Pada 19 Januari 2017, serentak di 12 kota, adalah tanggal tayang perdana film yang mengisahkan tentang Wiji Thukul, “Istirahatlah Kata-Kata”. Berdasarkan beberapa sinopsis dan testimoni dari teman yang sudah menonton, film tersebut menceritakan tentang keluarga, cinta dan perlawanan. Film yang tak luput dari kritik namun mampu merawat nalar.
Saya sangat meyakini bahwa film yang merawat nalar sangat baik disaksikan tanpa harus ada hambatan verifikasi label halal. Asumsi yang rasanya tak berlebihan jika melihat adanya fenomena boikot dan pelarangan beberapa diskusi maupun pemutaran film sejarah dengan argumentasi halal-haram yang subjektif.
Di saat kerongkongan publik yang mulai kering akibat perdebatan panjang penistaan agama, film tersebut hadir seperti embun pagi yang mengusir kompleksitas malam. Tepat waktu, tak berlebihan dan menyegarkan. Film ini sedikitnya mampu menyita perhatian publik dari pusara konflik yang membosankan.
Film besutan Yosep Anggi Noen, menghadirkan sepenggal kisah hidup Wiji Thukul dalam pelarian di Kalimantan. Sekaligus mengingatkan bahwa kebebasan berbicara hari ini lahir dari proses panjang dan berdarah, dimana Thukul punya andil besar di dalamnya.
Wiji Thukul adalah satu dari 13 (tiga belas) orang yang hilang di era transisi politik menjelang reformasi. Tiga belas orang hilang tersebut menjadi catatan hitam di ujung masa kepemimpinan Soeharto. Catatan hitam yang diabadikan dalam nyanyian “Hilang” oleh Efek Rumah Kaca.
Entah kenapa, sampai hari ini saya masih meyakini bahwa bukan hanya Thukul dkk. yang hilang pada masa itu. Mengingat lazimnya represifitas di rezim Orde Baru, saya meyakini masih ada orang-orang hilang lainnya, orang-orang hilang yang luput dari perhatian.
Mungkin kisah Thukul dan orang hilang lainnya tak banyak diketahui oleh sebagian generasi muda hari ini, generasi yang akrab disebut generasi milenia. Maka tak heran, ada banyak anak muda yang lebih termotivasi membaca ragam teori tentang Flath Earth dibanding puisi-pusisi Thukul yang pada zamannya mampu menggetarkan tiang-tiang penyangga istana.
Wiji Thukul adalah seorang aktivis yang juga seorang penyair. Ia menghilang entah kemana sejak belasan tahun lalu. Maaf, ia tidak hilang. Tidak hilang begitu saja. Ia dihilangkan.
Thukul merupakan seorang lelaki kerempeng bernyali baja. "Penjara sekalipun tak akan mampu mendidikku menjadi patuh," begitu katanya dalam Puisi Menolak Patuh. Ia tak jarang berkonfrontasi dengan represifitas tentara. Nyali dan keberaniannya terekam nyata dalam luka di mata kanannya, luka hasil hantaman popor senjata.
Selain tentang kisah penculikannya, hal lain yang menarik dibicarakan tentang Thukul adalah puisi-puisi perlawanan buatannya. Puisi-puisi Thukul seakan menjadi bacaan wajib bagi aktivis mahasiswa. Para aktivis mahasiswa tentu tak akan tabu dengan potongan kalimat dari puisi Peringatan. "Hanya ada satu kata: Lawan!" pekikan yang hampir pasti diteriakkan dalam tiap aksi demonstrasi mahasiswa.
Membaca tiap bait puisinya adalah membaca ulang sejarah bangsa ini. Sejarah bangsa yang pernah merasa takut, bahkan untuk sekedar berkata-kata. Narasi kedigdayaan pemuda pada era Thukul tergambar jelas lewat kata demi kata dalam syairnya, kedigdayaan pemuda yang mampu mengubah peradaban bangsa dengan jiwa pemberontakan.