Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wardani dan Marhamah

19 Juni 2012   09:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wardani dan Marhamah
Oleh: AK Basuki

Wardani adalah istri pertama Sarengat, Marhamah madunya. Dua perempuan ini dinikahi Sarengat hanya berselang dua tahun, jadi umur keduanya memang tidak begitu terpaut jauh. Sama-sama muda, sama-sama cantik, sama-sama buas. Buas di sini bukan berarti masing-masing suka mencakar atau menggigit bokong keriput Sarengat di atas tempat tidur, bukan, tapi itu merupakan satu kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku keduanya jika terjadi “clash action”. Sudah beberapa kali terjadi pertengkaran maut yang tidak diharapkan itu, dan selalu berakhir dengan pertarungan gaya bebas. Hasilnya selalu seri. Jika bukan Wardani yang rambut panjangnya terpaksa harus rontok lagi segenggam karena dijambak Marhamah, pastilah hidung Marhamah yang bengkak segede jambu bol terkena jotosan maut Wardani.

Hal apapun bisa jadi alasan pertengkaran jika jarum indikator hormon yang memicu keagresifan dalam tubuh salah satu saja dari mereka sedang di level merah dan didukung faktor yang kondusif, semisal duit belanja kurang dan prasangka bahwa salah satu dari mereka mendapat lebih dari yang lain.

Sarengat tentu saja pusing. Puluhan tahun dia berkelana. Hidupnya lebih banyak dihabiskannya mengarungi samudera, berlabuh di pelabuhan-pelabuhan besar seluruh dunia hingga tidak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk berkeluarga. Begitu pada akhirnya sudah merasa cukup, panggilan nurani menuntunnya pulang. Dia bermaksud untuk mulai membangun lagi kehidupannya dari awal dengan normal. Harapannya bisa menghabiskan masa tua dengan tenang dan bahagia, tapi yang terjadi sebaliknya. Justru kedua istrinyalah yang membuat hidupnya tidak tenang. Mereka selalu membuatnya was-was dan menahan malu.

Pernah suatu hari dia pulang dari luar kota ke rumah istri mudanya. Belum juga sampai, di ujung gang terlihat ramai orang berkerumun. Ada penjual cuanki, siomay dan es cendol juga. Pikir Sarengat, pasti ada yang sedang hajat dan nanggap hiburan atau semacamnya.

“Ada apa, sih?” tanyanya pada seorang anak kecil yang sedang memanjat pohon untuk melihat ke pusat kerumunan. Kerumunan orang-orang sangat padat dan tidak bisa ditembus hingga Sarengat sendiri akhirnya ikut-ikutan memanjat karena penasaran.

“Ada lonte berkelahi sama lonte, Mbah,” jawab anak itu santai.

Hushah! Anak kecil kok omongannya boros. Memang kamu tahu lonte itu apa?”

Tau!”

“Apa?”

“Perempuan jalang!”

Bwarakadhah!” Sempat keheranan dengan jawaban si bocah, Sarengat justru kemudian hampir jatuh dari pohon saking terkejutnya ketika melihat apa yang terjadi di pusat kerumunan. Ternyata Wardani dan Marhamah, dua istri buasnya sedang adu kesaktian. Saling pukul,cakar, gigit, remas dan tendang. Tubuh mereka sampai kotor bergelimang tanah dan keringat.

Jagat dewa bujana ..., keluh Sarengat.

“Mau ke mana, Mbah? Baru ronde 10,” tanya anak itu ketika melihat Sarengat tergesa-gesa melorot turun dari pohon.

“Mbah, mbah, mbah ... mbahmuanjlok!” omel Sarengat mangkel lalu segera menyelinap kabur dari sana. Malu sekali dia. Untung saja warga di seputaran rumah Marhamah jarang ada yang mengenalnya sehingga dia bisa pergi dengan leluasa tanpa harus terlibat dalam perkelahian dua istrinya yang buas itu. Pura-pura tidak tahu saja. Terkesan tidak bertanggungjawab, memang, tapi Sarengat sudah merasa sangat bertanggungjawab dalam hal lain. Selama ini, dengan adil dia memperlakukan istri-istrinya. Uang belanja, rekreasi, perhiasan, kosmetik, semuanya dia bagi rata. Jika Wardani minta dibelikan gelang, Sarengat akan membelikannya pula buat Marhamah. Jika Marhamah minta diajak main ke Pangandaran, pada hari lainnya dia pasti mengajak Wardani ke Pangandaran juga. Kurang apa dia, coba? Cinta? Tidak. Perhatian? Tidak juga. Kurang sedikit lagi mati, malah iya. Umurnya toh sudah kepala 5. Istri-istrinya itu dulu bersedia dinikahi mungkin karena terpikat deposito hasil kerjanya selama ini. Dia sadari itu, tapi mau bagaimana lagi?

Alasan menikah lagi memang karena dia sangat mendambakan anak. Dua tahun ngengkremi Wardani, telur tidak kunjung menetas. Hadirlah Marhamah. Dikawininya janda tanpa anak itu diam-diam, tapi tetap saja tidak ada bayi- bayi lucu yang nongol. Saat kenyataan itu sudah sedikit lagi mampu diterimanya dengan ikhlas, istri tuanya tahu kelakuannya. Sejak itulah konfrontasi antara istri tua dan istri muda dimulai.

Dan semua akhirnyamencapai puncaknya. Tiba-tiba saja, di suatu pagi, Marhamah muncul di rumah Sarengat, rumah yang ditempatinya dengan Wardani. Perbawanya sudah bikin Sarengat ciut. Ada hawa membunuh yang besar di sekitaran tubuh istri mudanya itu. Sampai terlihat warnanya kemerahan dan sedikit tercium bau ubi rebus. Sarengat jadi khawatir.

Tanpa uluk salam, Marhamah langsung menghampirinya yang sedang berjemur sinar matahari pagi untuk memperkuat tulang-tulang tuanya. Dilemparkannya sebuah kaleng bekas sarden tepat ke jidat Sarengat. Plok!

“Apa ini, Bun?” tanya Sarengat gelagepan sambil mengusap-usap jidatnya. Dengan pasrah dipungutnya kaleng itu. Batinnya hanya bisa mengeluh. Seperti umumnya lelaki, dia sama saja, jeri terhadap istri.Pasti akan ada adu kesaktian lagi.

“Surat kaleng. Ada surat di dalam kaleng!”

“Mana suratnya?”

“Udah disobek-sobek!”

“Kenapa disobek-sobek?”

“Isinya bikin panas!”

Belum sempat Sarengat membuka mulutnya untuk bertanya lagi, dari dalam rumah, Wardani tergopoh-gopoh muncul dan melemparkan sebuah kaleng bekas cat 5 kilogram, juga tepat di jidatnya. Glodhagh!

“Apa-apaan lagi ini, Mah?” tanya Sarengat galau.

“Surat dalam kaleng juga!” bentak Wardani. Tatapan matanya sudah langsung menyambar Marhamah. Kedua istri yang hobi perang itu kini berhadap-hadapan.

“Besar amat kalengnya,” gumam Sarengat kecut.

“Ya harus besar, Mamah kan istri sah! Semua harus lebih besar daripada milik sekedar gundik. Yang ngirim surat kaleng itu bisa mikir rupanya!” sindir Wardani.

Sarengat nyengir dan memungut pula kaleng bekas cat milik Wardani. Kini dengan dua kaleng di tangan, dia seperti hendak memukulkan lagi keduanya ke jidat sendiri supaya pingsan sekalian.Lelah rasanya menanggapi dua orang sitri yang ganas-ganas.

“Cuih! Ikut-ikutan aja!” sindir Marhamah.

“Kamu yang ikut-ikutan!” balas Wardani. Marhamah mendengus dan membuang pandangnya ke arah Sarengat.

“Ayah, kata surat kaleng itu, kemarin Ayah beliin istri tua kalung berlian, ya? Kok Bunda nggak dibeliin?”

“Apaaaa?!!” Sarengat melotot sampai-sampai tekanan dari kedua biji matanya itu membuat ingusnya hampir keluar. Kapan dia pernah membelikan Wardani kalung?

“Kata surat kaleng yang sampai ke Mamah,” Wardani tidak mau kalah, “Papah beliin gundik Papah mobil. Kenapa istri yang sah tidak dibeliin juga?”

Oh, My Goat ... entah kebohongan dari mana itu, Sarengat sampai kehabisan kata-kata. Semua diyakininya adalah rekayasa masing-masing istrinya itu untuk mengeruk lebih banyak lagi dari dirinya. Selalu akan seperti ini. Persaingan justru bisa mereka manfaatkan untuk meminta lebih dan lebih lagi. Jika ini diteruskan, lama kelamaan Sarengat bisa periksa dokter dan dironsen rutin tiap bulan.

Pokoknya Bunda mau kalung juga!”

“Mamah mau mobil juga!”

“Ayah, surat kaleng punya istri tua itu bohong! Tapi, Bunda jadi keidean mau punya mobil juga jadinya!”

“Papah, surat kaleng yang dibawa gundik itu juga bohong! Tapi, Mamah malah jadi kepingin kalung baru!”

“Mobil!”

“Kalung!”

“Mobil dan kalung!”

“Kalung dan mobil!”

Rasa-rasanya hampir pecah kepala Sarengat mendengarkan celotehan istri-istrinya. Satu yang baru disadarinya saat itu, bahwa kedua istrinya tidak pernah ribut jika tidak mengenai uang dan uang, hadiah dan hadiah. Tidak pernah mereka berkelahi karena berebut perhatiannya. Pastilah ada maunya. Ingin inilah, itulah ... Surat kaleng yang benar-benar berupa surat dalam kaleng itu juga memang mereka kirimkan untuk memanas-manasi pihak seteru saja. Tapi akhirnya malah jadi sebuah ide yang bagus. Maksudnya sudah jelas. Jika nanti Sarengat menuruti rasa “panas” dan bujukan mereka karena isi surat kaleng itu memberi mereka alasan untuk merengek, semua toh bakalan sama-sama kebagian. Mereka tahu sekali bahwa dirinya sangat tidak tahan mendengar rengekan perempuan, apalagi istri-istrinya sendiri. Dan jika dia memberi, semua mendapat sama rata.Artinya, jika yang satu memanas-manasi telah dibelikan mobil, yang lainnya pasti dapat. Dan itu berlaku sama untuk apapun. Sarengat muak. Dia sudah bisa menduga tentang latar belakang adanya surat kaleng itu. Dia sudah tidak merasa sebagai lelaki yang dicintai lagi. Mereka hanya mau memanfaatkan uangnya.

Dia letakkan dua kaleng itu pelan-pelan ke atas meja serambi lalu melangkah lesu meninggalkan kedua istri yang sedang bertengkar itu begitu saja. Kedua istrinya tidak mempedulikan. Sepertinya mereka merasa sayang untuk melewatkan ritual tetap mereka, berkelahi, yang saat itu sekaligus adalah cara ampuh demi meluluhkan hati suami atas keinginan mereka. Tapi mereka tidak berebut cinta. Mereka memperebutkan bagian terbanyak yang mungkin akan diberikan Sarengat untuk mereka. Itu yang membuat Sarengat patah hati.

Dalam beberapa menit, tetangga mulai ramai berdatangan, tapi tidak ada yang mau memisah. Suara-suara pukulan, makian dan jerit perempuan marah malah merupakan keunikan tersendiri bagi mereka. Tontonan gratis di pagi hari.

Sejak hari itu Sarengat tidak pernah kelihatan lagi. Dia pergi dari rumah dengan hanya berbekal beberapa potong pakaian dalam tas plastik kresek. Ada yang bilang, dia kembali berkelana, mengarungi samudera-samudera luas dan berlabuh di pelabuhan-pelabuhan seluruh dunia. Ada juga yang bilang kalau dia menjadi gelandangan yang berjalan dari kota satu ke kota lainnya.

Sementara Wardani dan Marhamah? Entahlah. Bisa saja mereka berdamai atau malah selalu berkelahi seperti anjing dan kucing hingga kiamat.

Cigugur, 19 Juni 2012

-Dikiranya gampang jadi praktisi poligami apa?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun