Mohon tunggu...
Aristya Gurusinga
Aristya Gurusinga Mohon Tunggu... -

Hi ! I'm a traveller and a story teller.. Nice to meet you ^^ ♥

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serpihan Memori Kasih Sayang

20 November 2014   05:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:21 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mata ini tak henti-hentinya mengeluarkan butiran-butiran air mata, rasa rindu di hati ini tak berkurang dan pikiran yang terus melayang-layang. Itulah diriku yang merindukan kau, kau yang berada di negeri mesin. Aku di negara penuh korupsi ini merindukanmu selama 6 tahun lamanya, menunggu kabar gembira akan kepulanganmu di negara penuh korupsi ini. Takkan pulang, katamu? Gaji kecil, katamu? Ya benar, negara ini takkan bisa memuaskan keinginanmu akan semua ambisimu, tapi tidakkah kau ingin bertemu denganku? Aku yang menunggumu pulang, aku yang ingin meminta maafmu tentang kejadian 6 tahun lalu, saat kita berpisah. Ya, perpisahan yang membekas sampai sekarang.

2007

Kau, orang yang maniak dengan games, software dan inovasi-inovasi serta tak begitu peduli dengan sekolah. Kau, orang yang polos menganai hubungan pacaran. Kau, orang yang sangat kusayang, walaupun kau sering membentakku, mengacuhkanku dan membuatku jengkel. Selamat karena kau telah membuat orangtuaku bangga akan kelulusan masa SMAmu dengan sangat memuaskan. Selamat karena kau bisa menghirup udara segar di luar penjara suci. Kau berhasil membuktikan bahwa kau bisa! Aku bangga bisa memiliki orang sepertimu di hidupku, walaupun ku hanya melihatmu kurang dari 10 tahun.

Di tahun ini pula kau membuatku sedih, bangga dan terkejut akan pilihan masa depanmu. Kau memilih untuk meninggalkanku dan keluarga tercintaku di negeri Pancasila ini dan memilih mengenyam pendidikan dan tinggal di negeri tanpa pantai. Apakah kau tahu kalau ku menangis dangan amarahketika kau memilih pilihan itu? Memang, saat itu aku belum paham jika negeri ini belum bisa memenuhi ambisimu sebagai pemuda yang penuh dengan semangat. Aku mengerti sekarang. Aku bingung saat itu, apakah usaha orangtuaku selama ini kurang untukmu, dokter terbaik diberikan untuk kesehatanmu demi dunia yang dipersiapkan oleh orangtuaku. Dengan nilaimu yang memuaskan, kau bisa masuk di UGM ataupun UI.

Keputusanmu itu tiba-tiba, penuh perdebatan dan tak terpikirkan olehku. Apa sebenarnya yang kau mau di hidupmu? Tidakkah cukup dengan semua ini? Jujur saja, aku ragu akan keberhasilanmu. Tak ada satu sanak keluarga ataupun teman yang ada di sana. Kenapa kau tak ada rasa takut untuk berada di sana? Keputusanmu memicu perang batin di hatiku. Hanya kurang dari 10 tahun aku mengenalmu, itu hanya waktu yang sedikit dan sekarang kau mau meninggalkanku, tidakkah itu terlalu menyakitkan? Tak kusangka, hanya dalam waktu satu bulan kau berhasil meyakinkan diriku dan seluruh keluargaku. Saat itu, aku mencoba untuk menerima dan menghormati keputusanmu.

Pagi-pagi buta saat ku hendak ke sekolah, papa mengatakan bahwa kau harus ke ibu kota dan memerima kursus bahasa negeri mesin selama enam bulan dan kau akan pergi esok malam. Hembusan nafas pasrah kukeluarkan. Aku tak menyangka semua itu akan datang begitu cepat. Kau, beban hati apalagi yang akan kau berikan untukku? Hatiku menjadi tak menentu, ku geserkan pandanganku ke mamaku tercinta, tak dapat kubayangkan perasaan hatinya untuk melepaskan orang yang kusayangi dan beliau sayangi.

Enam bulan tanpamu sangatlah hampa, hanya ada aku, mama dan kakak perempuanku. Komputer rumah yang biasanya menyala tiap siang hingga malam kini, mati. Rumah yang biasanya ramai akibat kicauanmu tentang masakan mama kini, kosong. Kamar tidurmu yang selalu bernyawa kini, mati.

Dulu, tiap paginya kau selalu bangun sekitar jam enam pagi dan kau mandi menghabiskan waktu 30 menit. Siangnya, kau pulang sekolah, ambil koran dan membacanya di lantai ruang keluarga, tak lupa makan siang dan es teh manis menemani kegiatan rutin siangmu itu. Sore hari hanya kau habiskan dengan berkencan dengan komputer, entah apa yang kau lakukan dengan software dan aplikasi-aplikasi di komputer. Menonton film dengan ditemani makan malam adalah kegiatan malam harimu. Ingatanku akan kau sangatlah tajam. Kau adalah orang yang mengajariku berbahasa asing melalui film yang kau pinjamkan tiap malam dari rental film. Aku teringat kau pernah beradu argumen dengan mama mengenai masalah ini, namun kau tetap berpegang teguh dengan keinginanmu itu. Keinginanmu itu yang membuatku mengenal dan bisa berbahasa asing seperti ini. Seharusnya kubungkukkan badanku dan kuucapkan terima kasih padamu, tanda rasa terima kasih yang paling dalam dan terhormat di dunia, katanya.

