Mohon tunggu...
Aris Ramdhani
Aris Ramdhani Mohon Tunggu... Wiraswasta - panggil saja Aris

seorang lulusan dari Sosiologi Unsoed yang masih mencoba untuk menyenangi membaca buku dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Efek dari Tidak Sengaja

20 Juni 2020   23:48 Diperbarui: 20 Juni 2020   23:41 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Baswedan dalam persidangan kasus penyiaraman air keras. Jakarta, Kamis 30 April 2020. ANTARA FOTO 

Kalimat tidak sengaja akhir-akhir ini sedang menjadi trending bagi berbagai kalangan masyarakat. Kemunculan kalimat tersebut berasal dari proses hukum terkait penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan (penyidik KPK). Tragedi penyiraman air keras yang dilakukan oleh dua orang anggota POLRI Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette itu terjadi pada tahun 2017, proses hukumnya masih berlangsung hingga saat ini, kejadiannya adalah pada 11 April 2017 ketika Novel pulang dari masjid setelah melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Kedua terdakwa terbukti menyiram Novel Baswedan dengan menggunakan air keras, yang mengakibatkan kornea mata kiri Novel tidak berfungsi sama sekali dan juga kornea mata kanannya hanya berfungsi 50%.

Kasus ini mungkin telah dilupakan oleh khalayak karena telah terjadi begitu lama, dan juga tertimpa oleh isu-isu lainnya seperti Pilkada,Pilpres,rasisme,bahkan terbaru adalah isu COVID 19. Namun isu ini kembali mencuat setelah beredarnya pemberitaan tentang tuntutan jaksa penuntut yang menuntut terdakwa dengan hukuman selama 1 tahun penjara. Faktor yang mempengaruhi rendahnya tuntutan Jaksa penuntut adalah, Pertama, Jaksa penuntut umum berdalih bahwa selama proses persidangan, kedua terdakwa bersikap kooperatif. Kedua, karena terdakwa dianggap tidak sengaja menyiram mata Novel. Jaksa berdalih bahwa sasaran dari penyiraman tersebut adalah tubuh dari Novel, namun ketika air tersebut disiramkan tidak sengaja mengenai muka. Ketiga, karena motifnya adalah memberi pelajaran bagi Novel agar tidak merasa paling berjasa bagi Negara. Keempat, kerusakan pada Novel Baswedan itu bukan karena penyiraman, tetapi karena tindakan medis yang tidak tepat. Kelima, Jaksa juga memaparkan bahwa air yang digunakan oleh kedua terdakwa adalah air aki yang dicampur dengan air biasa, bukan air keras seperti hasil penyelidikan yang dilakukan oleh POLRI. Terbaru, bahkan Jaksa menuntut agar kedua terdakwa dibebaskan demi menjaga martabat negara. Rendahnya tuntutan Jaksa terhadap kedua terdakwa ini menimbulkan polemik bagi berbagai kalangan masyarakat, apalagi terkait fakta yang diajukan oleh Jaksa bahwa terdakwa tidak sengaja menyiram muka Novel Baswedan.

Polemik yang muncul dari kalangan masyarakat terhadap rendahnya tuntutan Jaksa ini adalah munculnya apa yang disebut oleh Habermas sebagai krisis legitimasi dan juga sebagai pembungkaman terhadap pihak yang kritis terhadap pemerintah. Krisis legitimasi terjadi apabila masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara, karena aktor-aktor dalam lembaga tersebut dianggap oleh masyarakat hanya berusaha untuk memperkaya,melindungi, dan memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Krisis legitimasi ini semakin menguat karena berbarengan pula dengan munculnya pemberitaan bahwa pelaku penusukan mantan Menkopolhukam Wiranto, dituntut dengan tuntutan yang berat (Syahrial Alamsyah 16 tahun, Fitri Diana 12 tahun, Samsudin 7 tahun). Timpangnya tuntutan Jaksa dalam kedua kasus tersebut telah memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa orang yang mencoba kritis terhadap pemerintah akan dihadapkan dengan proses “penghilangan” secara sistematis. Novel Baswedan adalah salah satu contoh dari “penghilangan” secara sistematis.

Novel Baswedan adalah sosok yang cukup mengganggu koruptor dikalangan pejabat. Track record ketika Novel menjadi penyidik KPK telah memberikan gambaran terkait “gangguan” yang dilakukan terhadap pemerintah, seperti, kasus E-KTP, kasus wisma atlet Sea Games Palembang, kasus suap dalam pemilihan deputi gubernur BI, kasus suap Akil Mochtar,  pengadaan simulator SIM, Apa yang terjadi terhadap Novel Baswedan, baik itu kasusnya maupun tuntutan yang rendah terhadap terdakwa oleh Jaksa penuntut, tentu sebuah peringatan dari pemerintah terhadap individu atau kelompok yang vokal dalam merongrong sistemnya. Akhirnya dari sebuah proses sistematis ini adalah pembungkaman terhadap pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah, agar pemerintah dapat menjaga kekuasaannya. Kondisi tersebut tentu berbahaya bagi negara yang menganut sistem demokrasi.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun