Teater kesenian tradisional Dulmuluk mungkin masih terdengar asing bagi pembaca Kompasiana.Â
Namun, bagi sebagian besar masyarakat Sumatera Selatan khususnya Kota Palembang, Dulmuluk dikenal sebagai seni pertunjukan yang populer pada masanya.
Buat kamu yang belum tahu, Dulmuluk merupakan teater kesenian tradisional yang berkembang sebagai media hiburan masyarakat sekaligus menjadi bagian dari ragam budaya di Sumatera Selatan.
Tak cuma menghadirkan hiburan untuk masyarakat, seni pertunjukan yang memadukan syair, musik, dan drama ini juga sarat akan pesan moral dari setiap lakon yang dibawakan.
Kesenian Dulmuluk biasanya diadakan untuk memeriahkan berbagai acara, seperti pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya, pada malam hari di lapangan terbuka atau di atas panggung.
Teater Dulmuluk sudah diakui UNESCO melalui Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Daerah sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda.
Berbeda dengan teater tradisional lainnya, Dulmuluk memiliki ciri khas yaitu adanya bermas atau salam penghormatan berupa nyanyian yang disertai gerak tari pada awal dan akhir teater.
Teater Dulmuluk sendiri dimulai dengan nyanyian salam pembuka atau bermas. Dilanjutkan dengan bekiso, yaitu saat seorang pemain duduk di samping pemain musik untuk melantunkan kisah dengan suara yang lantang. Kemudian drama Dulmuluk dimulai hingga selesai dan ditutup dengan bermas.
Bagaimana sejarah awal munculnya teater Dulmuluk? Yuk, telusuri lebih jauh!
Sejarah Singkat Teater Kesenian Tradisional Dulmuluk
Sebelum menjadi teater seperti saat ini, Dulmuluk berawal dari pembacaan syair kisah Abdul Muluk Jauhari dari kitab Kejayaan Kerajaan Melayu oleh Syekh Achmad Bakar atau Wan Bakar, seorang pedagang keturunan Arab pada tahun 1854 di sekitar rumahnya di wilayah Tangga Takat, Kelurahan 16 Ulu, Kota Palembang.