Pendidikan sebagai kunci dalam membangun peradaban sejatinya hak dasar yang harus diberikan kepada warga negara tanpa memandang apa pun dan sebagai upaya mewujudkan kesetaraan dan berkeadilan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4.Â
Kesetaraan dalam mengakses pendidikan dirasa diperlukan untuk menghindari diskriminasi yang dilakukan oleh sekolah yang hanya mengejar akreditasi maupun embel-embel sekolah favorit. Pandangan bahwa anak disekolahkan di sekolah dengan akreditasi unggul maupun dengan banyaknya peserta didik yang lolos ke Perguruan Tinggi Negeri masih menjadi acuan bagaimana orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah tertentu.Â
Pemerintah di bawah Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi selaku wewenang dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia mengeluarkan Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 untuk menggantikan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 mengenai PPDB, pada pasal 16 disebutkan bahwa sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah mengharuskan menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah.Â
Permendikbud tersebut memberikan kepastian bagi peserta didik yang berada di sekitar sekolah untuk dapat mengenyam pendidikan di sekolah terdekatnya tanpa harus bersaing dengan peserta didik yang melampirkan berbagai prestasi yang dimilikinya maupun passing grade yang harus dicapai untuk diterima di sekolah.
Sedikit mengutarakan apa yang pernah dialami ketika Permendikbud mengenai aturan zonasi ini belum diberlakukan. Sekolah terdekat yang saya tuju merupakan sekolah favorit dengan standar nasional, banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah ini dengan berbagai alasan, seperti fasilitas yang mendukung dalam proses pembelajaran, akreditasi yang unggul, rekam jejak alumni yang diterima di sekolah maupun PTN favoritnya.
Akhirnya, banyak yang mendaftar ke sekolah ini dengan jumlah pendaftar melebihi kuota yang disediakan. Saya melakukan testing terlebih dahulu untuk dapat diterima di sekolah ini. Kuota yang terbatas menyebabkan ratusan calon peserta didik tidak dapat diterima dengan alasan kuota sudah terpenuhi. Ketika itu saya bangga karena bisa menjadi peserta didik yang lolos dan melihat sebagian teman saya harus menerima bahwa mereka tidak diterima disebabkan nilainya kurang dari passing grade.Â
Selanjutnya banyak orang tua memprotes ketika jalur untuk masuk ke sekolah yang saya tuju itu hanya melalui jalur testing saja, orang tua yang berdekatan rumahnya dengan sekolah harus merelakan untuk mendaftar ke sekolah swasta yang terdekat atau memilih sekolah negeri yang jaraknya jauh sekitar 7 km. Realitas yang pernah saya lihat sebelum adanya Permendikbud.Â
Dengan adanya sistem zonasi, maka kesempatan peserta didik untuk mengenyam bangku sekolah di sekolah terdekatnya akan besar peluangnya karena tidak lagi bertumpu pada nilai tes yang harus terpenuhi untuk diterima di sekolah apalagi sekolah terdekatnya merupakan sekolah favorit. Selain jalur zonasi, ada jalur afirmasi, perpindahan tugas orang tua, dan jalur prestasi yang semuanya sudah diperhitungkan agar kesetaraan dan pemerataan pendidikan dapat terealisasi.
Penerapan aturan zonasi untuk menghilangkan ketidakadilan dalam pendaftaran penerimaan peserta didik baru sebenarnya sudah bagus dalam penerapannya. Namun, sebagus apa pun aturan yang dibuat akan ada dua kutub berseberangan yang melahirkan sisi baik dan buruk dari aturan tersebut. Selain itu, pandangan orang tua peserta didik yang menganggap bahwa sekolah favorit sebagai sekolah yang melahirkan anak-anak berprestasi masih kentara terlihat dari animo orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit walaupun jauh dari tempat tinggalnya.
Sekolah favorit sebenarnya sekolah tua atau sekolah tempat orang tuanya dulu mengenyam pendidikan tidak menjamin peserta didik untuk berprestasi maupun masuk ke perguruan tinggi negeri karena banyaknya alumni yang keterima masuk baik dari jalur prestasi maupun tes. Namun, lekatnya stigma sekolah favorit di kalangan masyarakat, inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa penerapan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru banyak terjadi pelanggaran.
Gambaran tentang orang tua yang menginginkan anaknya untuk bersekolah di sekolah favorit terekam jelas ketika banyak kecurangan yang dilakukan hanya demi masuk sekolah tertentu, seperti memanipulasi data tempat tinggal dengan alamat palsu agar dekat dengan sekolah tujuan, menitipkan anaknya kepada saudara bahkan orang lain yang dekat dengan sekolah maupun sampai melakukan penyogokan kepada pihak sekolah agar dapat diterima.