Awas, Kita hanya ditunggangi intelektual yang berambisi...
Memancing anarki, demi Revolusi...
( Slank - Aktor Intelektual )
Indonesia sedang dalam kondisi yang kurang membahagiakan. Dengan berbagai problema yang melingkupinya. sementara rakyat yang sedang meratapi betapa sulitnya hidup di negeri ini dipusingkan lagi dengan berbagai hal, seperti perihnya hati terasa teriris ketika rakyat yang kesusahan mengatur anggaran hidup keluarga mendengar berita wakil nya di DPR sedang mengadakan tender terbuka pembangunan gedung baru DPR dengan dana fantastis yang entah demi urgensi atau elitis. Lalu rakyat jadi korban lagi dalam carut-marut nya pertarungan elite politik yang tengah memperebutkan kuasa. Rakyat yang tak tahu apa-apa makin nelangsa dengan berita-berita tidak mengenakkan dari kasus-kasus korupsi, ketidakberesan penanganan negara, bencana, yang lantas tentu memunculkan tanda tanya: apa negara ini salah urus?
Ketidakmampuan Dan Ketidakhadiran Institusi Negara.
Salah satu yang sedang menjadi sorotan belakangan adalah ramainya teror bom yang terus terjadi di seluruh penjuru negeri. Beberapa analis lantas mengeluarkan dugaan bahwa teror bom ini adalah sebuah bentuk pengalihan isu yang dilakukan elite politik agar isu besar tentang beberapa kasus korupsi tertutupi oleh berita bom ini. Terorisme bukan bermaksud membunuh orang tertentu, bila ada yang mati maka itu hanya collateral Damage atau kerugian sampingan. Inti utama yang dituju dalam terorisme adalah tersebarnya ketakutan dan paranoia dalam masyarakat. Dan nampaknya aktor intelektual dalam teror bom ini mampu menjalankan perannya dengan baik. Masyarakat kita tengah paranoid dalam menyikapi teror bom ini, ketakutan menyebar merajalela. Lalu apa bukti ketiakmampuan dan ketidakhadiran negara dalam teror bom belakangan ini? Karena negara (dalam hal ini institusi penegak hukum) tak kunjung mengusut siapa pelaku teror bom ini. Padahal bila mau bukankah hal ini dapat segera dilakukan dengan secara struktural mengurai satu demi satu benang merah penyusun teror ini. Bisa dimulai dengan mencari kurir pengirim bom. Sepertinya institusi negara enggan mengungkap terorisme yang bertendensi dan diasumsikan dilakukan oleh elite politik, sementara bila terorisme ini mengacu pada pelaku dari kalangan satu agama tertentu maka negara segera cepat mengusutnya. Yang juga jadi Salah satu bukti ketidakhadiran negara adalah tak mampu menghentikan banalitas media dalam mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat.
Banalitas Media
Agaknya yang perlu dicermati kemudian adalah peran besar media dalam menyebarkan paranoia di masyarakat. Kesalahan media lokal Kita adalah terlalu banal dalam memberitakan sebuah isu, dan masyarakat yang jadi korban dengan menelan mentah-mentah semua informasi tersebut hingga timbul paranoia massal. Banalitas ini terbukti dengan berbagai liputan berita yang rasanya tak akan terjadi di media negara lain, barat misalnya. Dalam kasus banalitas media ini sebenarnya negara tentu punya kewenangan mengatasi dan memperbaiki. (dalam hal ini lewat adanya KPI yang punya otoritas dalam hal mengatur penyiaran media) namun agaknya negara memilih mempertahankan ketidakmampuan dan membiarkan masyarakat tenggelam dalam hiruk-pikuk banalitas informasi media. Michael Moore seorang pembuat film dokumenter, dalam filmnya tentang sepak terjang kapitalisme yakni Capitalism: A Love Story mengungkapkan bahwa sebenarnya Negara adalah institusi yang tak mampu, dimana negara tak mampu memberikan kehidupan dan pekerjaan kepada rakyatnya. Maka untuk meredam gejolak di masyarakat, negara akan membuat berbagai skema penghibur. Hal ini agaknya terjadi di Indonesia dimana negara tak mampu dan tak bisa hadir dalam aspek pemberian hajat hidup rakyat, maka dibuatlah acara-acara penghibur. Itu pula kenapa banalitas media dibiarkan saja. Dan juga menjamur kuis-kuis tidak mendidik yang memancing harapan besar masyarakat dan menimbulkan mental enggan belajar seperti kuis sms berhadiah besar. Padahal negara punya otoritas menghentikan acara yang dianggap merugikan masyarakat (dalam hal ini kementerian sosial punya wewenang memberikan izin pada sebuah acara atau kegiatan, bila cara ini dianggap merugikan masyarakat ya jangan di ijinkan) namun lagi-lagi agar rakyat terhibur dalam perayaan semu dan banalitas media. Negara memilih tidak hadir dan merasa tidak mampu, sementara rakyatnya terjebak paranoia teror bom, makin nelangsa dengan berita banal media. Dan aktor intelektual pelaku teror bom ini melenggang kangkung sambil tertawa karena agendanya dalam mengalihkan isu demi kepentingan pribadi sudah berhasil. Jadi marilah Kita berharap aktor Intelektual dalam teror dan problema negara ini segera terungkap. Dan bijak kiranya jika negara segera menunjukkan taji bahwa negara mampu dan hadir dalam mengurai berbagai permasalahan, termasuk masalah teror bom dan banalitas media yang meracuni masyarakatnya.
SELESAI
ARIS SETYAWAN
Yogyakarta, 21 Maret 2011