Mohon tunggu...
Muhammad Ramli Arisno
Muhammad Ramli Arisno Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Dulu hobi baca, sekarang lebih suka nonton berita. Memiliki ketertarikan dengan politik dan psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Krisis Perlindungan Anak di Sekolah: Pelajaran dari Kasus MAN 1 Gorontalo

26 September 2024   19:21 Diperbarui: 26 September 2024   19:25 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KASUS kekerasan seksual terhadap anak yang melibatkan seorang guru di MAN 1 Gorontalo baru-baru ini telah menjadi viral di media sosial. Peristiwa memilukan ini bukan hanya mengguncang hati publik, tetapi juga mencerminkan permasalahan serius yang perlu segera diatasi: kegagalan sistem perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Ketika sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa, malah menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual, maka ini adalah tanda bahwa ada yang salah dalam struktur dan regulasi yang ada.

Guru adalah figur otoritas yang dipercaya untuk membimbing, mendidik, dan melindungi anak-anak. Namun, ketika guru menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan yang mengerikan seperti kekerasan seksual, maka ia tidak hanya menghancurkan masa depan anak tersebut tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan. Kasus di Gorontalo ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menyoroti kelemahan dalam sistem perlindungan anak dan mendesak adanya perubahan yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah.

Kekerasan seksual terhadap anak bukanlah fenomena baru di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), setiap tahun ribuan anak menjadi korban kekerasan seksual. Namun, banyak dari kasus ini yang tidak pernah terungkap karena stigma sosial, kurangnya dukungan terhadap korban, atau bahkan kurangnya sistem pelaporan yang aman. Kasus di Gorontalo ini hanyalah puncak gunung es dari permasalahan yang jauh lebih dalam dan meluas.

Sistem perlindungan anak di sekolah, yang seharusnya menjadi garis pertahanan pertama, ternyata sangat rapuh. Ini tidak hanya masalah regulasi yang lemah tetapi juga pengawasan yang kurang efektif. Banyak sekolah yang belum menerapkan program pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif, baik dalam bentuk pendidikan seksual yang memadai maupun pelatihan bagi guru tentang bagaimana berinteraksi dengan siswa secara profesional dan etis.

Lebih parah lagi, ketika kasus seperti ini muncul, sering kali korban justru mendapatkan tekanan, bukan dukungan. Dalam beberapa kasus, korban atau keluarganya malah disalahkan, yang menghalangi mereka untuk melaporkan kejadian tersebut. Inilah yang menjadikan sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat di mana kekerasan seksual bisa terjadi secara tersembunyi.

Guru memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan seorang anak. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga menjadi teladan dan pelindung bagi siswa di sekolah. Namun, ketika figur otoritas ini menyalahgunakan kekuasaannya, efeknya sangat merusak. Kasus kekerasan seksual di Gorontalo ini memperlihatkan betapa rentannya posisi anak-anak ketika berada di bawah asuhan orang yang seharusnya mereka percayai.

Kepercayaan besar yang diberikan kepada guru menjadikan mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan siswa. Siswa menganggap guru sebagai panutan dan sering kali merasa takut atau tidak berdaya untuk melawan ketika mereka mengalami kekerasan. Pelaku kekerasan seksual sering menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan atau mengancam korban, membuat mereka merasa terjebak tanpa jalan keluar.

Ini menggarisbawahi pentingnya pelatihan khusus bagi para pendidik dalam berinteraksi dengan siswa. Guru harus diajarkan tidak hanya soal mata pelajaran, tetapi juga soal batas-batas yang jelas dalam hubungan profesional dengan siswa. Program pelatihan harus mencakup aspek etika, kesadaran seksual, dan pencegahan pelecehan sehingga setiap guru memahami tanggung jawab moral dan hukum mereka.

Salah satu langkah paling mendesak yang harus diambil adalah merevisi regulasi yang berkaitan dengan perlindungan anak di sekolah. Kementerian Pendidikan harus bekerja sama dengan KPPPA untuk memastikan setiap sekolah memiliki kebijakan perlindungan anak yang ketat dan sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses oleh siswa.

Selain itu, perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap implementasi kebijakan ini. Pengawas sekolah dan komite pendidikan harus lebih proaktif dalam memantau perilaku staf pengajar dan memastikan lingkungan sekolah aman bagi anak-anak. Dalam kasus-kasus di mana ada dugaan kekerasan, sekolah harus memiliki prosedur yang jelas dan cepat untuk menangani laporan, termasuk melindungi identitas dan hak korban selama proses investigasi.

Di luar pengawasan formal, pendidikan seksual bagi siswa juga sangat penting. Pendidikan seksual bukan hanya tentang mengajarkan tentang anatomi atau reproduksi, tetapi juga tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari kekerasan seksual, mengenali tanda-tanda pelecehan, dan berani melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak memiliki kekuatan untuk melawan jika mereka menjadi korban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun