Mohon tunggu...
Aris Permadi
Aris Permadi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Just ordinary man who wanna make Indonesia - my beloved country - to be better.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PNS (Pegawai Ngerih Sekali)

8 Februari 2011   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:48 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Siapa namamu?” Tanya wanita itu, saya lalu menyebutkan nama saya, kemudian disusul tempat dan tanggal lahir dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan lain sesuai dengan instruksi wanita tengah baya tersebut. “Kemarin bayar berapa?” tanyanya lagi. Tiba-tiba otak saya Hang, sambil tersenyum saya coba proses pertanyaan ibu itu ke nalar saya. “Kena berapa juta biar lulus CPNS-nya?” tambahnya setelah melihat kebingungan saya, ia benarkan letak jilbab di seragam Linmas-nya dan kembali menyelesaikan berkas pengurusan CPNS milik saya.

Jujur, saya benar-benar kaget. Saya jelaskan bahwa tidak sepeser uang pun keluar dari kantong saya atau kantong siapa pun atas kelulusan Calon Pegawai Negeri Sipil saya tahun 2009 lalu. Di luar dugaan saya, pegawai kantor kelurahan itu tercengang, bisa saya lihat ketakjuban dari mata di balik kacamatanya. Saya pun ikut bingung, what happened? There is something wrong? Masih bisa saya lihat wajah kebingungannya saat saya menyerahkan lembar uang lima ribuan tanda terima kasih saya yang ia minta melalui kata “seiklasnya” dan saya akhirnya pergi pulang.

Saya dibesarkan dari keluarga yang “menjauhi Birokrasi”. Ayah saya, yang hanya Karyawan di sebuah perusahaan swasta selalu menyerahkan urus-mengurus KTP dan sejenisnya ke orang lain walau dirinya harus merelakan biaya lebih. “Birokrasi selalu bikin pusing” katanya “Berbelit-belit dan nyusahin” begitu yang sering ia katakan. Tanpa ingin menyinggung siapapun, dulu kesan yang saya tangkap tentang para Pegawai Negeri Sipil adalah jauh dari kesan membatu, kalau perlu apa-apa harus sediakan uang terima kasih, belanja di pasar pada jam kerja dan sepertinya tidak pernah mengerjakan apapun. Saya dan kedua adik saya bahkan tidak pernah terbesit sekalipun untuk berprofesi sebagai Abdi Negara, “takut dosa”. Namun, karena seorang teman dekat saya mau repot-repot mengirimkan berkas pendaftaran milik saya – tanpa sepengetahuan saya - akhirnya saya bertemu dengan ibu tadi. Masih lekat di ingatan saya pertama sekali ibu dan ayah saya mendengar kabar kelulusan saya, saya tidak bisa mengkategorikan itu kaget karena senang atau kaget karena hal yang lain.

Mungkin karena pekerjaannya PNS yang“tidak terlalu susah” ribuan orang rela berduyun-duyun mengantri untuk mengirimkan berkas lamaran CPNS-nya di kantor-kantor pos tiap tahun. Mindset yang terbentuk tentang PNS di mata masyarakat mungkin tidak jauh-jauh dari yang saya pikirkan dulu. Mungkin hanya orang-orang tertentu saja yang akan menolak jika “dibayar tanpa bekerja”. Dan bukan hanya itu, nilai plus dengan menjadi seorang PNS adalah jaminan ekonomi seumur hidup disertai prestige di mata masyarakat karena penyetaraannya dengan kaum berintelektual tinggi.

Jangan heran bila banyak orang rela melakukan apa saja agar namanya bisa menyembul di pengumuman kelulusan CPNS. Teman saya yang lain, menghabiskan puluh juta rupiah untuk dapat “menyisipkan” namanya sebagai peserta lulus CPNS di salah satu kota “tanpa ujian”, sedangkan yang lainnya dapat mengikhlaskan hingga lebih dari seratus lima puluh juta untuk kelulusannya. Beberapa diantaranya bisa mengucap syukur, namun banyak juga yang berakhir di pengadilan dengan menuntut seseorang. Hal-hal seperti ini kemudian ikut menurunkan derajat PNS di mata masyarakat.

Karena seringnya praktik-praktik “sisip-menyisip” seperti ini, kemudian menjadikan penerimaan CPNS dengan jalur “belakang” menjadi lumrah, bahkan persepsi masyarakat mengalami mutasi ke arah yang lain. Kini lulus dengan murni menjadi hal yang amazing, unbelievable, even impossible. Maka tidak heran jika si Ibu di kantor lurah tadi mengajukan pertanyaan tersebut.

Kalau mau di runut, perubahan perepsi ini tidak dapat dilepaskan dari jasa calo “lulus” CPNS. Namun, maraknya praktik calo juga dikarenakan banyaknya konsumen yang memang berminat. Istilahnya, “lo beli, gua jual”. Jadi, kalau mau dicari solusi masalah ini, maka bermuara pada kita semua sebagai bangsa Indonesia, karena akarnya juga berujung pada kita sendiri.

Dapat dikatakan bahwa PNS merupakan profesi yang dirindukan namun sekaligus menjadi profesi yang dibenci. Saya memiliki seorang teman yang selalu mengeluhkan dan tidak jarang mengumpat profesi PNS namun tetap mengantri untuk mengirimkan berkas CPNS-nya. Sungguh hal yang menggelikan bagi saya, saya hanya mampu berharap semoga ia bisa bekerja sebagai Abdi Negara yang baik bila lulus nanti.

PNS merupakan profesi yang mulia, karena pancasila merupakan tuntunan hidup mereka. Dapat saya katakan, mereka yang benar-benar mengamalkan Pancasila dapat disamakan dengan Mahatma Gandhi (coba anda baca kembali kelima sila di pancasila lalu renungkan sebentar). Namun banyak penyandangnya tidak sanggup untuk mengemban amanah ini, terutama untuk PNS. Hingga menjadikan indonesia kita menjadi seperti sekarang ini.

Medan, 8 Feb. 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun