Kemerdekaan dunia pers Indonesia beserta pertumbuhan teknologi sudah berdampak pada akses informasi yang lebih meluas dalam konteks mencerahkan kehidupan bangsa. Demikianpun, kondisi geografis indonesia yang membentang dari barat ke timur tetap sulit untuk dijangkau dan dipantau, lebih – lebih sudut negara yang menjadi “Dunia Ketiga” – pra maju maksudnya – di republik ini. Isolasi multi sektoral yang diperparah dengan sentralisasi pembangunan di pulau Jawa (pada zaman orde baru) telah membuat kawasan dunia ketiga Indonesia ini menjadi tamu didalam rumah sendiri. Kesenjangan itu sangat kasat mata, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan plus infrastruktur utama seperti sarana dan prasarana Transportasi justru “miskin” padahal kawasan dunia ketiga ini merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, Aceh, Papua dan wilayah tengah timur Indonesia lain misalnya. Oleh media, kawasan dunia ketiga ini sering menjadi sorotan, ini pula yang membuat saya masih yakin kondisi kawasan dunia ketiga ini bisa diperbaiki secepatnya (barangkali). Dana otonomi khusus (untuk Aceh dan Papua) tidak serta merta menyulap wajah suram dunia ketiga Indonesia, special treatment untuk membangun mental kawasan terasing ini malah jauh lebih urgensial. Pendidikan di kota – kota pencakar langit bukan lagi soal ada atau tidak melainkan mahal atau murah dalam mendapatkannya, tapi di sebagian kawasan terasing justru pendidikan adalah barang langka, artinya jarang keberadaannya. Kelangkaan ini kadang diperparah dengan cara pandang masyarakat yang belum menganggap pendidikan itu penting.
Ulasan diatas sebenarnya adalah rangkuman diskusi ringan dikedai kopi beberapa hari lalu bersama seorang teman yang berlatar belakang sebagai praktisi pendidikan. Obral – obrol, sampai juga kepada tema yang paling segar di 2014, PEMILU. Sejauh mata memandang dan sedalam hati menimbang, sejujurnya hari ini pilihan untuk RI 1 tidaklah banyak, kalaupun banyak nama – nama yang digaungkan menuju kursi RI 1 tentu kapasitasnya haruslah teruji. Kota – kota besar di Indonesia yang sudah mapan dengan pendapatan asli daerahnya plus dibantu peran pihak swasta tentu pemilu tidak berpengaruh banyak, lha PR besarnya tinggal ngurusi banjir sama macet aja kan??? Kalaupun ada yang lain, paling – paling soal pelayanan. Mari sedikit melongok ke kawasan Timur Indonesia yang kaya dengan isi perut bumi, data mencatat Provinsi Papua, NTT dan NTB menempati posisi tiga teratas sebagai provinsi dengan tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia. Rasanya perlu ada sebuah figur baru yang memerhatikan secara sungguh – sungguh kawasan dunia ketiga ini terlebih di sektor pendidikan. Disayangkan banyak orang mengikuti konvensi Capres Demokrat, Rektor Paramadina dengan gagasan gerakan Indonesia Mengajar ini sebenarnya adalah salah satu dari figur baru yang potensial, Anies Baswedan. Idenya mengutus relawan – relawan untuk mengajar didaerah tertinggal dengan fasilitas seadanya berupaya mengisi kekurangan tenaga pendidik didaerah terpencil sangat layak untuk diapresiasi, mengingat tidak mungkin negara ini bekerja sendiri mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa andil pihak lain. Kenapa nama ini yang saya munculkan??? Sejujurnya masyarakat harus objektif menghadapi pemilu ini dan menolak pasrah pada upaya pembentukan opini oleh media massa, terlebih saluran Televisi Indonesia hari ini bagai corong partai. Perbedaan yang paling kental antara Anies Baswedan dan kandidat capres lain (tanpa menihilkan prestasi figur lainnya) adalah “produk” yang sudah dihasilkan, karena saya berkeyakinan siapapun capres yang muncul toh mereka memang orang – orang terbaik dengan segudang prestasi di negeri ini. Produk Indonesia Mengajar sebenarnya sangat sederhana, namun hakikatnya adalah membangkitkan moral bangsa ini untuk peduli dan melibatkan dunia ketiga yang sering terasing.
Menariknya, saat ini Partai Demokrat dihajar habis – habisan oleh Media TV nasional, beberapa waktu lalu Anies justru “manggung” bersama Abraham Samad, Jokowi dan Jusuf Kalla, dalam acara Mata Najwa di Metrotv, dan satu – satunya capres dari konvensi partai Demokrat. Ini menunjukkan daya tarik Anies jauh lebih kuat ketimbang daya tolaknya di mata publik. Kalau memang dicalonkan nantinya, saya yakini Anies akan mendulang suara dari pemilih dengan basis kaum intelektual.
Ini hanyalah opini dari masyarakat awam non partisan dan tanpa ada maksud apapun selain menggali – gali informasi dan berdiskusi menyoal bangsa. Bukankah Semakin banyak pilihan berkualitas dari kompetisi demokrasi yang berkualitas, akan semakin menyehatkan Republik yang terbatuk – batuk ini??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H