Mohon tunggu...
Cerita Pemilih Pilihan

Gerakan Nyoblos Caleg Nomor "Urut Sepatu"

30 September 2018   03:01 Diperbarui: 30 September 2018   04:22 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di atas segala hiruk pikuk politik seputar Pilpres dan pernak-perniknya yang berlangsung dan begitu kuat menyedot perhatian kita belakangan ini, saya hanya ingin mengajak Anda untuk tidak melupakan satu hal. Bahwa pada tanggal, hari, dan tahun politik yang sama, kita juga akan memilih calon anggota legislatif. Menyortir mereka yang katanya akan menjadi wakil kita di parlemen untuk memperjuangkan aspirasi kita sebagai rakyat kecil.

Saya paham. Anda mungkin sudah muak dengan mereka dan memilih masa bodoh.

Apalagi ketika kita sama dikejutkan dengan peristiwa ditangkapnya 41 dari 46 anggota DPRD Kota Malang yang terbukti telah melakukan kesepakatan jahat, korupsi berjamaah dana pengelolaan sampah Kota Malang. Walaupun kita juga sudah begitu terbiasa dengan kelakuan hitam para wakil rakyat, namun skandal anggota legislatif dari kota apel ini cukup menyentak kesadaran moral kita sebagai rakyat yang pernah menitipkan kepercayaan.

 Saya mengerti. Memiliki atau tidak memiliki wakil di parlemen sama saja bagi kita. Toh untuk bisa meneruskan hidup, kita tetap harus memperjuangkannya sendiri.Saat sesekali berkunjung ke rumah rakyat, menyampaikan aspirasi, mereka sulit ditemui. Kursi yang selama 5 tahun kita percayakan melalui ujung paku di bilik pencoblosan, lebih banyak diisi hantu penunggu ruang rapat.  Alasannya kalau bukan sibuk, pastilah sedang rapat, kunker (Kunjungan Kerja) dan lainnya. Sibuknya sibuk apa, rapatnya rapat apa, Kunkernya entah kemana, tahu-tahu muncul berita skandal joki kunker. Mereka rupanya juga sanggup berbuat curang dengan membayar orang lain untuk menggantikan tugasnya sebagai wakil kita. Gila!

 Saya mafhum ketika Anda bilang: "Ah sama saja!" Mungkin yang Anda maksud wajah yang muncul, mencalonkan diri kemudian terpilih sebagai wakil rakyat, orangnya itu-itu juga. Karena yang berada di urutan kepala biasanya memang selalu petahana. Petahana atau mereka yang telah duduk setidaknya lima, sepuluh, bahkan ada yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya sebagai wakil rakyat abadi. Sosok "berpengalaman" yang selama ini membuat kita dongkol. Kalaupun ada wajah baru yang tiba-tiba melesat ke urutan pertama pencalegan, tentulah manusia istimewa, dari kalangan kolega maupun keluarga. Jika di luar itu, ah kecuali ada harga yang barangkali tidak murah.

Bagaimanapun posisi caleg urutan kepala itu memang selalu jadi rebutan. Menurut data Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI terhadap hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukkan keterpilihan di nomor urut satu berada pada besaran 60 persen. Keterpilihan caleg di nomor urut satu pada pemilu 2009 sebesar 64,96 persen dan pada pemilu 2014 sebesar 62,14 persen. Sementara caleg pada nomor urut lain, angka keterpilihannya hanya berkisar di angka 7 persen. Sungguh, nomor urut mahkota itu masih mendominasi peluang keterpilihan.

Sehingga tidak mengherankan jika kemudian caleg yang terpilih menjadi wakil kita di parlemen itu hanya itu-itu saja. Petahana yang terus duduk di singgasana, maupun sang rising star yang telah memberikan nilai tukar yang sebanding untuk posisi strategis diurutkan awal. Namun lihat saja perilaku mereka saat duduk nanti. Logika ekonomilah yang bermain. Modal yang dikeluarkan harus segera kembali, minimal break even point, bagus lagi kalau bisa untung banyak untuk modal 5 tahun berikutnya. Jadilah kemudian mereka lebih mirip pedagang ketimbang politisi. Hanya mau bekerja kalau ada keuntungan yang bisa dikutip dari setiap pekerjaan.

Saya memaklumi ketika Anda ingin balas dendam dengan cara Golput alias memilih untuk tidak memilih. Saya dulu juga begitu, bahkan mengajak banyak kawan-kawan selingkungan untuk melakukannya. Meski tetap datang ke TPS, masuk bilik namun tidak mencoblos. Namun hasilnya apa? Secara ajaib, kertas suara-kertas suara yang tidak tersentuh ujung paku itu ternyata tetap saja berlubang. Ah, bodohnya saya.

Memilih logo partai pun ternyata bukan pilihan yang bijak untuk melakukan perubahan terhadap kondisi yang jauh dari ekspektasi kita yang begitu tinggi terhadap kinerja wakil rakyat yang duduk di parlemen hasil pemilu dari periode ke periode. Karena jika suara yang dikumpulkan Parpol dari logo partai yang dicoblos lebih banyak dari jumlah suara hasil coblosan pemilih yang langsung kepada nomor urut caleg. Anggaplah tidak ada satu pemilih pun yang memilih caleg yang ditawarkan kecuali hanya mencoblos logo Parpol pilihan. Maka penentu siapa yang bakal duduk nantinya tetap berdasarkan keputusan internal partai. Akhirnya sama saja, petahana dan caleg istimewa lah yang akan jadi.

Lebih gawat lagi jika seandainya usulan sistem pemilihan yang digunakan dalam pileg 2019 nanti proporsional terbuka terbatas jadi disetujui. Maka yang ada, seluruh suara yang diperoleh, baik hasil coblosan logo maupun coblosan di nomor urut caleg, semuanya akan menjadi milik partai politik untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh. Mengenai siapa yang akan mendudukinya nanti, diserahkan seluruhnya kepada mekanisme internal partai. Untungnya sistem yang digunakan masih sama dengan sistem pemilihan yang digunakan pada pemilu 2009 dan 2014 yaitu sistem pemilihan terbuka. Caleg yang memiliki suara terbanyak lah yang berhak menduduki kursi legislatif.

 Lalu muncul pertanyaan, kalau sistemnya sama dengan dua Pemilu sebelumnya, bagaimana caranya agar bisa membuat perubahan? Caranya hanya dengan berpikir terbalik, berlawanan arah dengan strategi dan cara berpikir kebanyakan politisi selama ini. Jika selama ini mereka berebut menempati nomor urut satu, maka caleg yang kita pilih jangan dari nomor tersebut. Melainkan caleg-caleg yang berada di urutan terbawah alias caleg nomor urut sepatu! Caleg anak bawang, caleg yang sama sekali tidak diunggulkan untuk mengisi kursi-kursi legislatif oleh Parpol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun