Mungkin saja SBY dan elit Partai Demokrat menyadari  posisi SBY sendiri, dan Partai Demokrat dalam situasi kondisi perpolitikan tanah air yang tidak menguntungkan alias sedang tidak berkuasa. SBY – Demokrat menyadari rezim yang sekarang sedang  berkuasa, Jokowi – PDIP tidak akan memberi kesempatan  kepada Putranya SBY - Agus Yudhoyono untuk menjadi  ‘lebih besar’. Memang tidak ada aturan tertulis, karir dan jabatan seseorang dalam militer atau pemerintahan ditentukan rezim yang sedang berkuasa, tapi bukan menjadi suatu yang rahasia lagi bahwa karir atau jabatan seseorang juga dipengaruhi rezim penguasa. Rezim penguasa saat ini, Jokowi – PDIP terutama Megawati sebagai pemegang kendali PDIP tidak ingin penghianatan SBY yang menantang dan mengalahkan Megawati pada Pilpres 2004 terulang lagi. Megawati juga tentu saja sedang menyiapkan Putra - Putri Mahkotanya untuk menjadi pemimpin negeri ini, kelanjutan kekuasaan PDIP dan pamor trah Soekarno. Dan bukan tidak mungkin persaingan Mega – SBY terluang lagi pada Putra Putri mahkota mereka dimasa depan. SBY – Demokrat menyadari kemungkinannya Jokowi – PDIP memenangi Pileg dan Pilpres 2019 dan akan melanjutkan kekuasaan ke periode ke dua. Sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
Sadar akan semua itu dan melalui pertimbangan dan perencanaan, SBY – Demokrat melalukan serangan balik cepat ( sedikit dipaksa ) walaupun belum pasti hasilnya, sama halnya karir militer Agus Yudhoyono yang belum pasti atau belum tentu lebih jauh lagi. Dicarilah momentum, pencalonan Agus Yudhoyono dibuat sedemikian rupa seolah-olah suprize buat masyarakat, dan memang kebanyakan masyarakat merasa surprise dengan keputusan koalisi Cikeas mencalonkan Agus Yudhoyono dalam Pilgub DKI 2017.  Seolah-olah kebetulan, padahal dalam politik tidak ada yang kebetulan.  ‘’Presiden ke-32 Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt pernah mengatakan : Tak ada kebetulan dalam politik, jika seolah-olah itu terjadi, maka bisa dipastikan sudah direncanakan dengan suatu cara tertentu’’.
Pencalonan Agus Yudhoyono oleh koalisi Cikeas khususnya oleh SBY – Demokrat jelas sekali tujuan maksimalnya yaitu menatap Pilpres 2019, andaikata Agus Yudhoyono – Sylviana Murni menang dalam Pigub DKI 2017, sangat memungkin Agus Yudhoyono calon terkuat penantang Capres Petahana-Jokowi.  SBY-Demokrat tidak mau bertahan menunggu sampai 2024, menunggu dimana tidak adanya Capres Petahana, hal ini andaikan Jokowi – PDIP memenangi Pileg dan Pilpres 2019 dan undang2 yang membatasi Presiden cukup 2 periode, sehingga kalupun terpilih lagi di 2019  Jokowi tidak bisa mencalonkan diri lagi di 2024. SBY-Demokrat mencoba membuat momentum sendiri pada Pilgub DKI 2017 dan berusaha merebut momentum dari Jokowi-PDIP-Megawati yang sedang berkuasa. Dalam hal ini SBY – Demokrat menerapkan strategi total football dimana pertahanan terbaik dalam sepakbola adalah menyerang, tidak membiarkan musuhnya mengembangkan permainan’’. SBY-Demokrat mencoba menyerang agar Jokowi-Mega-PDIP tidak semakin mengembangkan kekuasaan, dengan menurunkan Putra Mahkota untuk melawan Ahok - Cagub Petahaan yang didukung Mega-PDIP plus Jokowi.
Sangat beresiko keputusan yang dibuat SBY-Demokrat dengan mengorbankan karir militer Putra Mahkotanya, tapi SBY sebagai pribadi, mantan Presiden dan juga seorang Ayah tentu sangat paham bahwa setiap keputusan apapun itu selalu ada konsekuensinya. Dalam hidup selalu ada  pilihan seperti judul buku karya SBY sendiri.
Waktu yang akan menjawab pilihan yang sudah diambil Agus Yudhoyono dengan restu dan dukungan keluarganya, berhasilkah SBY-Demokrat menjadikan Agus Yudhoyono The Real Rising Star ? yang kebintangannya akan bersinar terang di 2019 ? atau malah berubah menjadi Dark Star yang redup cahayanya karena kekalahan di Pilgub DKI 2017.
Sebetulnya soal perjudian ini, bukan hanya SBY-Demokrat saja yang melakukan perjudian. Kalau SBY-Demokrat sedang berjudi dengan mempertaruhkan karir militer anaknya Agus Yudhoyono, lain halnya dengan Megawati-PDIP dan Prabowo-Gerinda, mereka pun sedang melakukan perjudian.  Berjudi dengan mencalonkan bukan kader Partainya sebagai  Cagub DKI 1 dan kadernya ‘hanya’ menempati Cawagub DKI 2. Tidak ada jaminan Ahok atau Anies Baswedan tetap loyal di 2019.
Jadi, siapa pemenang 'perjudian' ini ?
Salam, Aris Ndeok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H