Mohon tunggu...
Aris Wahidin
Aris Wahidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Lulusan UIN Sunan Kalijaga 2009 Kepala SMK Ma'arif NU Bawang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Leluhur Warga Desa Bawang

23 September 2019   01:23 Diperbarui: 27 September 2019   00:43 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Desa Bawang merupakan ibu kota Kecamatan Bawang yang terletak di lereng gunung Prau (Perahu) Jawa Tengah. Lokasinya berdekatan dengan Dataran Tinggi Dieng yang kaya akan situs sejarah masa Hindu / Wangsa Sanjaya. 

Menurut Sugito Hadisastro, sejarawan novelis asal Batang, Raja Sanjaya bermigrasi bersama ribuan pasukannya dari India ke Jawa, berlabuh di Pantai Celong,  kemudian menempuh perjalanan menuju ke arah selatan sampai ke Dieng. Dalam perkembangannya, Dieng menjadi pusat spiritualitas agama hindu kala itu. 

Sebelum datangnya ajaran hindu, penduduk tanah jawa telah menanut kepercayaan yang disebut dengan Kapitayan. Sejarawan Agus Sunyoto menyatakan, kepercayaan kapitayan ini disalah pahami oleh para sejarawan dan anthropolog barat dengan menyebutnya sebagai animisme dan dinamisme (pemujaan terhadap roh leluhur yang bersemayam di alam).

Menurut Agus Sunyoto, kapitayan adalah kepercayaan bahwa penguasa jagad raya Sang Yang Toyo adalah impersonal (tan keno kinoyo nopo, tidak mempribadi, wujud tapi tidak mewujud). Kekuatan dari Sang Yang Toyo tersebut dapat dijumpai di tempat yang memiliki unsur TU jika diucapkan. TUgu, waTU, TUnggak, TU', TUtu', TUnggal, piTU.

Adapun penghormatan kepada kekuatan sang penguasa jada raya tersebut diwujudkan dalam pemberian sesaji/sajen. Cara memuja pengikut kapitayan disebut Sembahyang, tempat pemujaannya disebut sanggar/langgar, aktivitas tirakat meninggalkan makan minumnya disebut upawasa.

Tokoh-tokoh agama kapitayan adalah yang kita kenal selama ini sebagai punokawan: semar, gareng, petruk, bagong, togok tejo mantri. 

Ketika pengaruh agama hindu datang ke jawa, terjadilah pergumulan antara hinduisme dan kapitayan, sehingga aliran hindu yang paling banyak dianut adalah hindu shiwa, karena konsep ketuhanannya sama, yaitu tuhan baik dalam konsepsi kapitayan maunpun hindu shiwa adalah tuhan yang impersonal.

Sebagaimana diyngkapkan oleh Gus Muwafiq, sejarawan aktivis PMII Yogyakarta, dalam perkembangan selanjutnya, pergumulan dua agama ini menghasilkan suatu aliran yang terkenal dengan Tantrayana / Bairawa. Ketika ritual kedua agama tersebut dicampur yang ditujukan untuk mrnghasilkan tujuan tertentu.

Jika ditujukan u mebinasakan seseorang dinamakan ilmu santet, jika untuk mencari harta disebut ngepet/memet, jika untuk memikat wanita/pria disebut pelet, singkatnya ilmu perdukunan. 

Pergumulan dua agama diatas mewarnai corak perilaku keagamaan masyarakat jawa kala itu, terlebih penduduk yang ada disekitar Dieng dan Gunung Prau. Di pedalaman Gunung Prau kini bisa kita temukan bekas pemukiman kuno yang disebut dengan Pomahan, tepatnya dibawah curug sendang bidadari. Konon, migrasi dari penduduk di pomahan ini menuju ke arah utara mendiami sebuah tempat yang kini dikenal dengan Desa Kebaturan, dari Kebaturan inilah konon nenek moyang penduduk asli Desa Bawang berasal. 

Ketika terjadi pergolakan pada zaman Belanda, Jepang dan Sekutu warga desa Bawang akan mengungsi menuju ke arah selatan, disekitar pegunnungan Perahu, kini menjadi daerah Wonosobo dan Banjarnegara, karena sebagian besar warga Bawang masih memiliki ikatan darah dengan penduduk ditempat tersebut. Hal cukup untuk dijadikan bukti bahwa nenek moyang orang Bawang berasal dari dari daerah tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun