Seorang manusia dalam menjalani rentang masa kehidupannya dikendalikan oleh naluri primitif pra human untuk senantiasa mencukupi kebutuhan dasar hidupnya. Ia akan berusaha mencari makanan jika lapar, minum bila haus, mencari pasangan untuk kebutuhan biologis, dan kebutuhan dasar lain yang sifatnya menghendaki segera untuk bisa dipenuhi, jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi maka eksistensi individunya akan terancam.
Psikolog humanisme Abrahan Mashlow menyebut kebutuhan jenis ini sebagai basic needs yang menempati posisi elementer pada hirarki piramida kebutuhan hidup manusia, bagi Mashlow seorang manusia tidak akan mampu untuk berpikir memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi sebeleum kebutuhan dasar ini bisa tercukupi. Kebutuhan yang lebih tinggi itu meliputi kebutuhan akan rasa aman, penghargaan dan beberapa kebutuhan sosial religius yang oleh Mashlow disebut sebagai kebutuhan untuk beraktualisasi diri (Self actualization). Bagi Mashlow dan pengikutnya yang tergabung dalam mazhab psikologi humanistik aktivitas pemenuhan kebutuhan ini merupasa modus utama kehidupan seorang anak manusia.
Bagi penulis sendiri apa yang disampaikan oleh Mashlow and his gang tidaklah sepenuhnya tepat, meskipun juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Karena disamping naluri untuk memenuhi kebutuhan, seorang manusia seringkali juga dikendalikan oleh hasrat untuk mencapai keinginan. Meminjam konsep Erich Formm yang seorang Psikoanalis, manusia tidah hanya puas dengan memiliki apa yang ia butuhkan (to have), namun lebih dari itu ia juga hendak mencapai apa yang diinginkan (to be).
Pada masa sekarang ini, umat manusia memasuki sebuah periode dimana dunia diibaratkan sebagai desa buana (global village), dimana batas-batas geografis menjadi semakin tidak begitu berarti, ruang dan waktu menjadi sangat pendek, dunia seolah-olah dilipat lantaran rekayasa teknologi komunikasi dan informasi atau yang lazim disebut sebagai tennologi citra sebagaimana yang tergambarkan dengan sangat apik dalam buku karya Yasraf Amir Pilliang; Sebuah Dunia yang Dilipat.
Perkembangan dunia yang memasuki zaman citra ini sebenarlah jaul-jauh hari telah diprediksi kedatangannya oleh seorang futurolog bernama Alfin Tofler, dalam karya monumentalnya yang berjudul The third wind ia membagi ''gelombang'' peradaban menjadi tiga yaitu; gelombang peradaban agraris, peradaban industri dan peradaban citra. Sekarang kita memasuki sebuah zaman yang sendi-sendi peradabannya dibangun melalui rekayasa teknologi penciteraan.
Malangnya, rekayasa citera ini tidak hanya membuat kabur jarak, ruang dan waktu yang merupakan bagian eksternal diluar diri kita, namun secara psikologis rekayasa teknologi citra ini juga membuat rancu modus eksistensi yang terkait dengan sisi internal psikis manusia. Hal ini ditandai dengan semakin sulitnya kita untuk membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Rekayasa citra yang dikendalikan oleh logika pasar dari perusahaan multinasional telah merekayasa produk-produk yang sekunder sifatnya menjadi seolah-olah hal primer yang harus dimiliki oleh setiap orang. Saat ini mudah untuk kita temui seorang anak usia sekolah menengah yang menyatakan bahwa ia memiliki smart phone karena hal itu sudah menjadi kebutuhan bagi dirinya.
Menurut mendiang Fuad Hasan, seorang mantan menteri pendidikan Indonesia peraih mendali emas Ibnu Sina dari UNESCO, ketidak mampuan seseorang yang hidup di zaman ini untuk mengidentifikasi modus eksistensinya sehingga keliru menganggap keinginannya sebagai kebutuhan yang harus segera untuk dipenuhi akan berakibat pada terbentuknya karakter rakus. Tentu saja kerakusan disini tidak berdiri sendiri, karena karakter ini ditopang oleh struktur yang dibangun melalui rekayasa teknologi informasi yang dikendalikan oleh logika pasar perusahaan multinasional. Hal ini mengingatkan kita pada karya linguis terkenal Noam Chomsky; Manufacturing Consent.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H