Bulan desember, entah tanggal berapa kau datang ke rumah dengan tiba-tiba. Kehadiranmu di rumah membuat hatiku gembira, tak peduli bagaimana sikapmu padaku saat itu karena kau orang yang sangat kusayangi. Kau putuskan untuk merayakan Natal bersama kami sebelum kau pergi menimba ilmu yang lebih tinggi. Haruskah aku senang atau sedih? Haruskah aku terharu atau tertawa? Tahun depanterdengar seakan masih lama, tetapi itu hanya kurang dari satu bulan. Aku juga ingat saat kita rayakan ualng tahunmu dengan makan malam di satu rumah makan yang amat kau gemari di kota minyak itu, teringat juga akan keterlambatan kita untuk mengikuti ibadah Natal. Hal yang terkonyol yang pernah akku ingat, papaku memutuskan untuk tidak mengikutinya saat melihat parkiran yang begitu panjang, saat itu aku kecewa karena aku tak mendapat hadiah Natal yang seharusnya aku dapatkan tiap tahunnya dari gereja.

Bencana alam pun tak menjadi halangan untuk mendapatkan kebahadiaan. 26 Desember 2008, banjir melahap hampir seluruh daerah pusat di kabupaten akibat rusaknya tanggul. Menyedihkan sekali. Malam pertama banjir terjadi, tempat menjemur pakaian menjadi pengungsian kau, aku, kakak perempuanku, mamaku dan papaku. Kenangan terlucu dan tak terbayangkan adalah saat kau, aku, kakak perempuanku, mamakku dan papaku beristirahat di atas saatu kasur yang seharusnya hanya untuk satu orang. Lucu, bukan? Sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana kasur tersebut bisa memuat orang lima.

Siangnya, kau, aku dan kakak perempuanku dijemput oleh paman, bukan? Aku takkan melupakan pengalamanku melewati banjir dengan arus yang deras dengan berjalan kali dan beberapa kali harus dipikul oleh paman karena takut aku terseret oleh arus. Selama seminggu itu, kau pulang dan pergi ke rumah dan ke tempat paman. Kau tahu tidak, aku selalu menunggumu pulang tiap malamnya. Tak tahu mengapa, aku selalu aman ketika kau berada di sampingku walaupun ada kakak perempuanku yang menjagaku selama 24 jam.

“Untunglah aku pulang kalau enggak, siapa yang mau bantu”, kurang lebih itulah perkataanmu setelah banjir surut. Terkesan sombong, tapi itulah faktanya. Kau, kapankah aku bisa menebak ucapan yang akan kau katakan? Mengapa hasil ucapanmu selalu membuatku menggelengkan kepala? Jempol dua untuk kelebihanmu di bidang ini. Sebenarnya ada satu kalimat yang ingin kukatakan padamu saat itu,“Aku merasa sangat beruntung dan bahagia memilikimu sebagai bagian dalam hidupku”.

Bagai tiupan angin melepaskan kelopak-kelopak bunga dandelion, kebahagiaanku terlepas saat kau dan papa meninggalkan kota minyak pada tanggal 6 Januari 2008. Malam itu kau dan papa akan meninggalkanku. Kalian berdua meniggalkanku sehari sebelum kuberulangtahun. Tidakkah kalian kejam terhadapku? Terlebih aku harus melepaskanmu di stasiun kereta api untuk terakhir kalinya. Tidakkah takdir akan puas melihat hatiku gundah tak menentu?

Perpisahan malam itu di stasiun kereta api takkan kulupakan. Peristiwa yang membekas di hatiku. Perpisahan yang amat kusesali hingga saat ini. Mamaku, kakak perempuanku dan orang-orang berlalu lalang di sana adalah saksi hidupnya. Saat itu kau mengejekku hingga membuatku marah padamu. Entah apa ledekan itu, kau berhasil membuat ledekan yang bisa membuatku menangis. Apa yang kau pikirkan di detik-detik terakhir kau di kota minyak hingga kau bisa membuatku marah padamu? Aku heran padamu. Di lain sisi, akulah yang bodoh. Kekanak-kanakan sekali aku ini. Aku seharusnya melihatmu, tak seharusnya kupalingkan mukaku darimu. Harusnya kukatakan, “Hati-hati di jalan”, “Semoga sampai tujuan dengan selamat”, “Jaga dirimu baik-baik” atau “Jangan lupa komunikasi terus, ya!” Tololnya aku waktu itu, aku lebih memilih egoismeku daripada melepasmu pergi dari hidupku. Mungkin aku belum bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Mungkin aku belum bisa melihatmu dan melihat kita bepisah. Terlalu sayangkah aku hingga tak kuat untuk mengalami perpisahan denganmu? Mungkin begitulah perasaanku padamu. Sampai berjumpa lagi denganmu, kakakku tersayang. Aku akan menunggu kepulanganmu, adikmu ini rindu bertengkar, bermain games buatanmu dan jalan-jalan denganmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun