadaan obat. Seorang Apoteker seharusnya tidak berhubungan langsung dengan Supplier Obat, dia hanya berfungsi untuk memeriksa apakah obat yang dikirimkan oleh bagian Logistik sesuai dengan spec dan menjamin kualitasnya. Â Seorang Apoteker tidaklah perlu panik disaat obat2 yang disimpannya mendekati kadaluwarsa, cukup harus dengan tegas membuang atau memerintahkan pemusnahan obat. Peran pengendalian stok seharusnya dipikirkan oleh Logistik, Instalasi Farmasi yang mengelola kebutuhan dan kualitas obatnya.
- Tidak adanya kontrol dari Manajemen rumah sakit atas pemakaian obat dan vaksin yang dikeluarkan oleh dokter
Dalam kasus vaksin palsu di sebuah RS di Bekasi, seharusnya pihak manajemen RS dapat dengan cepat mengetahui adanya tindakan poli yang mengadakan obatnya sendiri. Sangat mudah diketahui adanya tindakan pemberian Immunisasi yang ternyata tidak dibarengi dengan keluarnya Vaksin dari Intalasi Farmasi, karena semua tindakan dokter wajib diisi dalam lembar rekam medisnya.
Yang mungkin terjadi adalah Manajemen RS sungkan untuk menegur tindakan Dokter Poli Anak, karena dokter tersebut sangat terkenal dan banyak pasiennya, dimana popularitas dokter tersebut otomatis akan meningkatkan pendapatan RS dan membawa citra baik bagi RS. Kalau hal ini yang terjadi, sangat disayangkan karena UU Rumah Sakit tidak membenarkan adanya transaksi obat yang tidak melalui instalasi farmasi dalam RS tersebut.
Demikian tulisan ini disampaikan sebagai bahan referensi agar pengelolaan Logistik pada sebuah Rumah Sakit dapat lebih diperhatikan lagi. Masih banyak Rumah Sakit bahkan tidak memiliki Instalasi Logistik karena semua proses terkait pengadaan dan pengelolaan stok obat ditangani langsung oleh Instalasi Farmasi. Sangat banyak dampak positif bagi RS seandainya peran Logistik Obat di Rumah Sakit dapat diberdayakan dengan baik dan benar.
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H